Selasa, Maret 18, 2025
Google search engine
BerandaBerita InspiratifMenyaudara Melampaui Toleransi: Menggali Jejak Gus Dur di Malang

Menyaudara Melampaui Toleransi: Menggali Jejak Gus Dur di Malang

Kampusdesa.or.id: Malang–Kegiatan bertajuk mBeber Klasa, hasil kerjasama antara PC Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU Kota Malang dengan Garuda (Gerakan Gusdurian Muda) Malang, dilaksanakan pada Sabtu, 7 September 2024, di Balaiwiayata Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Malang. Kegiatan ini tidak hanya mempertemukan dua agama, Islam dan Kristen, tetapi juga menyatukan agama dan kebudayaan dalam semangat persaudaraan sejati, menggali jejak pemikiran Gus Dur yang inklusif.

Acara ini bertepatan dengan peringatan kelahiran Gus Dur (7 September 1940), seorang tokoh yang selalu dikenal dengan pemikirannya yang terbuka dan kritis dalam menghadapi persoalan agama dan kebudayaan. Di bawah tema besar “Menyaudara Melampaui Toleransi,” kegiatan ini menggali pemikiran Gus Dur dengan napak tilas di Balaiwiyata Malang, tempat bersejarah yang pernah menjadi tempat pengajaran Gus Dur.

Ari Ambarwati, seorang ahli sastra anak dan remaja dari Universitas Islam Malang, menjadi salah satu pembicara yang menyoroti bagaimana nilai-nilai yang diajarkan oleh Gus Dur sangat relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Menurutnya, Gus Dur tidak hanya mengajarkan pentingnya toleransi, tetapi juga menekankan bahwa pengalaman hidup bersama adalah hal yang paling mendalam dalam membangun persaudaraan.

Menghidupkan Kearifan Lokal melalui Pemikiran Gus Dur

Ari Ambarwati menjelaskan salah satu nilai utama yang diajarkan Gus Dur, yakni tentang pentingnya kearifan lokal. Menurutnya, Gus Dur selalu menekankan bahwa toleransi tidak hanya sekadar teori atau wacana, tetapi harus dialami dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam konteks permainan tradisional, Ari mengisahkan masa kecilnya yang bisa bermain Dakon dengan teman-teman yang berbeda agama, sesuatu yang kini semakin jarang ditemui.

Lebih lanjut, Ari juga menyoroti bahwa masyarakat Indonesia saat ini mulai kehilangan kosakata terkait makanan lokal. “Ketika kita berbicara tentang keragaman, salah satu cara untuk memahaminya adalah melalui apa yang kita makan. Orang Papua, misalnya, memiliki hubungan yang kuat dengan sagu atau ubi-ubian sebagai makanan pokok mereka. Sayangnya, saat ini banyak dari kita yang mulai melupakan kekayaan ini karena makanan kita sudah terlalu seragam,” katanya. Seragam yang setiap warga seolah harus makan beras. Tanpa itu mereka akan kelaparan.

Pdt. Gideon dari GKJW (kiri) menerima pohon Sawo Kecik dari Fathul Pranatapraja (kanan), Ketua Lesbumi NU Kota Malang

Ari juga menegaskan, menjadi seorang Indonesia harus didahulukan sebelum menjadi seorang Muslim, Kristen, atau penganut agama lainnya. “Pengalaman lidah kita dalam mengapresiasi bahan makanan lokal adalah cerminan dari kekayaan budaya kita. Ketika kita mulai seragam, kita kehilangan esensi dari kearifan lokal itu sendiri,” tutupnya.

Dari Toleransi ke Persaudaraan

Pdt. Gideon, yang mewakili Teolog Balaiwiyata GKJW, berbagi pandangannya tentang perubahan signifikan yang terjadi di kalangan GKJW sejak interaksinya dengan Gus Dur. Ia mengisahkan bahwa Gus Dur tidak hanya mengajarkan toleransi, tetapi menanamkan pemahaman bahwa umat beragama tidak harus selalu berada dalam ketegangan atau persaingan. “Gus Dur menunjukkan bahwa agama bisa dijalani dengan santai, penuh humor, dan tidak harus tegang. Ini yang mulai hilang sekarang,” kata Pdt. Gideon.

Baca juga artikel terkait;

Ia mengungkapkan bahwa interaksi GKJW dengan Gus Dur pada tahun 1990-an melahirkan perubahan besar dalam paradigma gereja tersebut. Dari awalnya bersifat misionaris, GKJW berubah menjadi lebih terbuka, dengan fokus pada persaudaraan sejati. “Kami tidak lagi melihat orang lain sebagai ‘liyan’ yang harus ditobatkan, tetapi sebagai saudara yang harus kita jaga. Gus Dur mengajarkan bahwa perbedaan bukan untuk dihadapi dengan konflik, tetapi untuk dipahami dan dihargai,” tambahnya.

Foto bareng antara Jemaah GKJW, Lesbumi, dan Garuda

Salah satu perubahan besar yang terjadi di GKJW adalah transformasi Badan Pengkaderan Injil menjadi Komisi Kesaksian, yang lebih berfokus pada memberikan kesaksian iman Kristen kepada semua orang, bukan untuk misionaris. “Kami ingin menekankan bahwa Islam dan Kristen bukanlah dua kubu yang saling berhadapan, tetapi dua entitas yang bisa hidup berdampingan dengan saling menghargai dan mendukung,” jelas Pdt. Gideon.

Gus Dur, bersama Pdt. Sri Wismoady Wahono dan beberapa tokoh lintas agama lainnya seperti Romo Mangun dan Sarlito, Johan Effendy, dan lainnya memperjuangkan konsep persaudaraan sejati yang melampaui sekadar toleransi. Mereka meyakini bahwa perpecahan di Indonesia lebih disebabkan oleh skenario politik daripada ketidakcocokan agama. Oleh karena itu, gerakan persaudaraan sejati terus diperjuangkan oleh GKJW hingga saat ini.

Dalam konteks hubungan antarumat beragama, Gus Dur juga mengajarkan pentingnya melampaui koeksistensi. “Bukan hanya hidup berdampingan, tetapi bertanggung jawab atas kehidupan orang lain, bahkan jika orang tersebut berbeda dengan kita,” tutur Pdt. Gideon.

Sementara itu, Pdt. Krista, salah satu peserta kegiatan dan juga pendeta dari GKJW menekankan bahwa bahasa “toleransi” saja tidak cukup untuk menggambarkan hubungan antarumat beragama di Indonesia. “Toleransi itu bagus, tetapi lebih dari itu, kita harus ‘menyaudara’, yakni turut peduli dan bertanggung jawab atas keberadaan dan kesejahteraan saudara kita yang berbeda,” katanya.

Acara ini ditutup dengan refleksi mendalam tentang bagaimana pesan-pesan Gus Dur masih sangat relevan di tengah situasi politik dan sosial Indonesia yang penuh dengan ketegangan. Semua peserta sepakat bahwa semangat persaudaraan sejati yang diperjuangkan Gus Dur harus terus dipupuk dan dikembangkan di masa depan. Persaudaraan tidak lagi cukup berhenti pada toleransi, tetapi harus berlanjut pada rasa saling peduli dan bertanggung jawab.

Mohammad Mahpur
Mohammad Mahpur
Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments