Saatnya Menggeser Teori Parenting Impor dalam Psikologi

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Sebutan seorang ibu ideologis sebenarnya tidak bermaksud melebih-lebihkan. Saya hanya ingin memastikan saja bahwa sosok guru, kolega yang kehadirannya tepat itu yang dapat menjejakkan inspirasi bagi muridnya atau koleganya. Apa hubungannya dengan buku ini. Ya, melalui pengalaman panjang berguru dengan Prof. Mufidah Ch, M. Ag sejak saya menjadi aktifis dan bekerja dalam berbagai kegiatan pemberdayaan, hingga lahirnya buku ini, saya mendapat pencerahan bahwa teori pengasuhan anak yang klasik, bahkan cenderung menjenuhkan sudah saatnya digeser ke teori parenting yang andal bagi masyarakat sendiri. Buku ini boleh jadi sebagai inisiatif kecil untuk menggeser teori parenting impor dalam psikologi.


Kampusdesa.or.id–Buku ini sampailah ke seorang yang sering kami sebut sebagai ibu ideologis. Guru Besar Sosiologi Hukum Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Mufidah Ch. Apa hubungannya dengan buku ini. Begini, saat satu tim dalam sebuah lembaga penelitian dan pengabdian, pun sebelum itu saya turut nyantrik di berbagai gerakan gender dan studi lintas iman dengan Mufidah, kebiasaan membaca buku-buku kiri dan filsafat banyak sambungnya dengan beliau. Tentu ada yang kadang menerobos batas, tapi beliau menjadi senior dan kolega yang bisa membelokkan sebagian pikiran saya sehingga saya mulai menemukan cara menerjemahkan ide kritis dalam suatu gerakan terencana dan aplikatif. Di sini sindrom aktifis yang suka melambung idenya, bisa terlatih menjejak di bumi.

Begitu juga dengan buku ini. Praktik riset di buku ini tidak lepas dari pergulatan saya untuk menemani beliau mengembangkan riset dan pengabdian masyarakat dengan mengolak-alik terapan penelitian tindakan partisipatoris (participatory action research) dan penelitian berbasis komunitas (community based reasearch). Beliau getol untuk menggunakan Community Based Research dalam mendorong orang-orang desa dapat merebut keberdayaan dan memaksimalkan aset mereka sehingga masyarakat dapat bersama saling mendukung untuk maju. Ketika saya punya kesempatan riset, saya menekuni pendekatan PAR sebagai metode yang memrioritaskan keberdayaan orang-orang desa. Termasuk menjadi bagian dari cara orang desa menyuarakan pengetahuannya. Nyaris cara ini nekad saya lakukan di tengah keterbatasan biaya riset.

RelatedPosts

Menerapkan penelitian tindakan partisipatoris yang anti hegemonik

Al Hasil, riset-riset PAR saya temukan tidak terlalu banyak mengambil pengetahuan lokal yang bisa dikumpulkan sebagai model kearifan lokal masyarakat. Riset PAR banyak mementingkan perubahan dan mengabaikan dasar berpikir masyarakat lokal. Hasilnya yang kita dapatkan jatuh pada pragtisme. Memang tidak masalah. Tapi ada piranti penting yang hilang, yakni bagaimana dasar perubahan itu dibangun dari pengetahuan masyarakat.

Nah, secara akademis, buku ini memaparkan mulai dari cara menyusun dan merumuskan kearifan lokal masyarakat menjadi kesadaran pengetahuan parenting, kemudian dibuatlah skema voice delivery (pengiriman suara lokal) melalui sebuah wadah aksi pengasuhan anak. Dasar perubahan dengan demikian diambil dari konsepsi lokal yang disistematisasi menjadi pengetahuan bersama.

Baca juga: Merumahkan Sekolah atau Sekolah Telah Mati, Silaturahim dan Inspirasi Sukses untuk Anak

Dengan demikian, pengetahuan pengasuhan anaknya bukan diimpor dari luar yang biasanya sudah menjadi kebenaran absolut yang dibawa peneliti. Suatu konsepsi yang sebenarnya terlalu hegemonik (dipaksakan) dan bagi saya juga sudah menjenuhkan. Biasanya, kalau riset mahasiswa tentang pengasuhan anak, cenderung berkutat pada konsepsi gaya pengasuhan (parenting style) otoriter, otoritarianisme, demokratik, dan permisif. Ada juga yang menggunakan triple-parenting.

Buku ini saya bangun dari gagasan konstruktifistik dan untuk memberikan kajian yang fairness secara ilmiah, ada kajian teori yang saya diskusikan dengan teori-teori konvensional.


Nah, buku ini menghasilkan suatu konsepsi berbeda yang secara operasional juga dapat dikembangkan secara kualitatif atau kuantitatif. Padahal anda perlu tahu, konsepsi ini diambil dari alam pemikiran masyarakat yang secara ekonomis tergolong desa miskin. Alih-alih mereka sering distigmatisasi sebagai kampung mendho (idiot). Sepadankah membanggakan konsep parenting dari sebuah desa miskin dan sering distigmatisasi sebagai kampung idiot menjadi sandingan teori parenting konvensional? Buku ini saya bangun dari gagasan konstruktifistik dan untuk memberikan kajian yang fairness secara ilmiah, ada kajian teori yang saya diskusikan dengan teori-teori konvensional. Itulah alasannya bahwa keberhasilan mengeluarkan kearifan lokal yang terpendam di metakognisi masyarakat miskin sekalipun, nyatanya ada berbagai pergulatan pengetahuan lokal yang sangat baik dijadikan rekonstruksi dalam membaca kebutuhan parenting.

Baca juga: Kelahiran Sekolah Rumah Sebelah

Sayangnya, beberapa peneliti, terutama di bidang psikologi lebih menyukai teori-teori mapan yang tinggal menguji dan mereplikasi sedemikian teori tersebut menjadi mapan. Lantas mengapa kita tidak membangun kemapanan teori sendiri yang itu juga tidak kalah operasionalnya untuk kebutuhan perbaikan kualitas pengasuhan anak. Oleh karena itu, secara metodologis dan model teoritis, buku ini berusaha keluar dari sebentuk kolonisasi yang membisukan sebagian ilmuan psikologi untuk enggan, kalau boleh saya sebut agak ekstrem, membangun kemandirian konsepsi tentang teori-teori psikologi mutakhir yang meng-indonesia.

Keluar dari jalan buntu kearifan lokal untuk mendapatkan konsepsi pengasuhan anak secara operasional

Buku ini tidak lagi menggunakan konsepsi pengasuhan anak yang menjenuhkan. Nyatanya, kita bisa melakukan kreasi (penciptaan) konsepsi pengasuhan anak secara lokal. Itu artinya, kalau tidak disebut ngeyel, ketika masyarakat diapresiasi dan digali narasi lokalitasnya, meskipun dicap sebagai desa miskin, ternyata mereka mampu mengeluarkan suara-suara positif mereka tentang parenting. Jangan kira, kalau masyarakat sudah miskin, mereka tidak diliputi oleh metakognisi pengetahuan lokal yang bisa diambil khazanah praktisnya. Menganggap miskin secara keseluruhan sama halnya kita terhipnosis oleh nalar tidakberdaya. Padahal dinamika masyarakat miskin pun diliputi oleh naras-narasi lokalitas dan orang jenius lokal yang bisa berpikir futuristik dan bijaksana.

Baca juga: Orang Tua sebagai Mursyid bagi Anak-anaknya di Dunia Maya

Namun, karena kemiskinan yang menjadi stigmatisasi, menyebabkan orang lokal enggan untuk mendengarkan, dan memahami kearifan mereka sebagai basis semangat, pilihan hidup, cuilan kisah sukses, yang semuanya tetap ada sebagai gagasan lintas pribadi dan generasi. Ketekunan mendengarkan inilah yang dapat menjadi inspirasi seorang peneliti dalam mengorganisasi pengetahuan masyarakat menjadi sistem kekebalan kolektif yang injeksinya tidak harus seratus persen dijejali pengetahuan impor, atau otoritatif dari kepiawaian seorang peneliti. Tidak lah yao……

Tebal buku ini 368 Halaman. Ada lima metode pengasuhan anak. Pembelian chat WA
Bagaimana saya kemudian mendengarkan cuilan kisah lokal tersebut menjadi sebuah konsepsi sistematis tentang pengasuhan anak? Pertama saya menggunakan pendekatan etnografi. Pendekatan ini sebagai langkah untuk memahami seting budaya pengasuhan anak. Ada yang negatif, dan tidak sedikit juga yang positif. Saya mencatat aneka narasi lokal tentang cara mereka mengasuh anak. Saya terlibat bermain dan melakukan observasi partisipan dengan orang tua atau dengan anak-anak. Saya cermati sumberdaya lokal yang potensial untuk pengasuhan anak. Kritik diri saya catat dari orang-orang yang peduli terhadap nasib anak-anak.

Mereka berkisah dalam spektrum pengalaman dan imajinasi masa depan yang cukup luas. Puying juga sih rasanya. Tapi begitulah pendekatan etnografi dilakukan. Saya pun harus cangkrukan dan jagongan untuk mendapatkan lanskap budaya asuh mereka. Interaksi saya berjenjang, mulai dari anak-anak, orang tua awam, dan para pemangku kepentingan di desa itu. Dongeng, tembang, idealisme, praktik negatif dan baik, terkumpul menjadi menggumpal banget. Yah, meskipun agak keteteran, demi mendapatkan kearifan lokal yang aplikatif dengan pengasuhan anak, akhirnya terkumpul juga.

Nah, ini barangkali yang hilang dari pendekatan PAR yang hanya berfokus pada perubahan pragmatis. Kesadaran akan pengetahuan lokal ditinggal karena peneliti barangkali sudah kadung percaya dengan teori sebelumnya sehingga hanya mengandalkan pragmatisme perubahan perilakunya saja.


Kedua, saya menggunakan grounded research. Dari sini para tokoh lokal berkumpul untuk menyistimatisasi seperangkat pengetahuan tersebut dan mendiskusikan memilih apa imajinasi praktik baik pengasuhan anak yang penting bagi masa depan mereka. Praktis, melalui diskusi kelompok terfokus, kami pun mendapatkan lima poin penting pengasuhan anak. Lima poin tersebut kemudian ditabulasi dan dijadikan sebagai bahan yang akan dikirim ke komunitas, yang saya sebut sebagai voice delivery. Konstruksi pengasuhan anak kemudian dapat dibangun secara partisipatif. Nah, ini barangkali yang hilang dari pendekatan PAR yang hanya berfokus pada perubahan pragmatis. Kesadaran akan pengetahuan lokal ditinggal karena peneliti barangkali sudah kadung percaya dengan teori sebelumnya sehingga hanya mengandalkan pragmatisme perubahan perilakunya saja.

Jadi, lima praktik pengasuhan anak yang ada di buku ini pada akhirnya bisa juga operasional untuk masyarakat tersebut sehingga narasinya tidak importir dan mengasingkan. Lima pendekatan tersebut kemudian dijadikan sebagai bahan belajar bersama yang kami beri nama SR Sangu Akik. Kependekan dari Sekolah Rakyat Ngasuh Anak yang Baik. Sedemikian pentingnya sehingga bolehkan teori ini kemudian bisa disebut sebagai teori Pengasuhan Anak Sangu Akik. Kearifan lokal tidak hanya tentang romantisme, atau bergulat dengan mitos, tetapi dapat ditarik menjadi pengetahuan operasional. Asal metodenya tepat saja.

Sebagaimana spirit saya diawal, Mufidah Ch, sosok guru besar sosiologi hukum Islam tersebut telah menjadi pemantik awal mengapa saya harus menggunakan pendekatan dekolonisasi dan lebih memihak pada narasi lokal untuk kemudian saya sandingkan dengan teori-teori parenting dalam dunia psikologi. Tak lain adalah saya memang dilatih agar riset yang dilakukan dapat mendorong penawaran ideologi ilmu pengetahuan ketimbang semata-mata ikut arus yang tak melek bahwa, ilmu pengetahuan sebenarnya juga tidak lepas dari praktik-praktik kolonisasi dan ideologisasi. Optimalisasi metodologis buku ini, telah didampingi dengan penuh kesabaran oleh Prof. Koentjoro dan Prof. Subandi dari Universitas Gadjahmada Yogyakarta. Terima kasih banyak pada beliau.

Untuk pelatihan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR yang lebih dapat mengangkat pengetahuan lokal untuk wacana global (glokalisasi), silahkan kontak saya dengan meng-klik Whatsapp saya.

Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.