Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

328
SHARES
2.5k
VIEWS

Hari guru pada 25 November ini mengingatkan saya tentang merdeka belajar. Saat banyak orang, bahkan siswa bisa mengembangkan diri tanpa guru formal, profesional, termasuk cara mengasah skill otodidak, maka diri siswa pun adalah guru bagi dirinya sendiri. Begitu juga mahasiswa saya, saat dilepas mencari kreatifitas dan inovasi belajar psikologi, dia menemukan ragam produk psikologi yang tidak pernah terpikir di benak saya. Saya menjadi tahu diri, tidak selamanya apa yang saya berikan menjawab inovasi dan kreatifitas mahasiswa. Saya sadar diri, guru tak bisa berhenti di otoritas saya di dalam kelas. Semua berpotensi memilih guru berdasarkan kebutuhan rasa ingin tahunya.

Suatu misal, anak saya begitu berjibaku dengan kompetisi game online. Bahkan dia ikut kompetisi melalui sekolah yang justru di sekolahnya tidak pernah ada mata pelajaran game online. Ruang pertemananlah yang menjadi gurunya. Setiap malam berkumpul, berkomunikasi dan mengasah kompetisi dengan cara mereka sendiri. Dia pun dapat penghargaan kompetisi. Begitu juga satu anak saya, dia gila aksi organisasi, berkarya dengan mengorganisasir dan bermain futsal, meski dia perempuan. Beberapa event bersponsor dia lakukan bersama teman mereka. Kuliahnya di pendidikan niaga. Beberapa teknik marketing juga dipelajari materi kuliah, tetapi tak seaplikatif ketika berorganisasi. Dia terhubung langsung di lapangan. Gurunya dari proses mengalami untuk tujuan realistik. Ternyata guru kompetensi atau medan pengalaman diambil dari berbagai sumber guru secara liar. Tidak ada batas definisi formal guru kelas. Guru senyap yang tak diperhitungkan tetapi langsung menjadi jembatan kebutuhan langsung. Gurunya silih berganti.

RelatedPosts

Kebutuhan guru formal menjadi kewajiban patuh pada formalisasi belakar. Setelah itu ditinggal begitu saja karena otucomenya tidak menjawab kebutuhan anak.

Belajar merdeka tidak bisa dibatasi dalam ruang guru formal. Kemerdekaan siswa untuk mencapai target kegemarannya ternyata membutuhkan ragam guru yang silih berganti, singkat, cepat, namun dapat menjawab rasa ingin tahunya. Bahkan dia merdeka menentukan guru. Tergantung derajat mobilisasinya dan target apa yang segera ingin diwujudkan anak. Anak bisa jadi subyek yang lebih tahu mana guru yang lebih layak memenuhi kebutuhan belajarnya. Lebih ekstrem, justru anak-anak tak menganggap guru formalnya berjasa secara pragmatis. Kebutuhan guru formal menjadi kewajiban patuh pada formalisasi belaka. Setelah itu ditinggal begitu saja karena otucomenya tidak menjawab kebutuhan anak.

Nah, kalau medeka belajar berpola pragmatis, temporer, berkinerja target ala target merdeka siswa, apalagi student centered learning, para guru formal boleh jadi tidak lagi zamannya mengendalikan kemerdekaan siswa. Bersikukuh guru formal sebagai instruktur sukses tunggal, nampaknya gaya klasik tersebut tidak lagi mujarab mencapai situasi ideal bagi merdeka belajar siswa. Guru formal perlu legowo memosisikan sebagai bagian yang tidak utuh menyanding si siswa yang merdeka bereksperimentasi. Laksana orang tua yang mulur mungkret memahami kemauan anak yang tidak mudah segaris seirama denga anak. Jika sudah begitu, orang tua menjadi tut wuri handayani. Jika kenyataannya siswa sebenarnya bisa memilih siapa saja guru eksperimentasinya, dan siapapun subyek interdependensi suksesnya, merdeka belajar perlu memberi ruang siapapun boleh menjadi guru. Asalkan dapat membantu siswa berorkrestasi dengan eksperimentasi targetnya.

Siswa Merdeka Gurunya Siapa Saja

Praktik baik ada di beberapa sekolah non-formal dan pendidikan alternatif yang memberikan siswa kemerdekaan merancang belajar sendiri. Qoryah Toyyibah Salatiga memberikan keleluasaan siswa membuat masterplan pilihan belajar mereka. Salam Yogyakarta, memberikan kesempatan yang sama dan mendesain riset dengan memberikan kesempatan mengakses guru non formal, Sekolah Dolan Malang memberi kesempatan siswanya mengajukan kelas mandiri dan presentasi tugas akhir dari hasil karyasiswa. Pesantren Rakyat Sumberpucung, Kab. Malang, memberi kebebasan santrinya untuk memilih fokus menjadi peternak lele, belajar bangunan lebih besar porsinya, sementara kelas formalnya untuk belajar dan mengaji dapat menyesuaikan santri. Para siswa diapresiasi orientasi minatnya dan boleh mengambil guru siapa saja. Merdeka belajar yang memasilitasi siswa memilih guru sesuai eksperimentasi minat dan bakatnya.

Komunikasi yang mengaransemen merdeka siswa menjadi desainer individual dan kolaboratif. Bahkan pilihan guru tidak lagi guru kelas tetapi guru siapa saja yang relevan menjawab dorongan proses penuntasan belajar.

Siswa merdeka gurunya siapa saja yang relevan membantu mengembangkan rasa ingin tahu siswa. Dia bisa menemukan guru temporer, guru pemandu, atau guru berjejaring, dan lain sebagainya, bisa bersamaan sesuai dengan mobilitas diri siswa atau bergantian secara tuntas. Posisi guru formal bergeser. Bahkan kuasa di kelas diubah dengan auto skill designer yang patokannya bukan administratif kurikuler yang didesain dibalik layar. Sementara siswa tak pernah tahu kapan mereka bersuara memulai belajar. Auto skill designer adalah fasilitator merdeka yang kemampuan kompleksnya mampu merangkai keragaman perspektif ilmu pengetahuan dan menginklusi ketrampilan makro menjembatani praktik merdeka siswa. Jenis komunikasi beralih dari komunikasi kepatuhan menjadi komunikasi mendengarkan. Komunikasi yang mengaransemen merdeka siswa menjadi desainer individual dan kolaboratif. Bahkan pilihan guru tidak lagi guru kelas tetapi guru siapa saja yang relevan menjawab dorongan proses penuntasan belajar.

Melewati peringatan hari guru tanggal 25 November lalu, semangat merdeka belajar membuka ruang pemaknaan guru dalam menarasikan ulang merdeka belajar. Guru tidak dibatasi pada ruang kelas yang telah terkapitalisasi dalam politik pendidikan atas nama sekolah. Semangat merdeka belajar diikuti oleh redefinisi guru yang memiliki peran penting dalam menjawab berbagai kebutuhan merdeka siswa. Dia boleh disebut teman yang membantu kerja kreatifnya, tetangga yang menjadi model sukses, sosok yang membelajari seorang anak menciptakan permainan, tukang bengkel yang terbuka untuk anak yang rela alat bengkelnya dijadikan sumber belajar, tukang bangunan dari seorang santri, pedagang pasar yang menjadi tempat latihan anak-anak meriset praktik jual beli, begitu seterusnya. Guru adalah sosok yang terbuka menularkan kompetensi unggulnya untuk anak-anak yang ingin melatih rasa ingin tahunya.

Dalam kelas, guru tak lagi menjadi otoritas tunggal. Kolaborasi lintas kompetensi memicu merdeka belajar tumbuh dalam situasi berjejaring yang lues dan terbuka.

Siswa merdeka belajar gurunya siapa saja. Guru formal adalah dirijen. Sosok yang fleksibel laksana seorang penasihat dengan kekuatan inpsiratif. Dia tidak menjadi pemilik tunggal bagi pengarah kompetensi karena eksperimentasi sukses dalam dunia kreatif membutuhkan perspektif beragam. Apalagi di zaman kolaboratif. Pengalaman sukses berproses dengan kekuatan diri untuk mengorkrestrasi berbagai sumberdaya yang saling menunjang cita-cita mudah tergapai. Seorang anak yang kompetensinya memasak, dia butuh guru formal yang memberikan cara berliterasi dalam menemukan sumber bacaan dan pengetahuan yang tepat, tetapi tentu tidak kuasa mengajari memasak, kecuali guru tersebut punya bakat memasak. Saya mengajar psikologi entrepreneur di paskasarjana psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Saya bisa memandu mereka melacak melalui bibliometri (referensi) untuk menguasai pengetahuan psikologi entrepreneur, tetapi jelas tidak kompetens untuk memandu eksperimentasi di dunia nyata. Saya mengundang pengajar luar yang membantu mahasiswa menggerakkan usahanya melalui pelaku bisnis digital untuk bicara data sains dalam mengelola percepatan pasar. Agus Sakti, pengajar dari praktisi saya beri porsi sesuai selera mahasiswa. Mereka saya beri kelonggaran mengakses tuntas pengajar tersebut. Berbagai inspirasi cepat bertumbuh hingga mereka membuat kolaborasi bisnis. Dalam kelas, guru tak lagi menjadi otoritas tunggal. Kolaborasi lintas kompetensi memicu merdeka belajar tumbuh dalam situasi berjejaring yang lues dan terbuka.

Merdeka belajar, gurunya bisa siapa saja.

Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.