Pelatihan Budidaya Kopi, Ada Celah Bersyukur

349
SHARES
2.7k
VIEWS

Kampusdesa.or.id–“Tanaman kopi yang bagus itu tandanya apa?”
”Buahnya lebat.”
“Buahnya gembel. Banyak.”
“Lebat itu seperti apa? Banyak itu berapa?”

Pertanyaan itu belum selesai. Novie Pranata Erdiasyah, SP, M.Si., peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakoa (Puslitkoka) Jember, mengajak mengidentifikasi tanaman kopi yang subur.

RelatedPosts

Dialog pendek itu menjadi bagian dari Pelatihan Teknologi Budidaya Kopi yang diadakan oleh tim pengabdian masyarakat Universitas Ma Chung atas dukungan Kemendikbud-ristek. Pelatihan yang diikuti 30 petani dan pegiat kopi ini, diadakan di Balai Desa Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, 14-16 November 2023.

“Jadi, pohon kopi yang subur, unggul, jika satu ranting berisi minimal 10 dompol buah kopi. Satu dompol berisi 25-30 biji kopi. Itu untuk kopi jenis Robusta.”

“Jadi, pohon kopi yang subur, unggul, jika satu ranting berisi minimal 10 dompol buah kopi. Satu dompol berisi 25-30 biji kopi. Itu untuk kopi jenis Robusta. Kalau Arabika, satu ranting berisi tujuh dompol. Satu dompolnya terdapat 15-20 biji kopi,” terangnya menjelaskan. Nampak peserta tersenyum. Beberapa menggelengkan kepala. “Kok ya kober menghitung ya.”

“Nah, agar tanaman kopi kita bisa optimal buahnya, kalau jenisnya Robusta, satu lahan kalau bisa diisi minimal tiga jenis klon. Klon itu adalah pembiakan bibit dari biji kopi satu jenis. Nah, dalam satu lahan, kalau bisa diusahakan tiga jenis klon.“Karena tanaman kopi robusta itu, pembuahannya hasil dari penyerbukan. Kalau dalam satu lahan terdapat tiga atau empat jenis klon, nanti akan lebih produktif panennya,” demikian saran Novie Pratama.

Baca juga: Anak muda butuh inklusi finansial

Pelatihan tersebut merupakan hal baru bagi petani kopi di desa Kucur. “Sebenarnya, di desa Kucur, mayoritas warga menanam kopi dan cengkeh. Tapi karena dianggap nilai ekonominya rendah, banyak tanaman cengkeh dan kopi diganti dengan tanaman buah jeruk. Lha pelatihan ini bisa disebut sebagai hal baru. Lha wong selama ini petani kopi di sini, belum pernah ada pelatihan seperti ini,” tutur Abdul Karim, Kepala Desa Kucur.

“Besar harapan kami, kesempatan ini bisa dimanfaatkan untuk belajar mengenai budidaya tanaman kopi sebanyak mungkin. Mumpung kita bertemu dengan ahlinya kopi,” harap Yuswono Hadi, MT., anggota tim pelaksana program Insentif UMKM Berbasis Kemitraan Kemendikbud-ristek.

Pada pagi hingga siang, peserta diajak belajar budidaya tanaman kopi secara teori. Selepas istirahat, mereka diajak praktik di kebun warga. Para petani mendapatkan informasi, mulai dari proses pembibitan, persiapan lahan, perawatan, pemupukan, pengendalian hama, hingga persiapan panen.

Pada materi perawatan tanaman lewat pemangkasan dahan, beberapa petani nampak antusias. Beberapa meminta praktek di kebunnya. Selain materi pemangkasan dahan, peserta juga diajak berlatih melakukan penyambungan dan memilih dahan yang hendak dijadikan bahan sambungan.

“Wah, baru kali ini tahu bagaimana memilih dahan dan ranting mana yang mesti dipotong. Biasanya, ya asal potong saja, tanpa banyak pertimbangan,” ujar pak Sueb, Petani kopi yang kebunnya dijadikan tempat praktik.

Pengolahan Pasca-Panen

Peserta juga diajak mengenal pengolahan pasca-panen kopi. “Sebaiknya, kita melakukan petik biji kopi yang sudah berwarna merah. Kalau panennya model di-rut, asal sudah ada beberapa biji berwarna terus satu dompol diambil seluruhnya, justru nanti beratnya tidak maksimal. Setelah itu, perlu disortir. Biji yang belum berwarna merah dipisahkan dari biji kopi yang berwarna merah.”

“Setelah disortasi, biji kopi kita rambang. Biji kopi dimasukkan kedalam bak berisi air. Biji kopi yang mengambang diambil dan disisihkan. Biji kopi yang mengambang itu, bijinya tidak mentes atau berlubang. Nah (biji kopi) itu kalau diroasting akan merusak citarasa kopi,” papar Hendy Firmanto, ST., M.Sc., peneliti dan tenaga ahli dari Puslitkoka, Jember.

Pada kesempatan itu, para petani kopi juga diajak melakukan uji citarasa kopi. Pada kesempatan uji citarasa tersebut disajikan pula kopi olahan Mulyono dan Kusria, petani kopi warga desa Kucur. “Kopi Arabika ini, diolah oleh pak Mulyono sendiri. Karena dia ingin mencoba belajar mengolah pasca-panen. Kopi di gelas satunya, kopi Arabika dari pak Kusria yang diolah oleh kelompok tani,” tutur Nur Ali Romadhon, pengurus kelompok tani kopi desa Kucu

“Nah, kalau kopi yang ini, terasa citarasanya muncul ‘rasa kayu’ atau woody istilahnya. Itu karena proses pengolahan pasca-panennya. Mungkin kurang sering dibolak-balik saat menjemurnya.”

“Srrupp..” terdengar Dwiki, karyawan dari Puslitkoka mencecap kopi dari sendok. Beberapa saat, nampak ia sedang merasakan seduhan kopi itu. Tak lama, dua-tiga sendok ia ulangi lagi. “Nah, kalau kopi yang ini, terasa citarasanya muncul ‘rasa kayu’ atau woody istilahnya. Itu karena proses pengolahan pasca-panennya. Mungkin kurang sering dibolak-balik saat menjemurnya. Jadi, tingkat kekeringannya kurang merata. Benar ya Pak?”

Baca juga: Sholawat Sekarbanjar dan festival Maulid Nabi

“Wah, kok konanganya ya?” seloroh pak Mul sambil tersenyum. Kontan saja, jawaban itu mengundang peserta lain tertawa.

“Nah, kalau kopi yang satunya, sepertinya sudah benar pengolahan pasca-panenanya. Ini sudah layak masuk kedai kopi atau kafe,” tambah Dwiki.

Penguatan Kelembagaan

Disamping belajar mengenai teknis budidaya kopi, peserta juga diajak mengenal pentingnya kelompok tani. “Seorang petani kopi itu, kalau tidak ikut kelompok tani, ya dia akan ‘diombang-ambingkan oleh pemain di pasar. Atau biasa kita sebut tengkulak. Kalau secara sendiri-sendiri, petani tidak punya posisi tawar. Ditawr berapapun harga panen kopinya, petani sulit mengelak. Tidak ada pilihan. Padahal, petani dihadapkan pada kebutuhan sehari-hari yang harus segera dipenuhi. Yo wis, harga berapapun akhirnya ya ‘dilepas kopi hasil panennya,” tutur Heryanto (45), Ketua Kelompok Tani Kopi Tunas Muda, desa Srimulyo, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang.

Padahal, petani dihadapkan pada kebutuhan sehari-hari yang harus segera dipenuhi. Yo wis, harga berapapun akhirnya ya ‘dilepas kopi hasil panennya,” tutur Heryanto (45)

“Dengan berkelompok, kita bisa mufakat akan melepas kopi dengan harga berapa. Selain itu, ya kita juga belajar menyamakan kehendak dan bersolidaritas karena mengutamakan kebersamaan dalam kelompok. Tidak mudah memang. Namun ya bagaiamana lagi, menurut saya petani ya mesti bersatu dalam kelompok tani, kalau ingin maju bersama dan mencapai cita-cita bersama. Kita gak bisa memperjuangkan keadilan dalam perdagngan kopi, kalau tidak dalam suatu lembaga atau kelompok tani,” ujarnya menandaskan.

“Iya, saya sepakat dengan mas Heri,” sambung Fatkhul Ulum. “Pada dasarnya, petani itu ada dua. Petani yang berbaju petani dan petani yang berbaju pedagang. Artinya, ada petani yang mentalitasnya pedagang. Kemana-mana selalu berhitung angka-angka. Mencari pembeli kopi dengan harga tertinggi.”

Menurut Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Wonosantri, Singosari, Malang ini, ada juga petani yang berbaju petani. “Ya memang dia itu petani tulen. Seorang yang menanam tanaman pangan yang dengan sadar bahwa hasil panennya itu memang untuk melestarikan kehidupan. Bukan menyediakan pangan tapi berisi racun. Yaitu menggunakan bahan bahan kimia yang membahayakan kesehatan orang yang mengonsumsi hasil panennya. Padahal orang membeli bahan pangan itu kan ingin tetap hidup. Itulah petani yang sejati. Hasil panennya itu untuk kelangsungan kehidupan,” paparnya menjelaskan.

Bahkan, “kalau kita menanam pohon, sebut saja menanam pohon kopi, itu kan tidak hanya menyediakan bahan pangan saja dari hasil panennya. Tanaman kopi itu juga menyediakan oksigen, udara yang bersih untuk kita hirup, demi kelangsungan kehidupan di sekitarnya,” tutur pria yang akrab disapa Gus UIum ini.

Alhasil, bagi Heryanto dan Gus Ulum, kekuatan dari lembaga kelompok tani itu, terletak pada nilai-nilai yang diyakini dan dipegang teguh oleh para anggotanya. Nilai itulah yang diperjuangkan dan menjadi pondasi dari gerakan kelompok tani kopi tersebut. Nilai gerakan, sekaligus pengharapan petani ini, senantiasa menelusup dalam aroma dan citarasa kopi.

Sudah ngopi hari ini..?

Picture of Trianom Suryandharu

Trianom Suryandharu

Senior aktifis Gusdurian Malang, Pendamping gerakan ekonomi kerakyatan, tinggal di Malang.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.