Pendidikan yang Membebaskan Ternyata Ada di Indonesia

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Merdeka belajar berorientasi pada siswa. Guru menjadi fasilitator. Makanya SALAM meniadakan guru karena mindset guru selalu terjebak dalam sistem mengajar. Buku Sekolah Apa Ini merupakan proses rancang bangun bagaimana tujuan belajar adalah hak penuh anak, demikian juga mata pelajaran, tidak lain pelajaran yang memang berguna bagi anak. Pelajaran tak pernah dihafalkan, tetapi diselesaikan untuk memecahkan teka-teki proyek.

Kampusdesa.or.id–Di saat mengenali buku Paulo Freire, yang sudah lama diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Pendidikan Kaum Tertindas (LP3ES, 1985), rasanya waktu tahun 1998an, sepertinya hanya memantik semangat idealis sebagai aktifis belaka. Buku itu mampu menyulut semangat tetapi sepertinya masih dalam taraf mengembangkan semangat berwacana, latihan membuat antitesis terhadap kemapanan, belajar menginternalisasi demokratisasi, dan bahan untuk cas-cis-cus dalam berbagai kesempatan diskusi kelompok di kalangan aktifis. Lucu juga, saking semangatnya, saya mungkin tidak tahu seperti apa sih formula Pendidikan Kaum Tertindas itu menjadi bagian dari praktik-praktik pendidikan yang akhirnya menjadi salah satu jalan tepat bagi upaya pembebasan, utamanya ketika buku itu ditarik nilai relevansinya dalam dunia pendidikan.

Baca juga : Siapa Romo Mangun-mu Sebagai Mentor Ideologis?

RelatedPosts

Nah, ketika saya diminta membedah buku Sekolah Apa Ini, yang ditulis oleh Pendiri Salam (Sanggar Anak Alam), satu fasilitator, dan satu orang tua, dan diikuti oleh penulis-penulis pendukung yang turut memberikan pengamatan dan testimoni dalam proses belajar di Salam, rasanya kelatahan masa lalu mengenai kritis terhadap pendidikan tidak sekedar kritik, tetapi saya seperti menyaksikan sendiri sebuah proses pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang dibangun dari kesadaran siswa dalam membangun pengetahuannya. Buku Sekolah Apa Ini memang merupakan jalan alternatif ketika kritik terhadap dunia pendidikan tidak kunjung mengubah proses belajar. Pergeseran dari waktu ke waktu mengenai perubahan kebijakan pendidikan, utama mengenai kurikulum selalu berhenti kepada praktik-praktik pengadministrasian kurikulum sehingga tidak sampai menyentuh siswa itu sendiri.

Salam kemudian melakukan perlawanan dengan meniadakan mata pelajaran. Peniadaan ini menurut saya beralasan untuk mengembalikan kebutuhan belajar kepada siswanya, bukan ke kurikulum yang dirumuskan dari luar suara anak.

Pada praktiknya, tetap saja siswa menjadi percobaan orang lain (guru dengan segala perangkat birokrasi pendidikannya), bukan siswa yang diberi ruang percobaan. Wahyaningsih (pendiri Salam dan penulis buku ini), menyebut sebagai pendidikan yang berideologi birokrasi. Buku ini menyuarakan, bahwa pendiri Salam sadar betul, anak-anak membutuhkan kemerdekaan untuk menyadari betapa pentingnya manfaat ilmu pengetahuan sebagai cara mereka memahami dunianya bukan manusia yang hanya patuh terhadap apa yang dikehendaki orang lain. Apalagi sosok yang harus patuh diberondong oleh aneka mata-pelajaran yang anak sendiri justru terhenti kesadaran kritisnya untuk tahu (curiocity). Oleh karena praktik mata-pelajaran yang sudah tercemar akut oleh ideologi birokrasi dan memangkas rasa ingin tahu anak, karena bergaya bank, Salam kemudian melakukan perlawanan dengan meniadakan mata pelajaran. Peniadaan ini menurut saya beralasan untuk mengembalikan kebutuhan belajar kepada siswanya, bukan ke kurikulum yang dirumuskan dari luar suara anak. Mata pelajaran ditempatkan sebagai selera yang boleh jadi akan diperlukan oleh anak atau tidak. Semua bermuara pada proses anak mengetahui kesadaran kritisnya.

Buku Sekolah Apa Ini. Romo Mangunwijaya adalah isnpirator Salam yang luar biasa

Kurikulum pendidikan di Salam menjadi proses rancang bangun yang justru melekat pada anak itu sendiri, bukan rancangan guru, apalagi tujuan-tujuan belajarnya dirumuskan dibalik tembok yang kental dengan kaidah administratif. Suara anak dipelihara sebagai suara tertinggi dalam merancang pilihan dan arah belajar. Anak-anak ini difasilitasi rasa ingin tahunya dan anak dibantu agar mampu memperkaya rasa ingin tahunya itu menjadi jejak-jejak ilmu pengetahuan. Anak yang sedang belajar tidak diajar dan didril dengan aneka teori yang out of context, tetapi diinspirasi, dimotivasi, dan diberi stimulus yang memperkaya rasa ingin tahunya. Seluruh proses tersebut kemudian dikompilasi menjadi serpihan-serpihan ajaib ilmu pengetahuan, tentunya selaras dengan usia perkembangan anak itu sendiri.

Keluar dari Keraguan Salam vs Sekolah Formal

Jika tanpa mata pelajaran, apa keuntungannya cara belajar seperti ini? Anak berkembang rasa ingin tahunya. Dia dibiasakan mengenali potensinya dan anak akan bergerak untuk menjawab rasa ingin tahunya. Model belajar ini membantu tumbuhnya motivasi terdalam anak. Anak bergerak aktif dan progresif. Motivasi ini disebut sebagai motivasi internal. Anak yang terasah motivasi internalnya, mereka akan bergerak dengan dasar kemauannya sendiri. Guru bertugas memfasilitasi kemauannya menjadi tertata dan menghasilkan sejumlah hasil belajar. Kita bisa membayangkan, jikalau kita memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, penasaran amat sangat, maka kita biasanya selalu mengejar rasa penasaran itu hingga mendapatkan hasil yang memuaskan. Begitulah kira-kira cara belajar Salam. Anak diungkit rasa penasaran melalui berbagai macam pertanyaan yang otomatis terbangun dari kesadaran dirinya. Jawaban yang dicari dan ditemukan menjadi semangat menjalani proses belajar sampai mereka menghasilkan pengetahuan baru yang mencerahkan dirinya.

Tidak heran, jika anak-anak Salam tidak belajar sebagaimana anak-anak sekolah formal yang berbasis pada teks dan kurang relevan dengan pengalaman hidupnya, apalagi kebutuhan hidupnya. Anak-anak yang terlatih belajar berdasarkan kebutuhan hidupnya dan mampu menjawab pertanyaan kritis, mereka akan lebih mudah menghadapi hidupnya, terlatih mengambil keputusan, memiliki penyelesaian masalah (solutif), dan berani mengambil resiko. Piranti tersebut sangat penting dalam memandu anak-anak dalam meraih kesuksesan. Jadi, jika disandingkan dengan kompetensi sekolah formal, para orang tua khususnya, mungkin memang tidak sebanding karena sekolah formal didominasi oleh nalar menghafal dan penguasaan teks. Anak-anak sekolah formal akan menguasai ilmu-ilmu tekstual dan bahkan dengan kuasa menghafal, tetapi mereka akan butuh waktu lagi untuk belajar menghadapi kehidupan. Ini bisa dirujuk pada mengapa lulusan sekolah formal (SMK dan Perguruan Tinggi) justru lebih banyak menyumbangkan pengangguran. Mereka memang lebih banyak beban menyelesaikan pengetahuan kognitifnya, daripada menyelesaikan proyek yang relevan dengan minta hidupnya. Inilah kerugian sekolah formal dan memang tidak terlalu dipilih oleh Salam.

Mereka memperlakukan mata pelajaran bukan untuk dihafalkan guna menjawab tes formatif (skolastik) di bangku ujian semester, tetapi anak-anak memperlakukan mata pelajaran berdasarkan tema-tema yang dibutuhkan untuk menuntaskan eksplorasi proyeknya.

Keberpihakan Salam pada belajar hidup menggunakan cara belajar riset sejak dini meniscayakan anak-anak Salam langsung terhubung dengan kehidupannya. Anak-anak diajari memilih kegemarannya. Dia mulai diajak berpikir dan merevolusi pikirannya. Mereka didampingi untuk mengeksplorasi fakta-fakta, menyusun kata-kata, dan merumuskan menjadi suatu produk tertentu yang praktis dan realistik. Mata pelajarannya boleh jadi Zigzag. ManaMata pelajaran yang relevan diambil menurut tema-tema tertentu, lalu digunakan sebagai bahasa untuk menemukan dan menjelaskan eksplorasinya. Mereka kemudian mampu menggerakkan daya cipta dalam bentuk material atau ilmu pengetahuan. Mereka memperlakukan mata pelajaran bukan untuk dihafalkan guna menjawab tes formatif (skolastik) di bangku ujian semester, tetapi anak-anak memperlakukan mata pelajaran berdasarkan tema-tema yang dibutuhkan untuk menuntaskan eksplorasi proyeknya. Di sinilah anak-anak dipandu membangun ilmu pengetahuan yang relevan dengan kehidupannya. Mereka belajar di atas kebutuhan hidupnya, dan sangat membantu proses mencapai sukses sejak dini.

Bedah Buku bersama para penulis. Tengah Sri Wahyaningsih (Pemilik Salam)

Ujiannya adalah presentasi proyek hasil belajar. Semangat ini sudah sejak dini diterapkan di Salam dengan menyesuaikan kemampuan perkembangan naratif (bertutur) anak-anak. Secara pribadi, saya menyukai cara belajar seperti ini. Anak-anak mampu dibebaskan dari budaya pendidikan bisu menuju pendidikan yang membebaskan. Ketika saya mencobakan di bangku-bangku kuliah dengan metode yang hampir mirip, mahasiswa mampu berkarya memenuhi bakat dan minatnya. Mereka seperti tersadar bahwa ilmu pengetahuan mereka dapat selaras dengan tujuan hidup yang diimpikan. Bahkan mereka mampu menghasilkan miniatur sukses secara finansial, sekaligus mampu secara merdeka menciptakan bangunan ilmu pengetahuan dari proyek-proyek percobaannya.

Buku ini sangat relevan untuk membuka cakrawala perubahan pendidikan ditengah aneka diskusi perubahan pendidikan yang masih berkutat di kebijakan dan politik birokrasi. Buku Sekolah Apa Ini, seperti tidak hirau dengan percaturan politik tersebut dan menyajikan bahwa kita bisa melakukan perubahan itu.

Tulisan ini dimuat di portal SALAM (Sanggar Anak Alam) Yogyakarta

Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.