Dari Ambon Menjadi Indonesia, Suara dari Kana Kopi

333
SHARES
2.6k
VIEWS

KAMPUSDESA.OR.ID–Sejak Pandemi Covid-19, kajian #17an Gusdurian Malang mati suri. Para aktivis lintas agama ini lebih banyak bekerja dalam berbagai penyaluran bantuan pada warga terdampak Pandemi. Seketika endemi sudah menjadi babak baru, forum #17an seolah mendapat momennya berbarengan dengan HUT ke-77 RI. Kongkow kali pertama ini mengambil kegiatan seputar Nobar film Luka Beta Rasa, musikalisasi puisi, performa dan diskusi mengenali perbedaan. Semua menjadi awal bagi kesaling-sapaan dan perjumpaan mengenal lebih dalam arti perbedaan, konflik, dan masa depan perdamaian menjadi Indonesia.

Ini gayung bersambut untuk menghidupi pembiasaan hastag 17an yang sebelum pandemi dijadikan sebagai momen menguatkan kesadaran terhadap perdamaian. Forum 17an dijadikan sebagai rutinan untuk berkumpul dan berdiskusi bagi aktivis Gusdurian yang dilakukan tanggal 17 pada setiap bulan. Sebagaimana spirit tersebut kegiatan 17an yang dikaitkan dengan peringatan HUT RI kali ini diisi dengan perjumpaan para aktivis untuk merekatkan kembali spirit harmoni keragaman. Forum 17-an Ini juga mengingatkan kembali arti penting perdamaian dengan nonton bareng film dokumenter Luka Beta Rasa sebagai bagian dari resolusi konflik untuk keberlanjutan perdamaian. Sebuah pengalaman krisis yang mengorbankan rasa kemanusiaan dan keutuhan pribadi menjadi manusia Indonesia. Pada kegiatan ini, selain syukuran, kongkow Forum 17-an dapat membantu para pemuda calon pemimpin untuk menyadari arti penting konflik atasnama agama, dampak kekerasan, dan masa depan relasi damai.

RelatedPosts

Foarum 17-an dihadiri dari berbagai peserta yang beragam. Istimewanya, sebagian audiens ada yang berasal dari Ambon, tentu ada perwakilan dari agama Baha’i, Katolik, Kristen, Muslim, Transgender, aliansi Jaringan Lintas Isu (Jati) Malang yang juga mengajak para aktifis untuk memromosikan. Perform juga dihadiri dari ibu-ibu kelompok seniman dari Idol Wareng Group, kelompok ibu-ibu sebuah RW Kedungkandang. Awaludin, pembaca puisi, dan narasumber muda seperti Baihaqi (UKM Cinta Tanah Air), Sebastian (PMKRI), Monika, Oase, Kampus Desa, Romo Gani, saya dan banyak audiens baru yang tertarik merajut perjumpaan lintas iman. Perjumpaan baru yang mengobati kerinduan baik bagi penggerak Gusdurian Muda Malang, atau bagi kalangan pemuda baru yang telah lama tidak berekspresi dalam merayakan perbedaan.

Pada akhirnya mereka terkoneksi dalam ruang publik kuliner di sebuah warung kopi. Forum 17an ini pertama diselenggarakan di Kana-Kopi, Oro-oro Dowo, Klojen, Kota Malang dengan seorang owner dari Jamaah Kristen yang mulai bergabung sebagai relawan lintas agama saat pandemi pada Jumat, 26 Agustus 2022, sejak pukul 19:00 sd 23:00 WIB. Forum 17-an yang bertempat di Kana-Kopi memberikan kesan bahwa Kafe menjadi ruang publik yang mencair sebagai wadah perjumpaan kebudayaan di tengah perebutan gaya hidup kafe modern yang nampak seragam dan peyoratif.

Kana Kofi dan Momen Baru Kisah Damai

Nampaknya, nonton bareng Luka Beta Rasa memantik kesadaran masa lalu mengenai sikap terhadap psikologi konflik dan pemaknaan traumatik untuk reproduksi perdamaiaan agama-agama dari para penutur muda di Kana Kopi. Situasi traumatik tersebut tidak bisa membebaskan dendam karena pengalama tersebut begitu nyata. Bagaimana proses penyelamatan untuk bebas dari ancaman pembunuhan menjadi Mas Bento harus mengubah simbol kopyah dan tidak berkopyah dalam perjalanan harian dia dari simbol satu agama ke agama lain. Film tersebut tidak semudah itu menghapus trauma dan kebencian. Untuk itu, realitas sinematik tersebut semestinya menjadi bahan untuk tidak melupakan begitu saja peristiwa tragis tersebut yang tidak mudah menghapus sedemikian rupa masa lalu. Namun demikian, perjumpaan di warung kopi ini, mereka berusaha mengekspresikan bahwa Ambon mempunyai trauma tetapi perlu kita untuk meretas perdamaian agar anak-anak tidak lagi menjadi komoditas perang atas-nama agama. Oleh karena itu, mereka mengambil pemaknaan bahwa film Luka Beta Rasa, tidak hanya menjadi tafsir tunggal tetapi perlu juga dikritisi sebagai bagian dari memaknai Ambon dan Indonesia dari berbagai keragaman, baik luka yang tidak serta merta dilupakan ataupun menjadi pelajaran baik bagi generasi untuk menciptakan recovery Indonesia dalam multikulturalisme.

Sebastian (Kanan), Aktifis PMKRI asal Ambon yang sedang studi di Malang.. Salah satu penggiat Gusdurian Malang

Kana Kafe menjadi ruang publik bagi pemuda Gusdurian yang baru bergabung untuk merefleksikan kesadaran kepemimpinan dalam sudut pandang kritis merawat spirit kebinekaan global. “Saya hidup di desa Madura yang kaya dengan perbedaan agama. Itu bisa dilalui hingga hari ini. Mencintai Indonesia yang keren ini menjadi tanggung jawab anak muda yang akan memimpin bangsa ini sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk merawat konflik berujung kekerasan,” tegas Baihaqi, seorang aktivis UKM Cinta Tanah Air yang juga Mahasiswa Universitas Islam Malang. Sebastian, sosok aktivis PMKRI yang asli Ambon, pun mengekspresikan keterkejutan sosial saat tiba di Malang. Dia menjadi kaget ketika melihat tulisan di kos-kosan berbunyi, kos khusus muslim. Namun, setelah bergaul dengan PMII, HMI, dan Gusdurian, dia mulai terbiasa. Keragaman agama ini tidak perlu dibesarkan, karena kebutuhan kemanusiaan kita sama, hanya cara beribadah kita saja yang berbeda. Untuk itu kegiatan seperti safari damai berkunjung ke tempat ibadah agama-agama menjadi pelajaran penting bagi kita. Sebuah perasaan yang dikisahkan Monika, salah satu penggerak Gusdurian Muda Malang yang pernah mengikuti kegiatan live in lintas agama di Jakarta. Kana-kopi Oro-oro Dowo menjadi saksi bagi para muda untuk mengekspresikan perdamaian lintas agama itu perlu dialami sehingga dapat beradaptasi dan terbiasa dengan perbedaan.

Merawat Indonesia dalam perdamaian sebagai ketrampilan berbineka membutuhkan latihan perjumpaan dan menyadari konflik kekerasan agama perlu dikritisi untuk memahami substansi menjadi Indonesia. Suatu contoh, “keragaman agama yang nyata di Madura rapuh oleh karena para Kyai lokal yang banyak pengikutnya justru tergadaikan akibat narasi eksklusif media sosial yang gagal difilter mereka. Akhirnya menimbulkan hubungan yang tidak rukun,” kata Awaludin yang asli Madura dan telah mementaskan musikalisasi puisi di Kana Kopi. Simpul dari Ambon menjadi Indonesia ditegaskan oleh Romo Gani. Latar-belakang konflik tersebut sebenarnya lahir dari latar-belakang non-agama. Ada dua yang perlu disikapi, yakni konflik oleh karena relasi ekonomi yang timpang dan munculnya sosok provokatif atas nama agama. Bagi Romo Gani, Indonesia ini memiliki kearifan lokal yang selalu merawat damai. Contoh orang Jawa, mangan ora mangan sing penting kumpul (maka tidak makan yang penting berkumpul). Sikap kekurangan ekonomi tetapi selalu mengedepankan hubungan rukun. Keserakahanlah yang menstimulasi konflik. Interes politik juga menyulut provokasi berujung konflik. Indonesia punya hikmah harmoni yang mampu mengatur perbedaan menjadi irama bersama. Itulah Indonesia, jelas Romo Gani, seorang tokoh gereja yang telaten mengayomi para penggerak Gusdurian. Kebutuhan relasi damai terus dibangun secara kritis sehingga para anak-muda mampu mengambil posisi penting bagi tumbuhnya pengalaman dan narasi kritis mengambil bagian tanggung jawab Indonesia ke depan.

Forum 17-an Garuda Malang di Kana Kopi telah menyegarkan tiga tahun (setelah pandemi) atas pengalaman perjumpaan untuk pelatihan harmoni dalam kebinekaan bagi pencinta pikiran dan laku Gus Dur di Malang.

Picture of Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.