Gerakan Lintas-Umat Beragama dan Tantangan Ekonomi Kerakyatan

330
SHARES
2.5k
VIEWS

Beberapa waktu lalu, penulis berkesempatan dolan ke daerah Jember. Di sepanjang jalan, mulai Pasuruan, Probolinggo, Lumajang dan Jember, bertebaran toko Basmalah. Toko eceran milik Koperasi Pondok Pesantren (kopontren) Sidogiri, Pasuruan.

Kehadiran ritel Basmalah, setidaknya ‘mewarnai’ menjamurnya gerai waralaba ‘mart’ yang telah lebih dulu hadir dan bertebaran.

RelatedPosts

Lantas, apa kaitannya dengan gerakan lintas-umat beragama?

Hampir dua dekade ini, dalam amatan sekilas (mungkin juga agak serampangan), pola gerakan lintas-umat beragama, lebih didominasi pola elitis. Pertemuan para pemimpin umat, baik saat momentum hari raya maupun di luar momentum tersebut. Gelaran forum diskusi, seminar, cenderung mengulik wacana teologi sarat keilmuan.

Pertemuan yang biasanya diikuti dan melibatkan sekelompok orang, dengan atribut pemimpin umat maupun anggota pengurus suatu bidang yang mengurusi kerjasama antar-umat beragama.

Pada sisi lain, gerakan yang bisa disebut sebagai populis, melibatkan lebih banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat cenderung bersifat karitatif. Misalnya, saat terjadinya bencana alam atau gerakan pemberian bantuan sembako di masa pandemi kemarin. Di luar itu, ada pula kegiatan berbentuk kerja bakti. Contohnya, nge-cat tembok, bebersih rumah ibadah.

Nah, bisa jadi situasi kekinian dapat mendorong pola gerakan kerjasama antar-umat, saatnya bergeser ke arah pola gerakan yang populis. Perjumpaan lintas-umat beragama sudah waktunya diperkuat arusnya ke arah yang lebih melibatkan sekaligus memenuhi kebutuhan umat (partisipatoris). Setidaknya ada upaya terobosan demi memperkaya kerjasama lintas-umat beragama.

Forum seminar maupun diskusi, demi menambah cakrawala pemahaman, masih cukup layak diteruskembangkan. Pemahaman teologi inklusif memerlukan topangan energi demi keberlangsungan pewarisannya. Termasuk mendorong eksplorasi pengembangan gagasan pemikiran teologi yang inklusif.

Pada pihak lain, penguatan wacana keberagaman yang inklusif, forum tersebut pun menjadi ruang dialektika pemikiran, khususnya dalam merespon tawaran gagasan dari kelompok intoleran. Kelompok yang membangun militansi keagamaan, berbasis pemahaman yang eksklusif, bahkan mengarah menjadi kelompok radikal.

Demikian halnya dengan perjumpaan para pemimpin umat dan pengurus organisasi antar-umat dari masing-masing kelompok umat beragama. Dibutuhkan perjumpaan yang intens khususnya dalam menemukan terobosan yang lebih menyegarkan demi menjawab tantangan bersama. Perjumpaan yang (diharapkan) melampaui aktivitas seremonial semata.

Ritel Basmalah dan ekonomi kerakyatan lintas agama

Perjalanan ke timur, berjumpa dengan tebaran toko ritel Basmalah, seperti mengisyaratkan plethikan sinar. Ibarat rambu-rambu jalan yang mengandung pesan.

Pertama, ritel tersebut dari segi kepemilikan bersifat komunal. Lembaga usaha berbentuk koperasi. Sebuah isyarat yang inspiratif khususnya dalam konteks pengembangan gerakan koperasi. Keberadaan toko eceran tersebut, seakan menguatkan sinyal, gerakan ekonomi kerakyatan dalam bentuk koperasi, mampu bersanding dengan toko ritel individual.

Setidaknya rambu itu hendak meneguhkan betapa gerakan ekonomi yang berbasis komunal niscaya kok bersanding dengan toko yang dimiliki secara perseorangan. Toko perseorangan, hasil terbaik dari rahim gerakan perekonomian yang liberal-individualistik.

Kedua, ritel yang lahir dari ekosistem pondok pesantren tersebut pun memberikan peneguhan, betapa gerakan keagamaan, potensial menjadi rahim lahirnya agen perekonomian yang berbasis komunalisme (kebersamaan).

Hal ini sekaligus hendak memberikan peneguhan betapa gerakan lintas-umat beragama, potensial menjadi rahim bagi tumbuhnya tata kelola perekonomian yang lebih bercorak atau berkarakter kebersamaan.

Secara serampangan kita bisa membayangkan jika di banyak tempat berdiri toko-toko pengecer (ritel) yang berbasis kebersamaan, bersemangat gotong-royong, dimiliki bersama, membagikan hasil usaha secara adil. Hmm, bukan kah hal itu menjadi impian dari setiap tarikan nafas sila pada Pancasila dan UUD 1945.

Apalagi toko toko pengecer itu menjadi urat nadi sekaligus etalase bagi karya produk rakyat mulai dari pinggiran pantai, pucuk gunung, lembah, hingga sudut gang perumahan sempit-padat di perkotaan.

Alhasil, terbuka potensi yang saatnya digarap bersama. Semangat gotong-royong, kebersamaan, tak menutup peluang diwujudkan di bidang perekonomian. Apalagi terdaapat faktor kemendesakan pada situasi kekinian.

Pertama, situasi kebangkitan dalam bidang ekonomi, usai dihantam pandemi Covid-19. Kedua, ancaman krisis ekonomi global yang berpeluang mengerek kenaikan harga energi berbasis fosil. Ketiga, ekosistem ekonomi digital yang kian marak, tentu menjadi faktor kesulitan tersendiri, khususnya bagi kelompok masyarakat yang belum ramah pada teknologi informasi.

Pada matra seperti ini, strategi gerakan lintas-umat beragama dapat mengambil peran kunci. Setidaknya, tak henti berkeringat mewujudkan kehidupan bersama berbasis semangat gotong-royong sebagai jatidiri bangsa, khususnya dalam bidang perkonomian.

Siapa tahu, rakyat secara bersama (komunal, citizenship), menjadi pemilik toko online di negerinya sendiri. Selamat hari Kemerdekaan RI ke-77 Tahun.

Picture of Trianom Suryandharu

Trianom Suryandharu

Senior aktifis Gusdurian Malang, Pendamping gerakan ekonomi kerakyatan, tinggal di Malang.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.