Roasting Kopi dan Secangkir Kopi Bagi Petani Kopi

338
SHARES
2.6k
VIEWS

Kampusdesa.or.id–Rasanya, tak pernah berkurang bahan, membincangkan kopi. Kopi seperti memiliki dunia sendiri. Setiap biji kopi, seolah ditakdirkan mengandung kekhasan di dalamnya.

Ada beberapa hal yang menentukan dan memengaruhi citarasa biji kopi.

RelatedPosts

Pertama-tama, kualitas citarasa kopi dipengaruhi oleh faktor lingkungan alam dan faktor manusianya. Karakter citarasa kopi, pertama-tama ditentukan oleh faktor alam tempatnya tumbuh. Biji kopi ditentukan oleh ketinggian lokasi lahan. Bagi petani yang memiliki lahan di atas 1.000 mdpl, cocok ditanami varian kopi arabika. Ketinggian lahan mempengaruhi tingkat kelembaban udara, suhu dan curah hujan.

Sementara itu, faktor sumber daya petani penggarap menentukan karakter citarasa kopi. Termasuk dalam hal ini, para pengolah biji pasca-panen, penyangrai hingga penyeduh kopi. Dari keseluruhan tahap tersebut, tahap budidaya menjadi faktor dominan dalam menentukan karakter citarasa kopi.

Baca juga: menanam bibit kopi menanam pengharapan hidup

Hal tersebut diungkap oleh Deny Pradana, roaster yang hadir dalam Pengenalan Roasting dan Citarasa Kopi, di Sekretariat Kelompok Tani Kopi RTM (Repbulik Tani Mandiri), desa Kucur, kecamatan Dau, kabupaten Malang, 18-19 Desember 2023. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari Program Insentif UMKM Berbasis Kemitraan dari Kemendikbud-ristek, kerja sama Universitas Ma Chung dengan Kelompok Tani Kopi RTM.

Kalau kita cukup memiliki energi dalam mengolah kopi, bisa menghasilkan biji kopi yang berkualitas single origin dengan kualifikasi specialty.

Pada setiap tahap pengolahan, membutuhkan kecermatan dan ketelatenan tersendiri, demi menghasilkan kopi yang berkarater dan citarasa yang menarik. “Kalau kita cukup memiliki energi dalam mengolah kopi, bisa menghasilkan biji kopi yang berkualitas single origin dengan kualifikasi specialty. Agak ribet memang. Tidak bisa banyak. Bukan termasuk produksi massa atau mass production. Namun produk seperti itu, akan selalu memiliki pasarnya sendiri,” bebernya memetakan pangsa pasar.

Baca juga: pelatihan budidaya kopi, ada celah bersyukur

Oleh karena itu, lanjut Deny, produk kopi bisa disebut sebagai produk ‘artisan’, seperti layaknya lukisan hasil karya seniman lukis. Meski, tak menutup kemungkinan, kopi juga bisa disebut sebagai produk dari produksi massa atau asalan.

Lebih jauh, di samping faktor ketinggian lahan, tambahnya lagi, tanaman kopi juga dipengaruhi oleh unsur hara tanah. Ada beberapa tempat yang memang cocok, karena menyediakan unsur hara yang dibutuhkan bagi tumbuhnya tanaman kopi.Dengan demikian, tambahnya lagi, citarasa kopi dari masing-masing daerah, tentu akan sangat berbeda. Setiap daerah memiliki citaras kopi yang khas.

Kita akan sangat terbantu, apabila mengenal pula karakter petani yang menanamnya.

“Nah, dalam hal konteks inilah, para roaster itu perlu mengenali karakteristik biji kopi yang hendak diolahnya. Baik kalau kita bisa mengetahui, mengenal lingkungan di mana biji kopi yang hendak kita olah itu dibudidayakan. Bahkan, kita akan sangat terbantu, apabila mengenal pula karakter petani yang menanamnya,” ungkapnya bernada serius.

“Di Indonesia, kalau kita cermati, ada kawasan yang memang cocok dengan satu varian kopi. Misalnya, untuk kopi robusta, sangat cocok ditanam dan dikembangkan di kawasan gunung Semeru atau di daerah Manggarai. Biji kopi yang dihasilkan, karena dukungan ekosistem alamnya, citarasa kopi robusta akan muncul dengan kuat. Demikian juga dengan kopi arabika.”

Baca juga: Lindungi Kulitmu Dengan Tabir Surya 

 Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Deny, petani yang tidak berada dalam kawasan seperti itu, tidak perlu menyurutkan semangat dan harapannya. Sebaliknya, hal tersebut menjadi peluang bagi petani maupun para pecinta kopi, berupaya menggali ciri khas atau karakter kopi yang dikembangkannya.

Termasuk dalam tahap pengolahan pasca-panen. Deny meneruskan, biji kopi yang dipetik di suatu daerah, tentu akan diolah di daerah tersebut. Proses pengolahan pasca-panen dengan metode natural, semi-basah maupun basah-penuh, sangat ditentukan dari situasi daerah tersebut. Semakin banyak tersedia sumber air, metode pengolahan basah tentu bisa dicoba. Termasuk pula metode fermentasi, tentu dipengaruhi suhu, cuaca dan tingkat kelembaban di daerah tersebut.

Pada pihak lain, tambahnya lagi, etos kerja petani juga cukup menentukan. “Ya, tentu akan berbeda, antara tanaman yang terawat dengan tanaman kopi yang tak terawat dengan baik,” tandasnya lagi.

Cara Sangrai (Roasting) Kopi

Setelah mengenal karakter asal-usul biji kopi, para roaster juga perlu mengenal bahan-bahan mesin roasting (sangrai) yang digunakannya. Sebab jenis bahan penghantar panas yang digunakan untuk menyangrai kopi, juga bermacam-macam dan memiliki karakter sendiri.

Tingkat kepadatan tanah yang digunakan untuk membuat tembikar, akan memengaruhi konsistensi panas yang dihantarkan

“Kalau kita menyangrai kopi dengan tembikar, wajan berbahan dari tanah, tentu panasnya akan berbeda dengan perlatan dari keramik atau bahan logam. Tembikar cenderung lambat menyerap panas, kuat menyimpan energi panas namun lambat menghantarkan panas pada biji kopi. Tingkat kepadatan tanah yang digunakan untuk membuat tembikar, akan memengaruhi konsistensi panas yang dihantarkan. Demikian halnya dengan pemanas berbahan keramik maupun logam,” papar Head Roast Cuan Tanha, Malang ini.

Bagi Deny, kopi yang berkualitas bukan semata-mata dihasilkan oleh peralatan yang digunakan. Akan tetapi, lebih pada sejauhmana kita mengenal karakter biji kopi dan seluruh peralatan yang digunakan.

Pada pihak lain, Deny juga menyarankan untuk mencermati dinamika sosio-kultur masyarakat, khususnya dalam usaha kopi. “Pada kelompok masyarakat tertentu yang suka berkumpul, ngopi bareng, potensi membuka usaha warung atau kedai kopi, cukup potensial. Warung atau kedai kopi, menjadi arena nongkrong atau bersosialisasi.”

“Berbeda jika kita berada di masyarakat yang lebih berminat menikmati kopi secara privat di rumah. Tentu akan kurang diminati, kalau kita buka kedai kopi. Mungkin ada juga pembelinya, namun beli untuk dibawa pulang dinikmati di rumah sendiri.”

Dengan perkataan lain, “ya, kebiasaan atau budaya ritual minum kopi di suatu daerah, menjadi pertimbangan tersendiri, sebelum kita memutuskan membuka usaha kedai kopi. Apakah kita menyediakan tempat untuk menikmati seduhan kopi yang nyaman atau cukup membuka ‘toko kopi bubuk’.

Kita sulit mendapatkan kedai atau warung kopi yang berusia tua. Namun kalau toko bubuk kopi yang sudah berusia ‘tua’, ada di Malang.

Lebih lanjut, Deny Pradana juga mengamati, perihal ‘ritual’ minum kopi bukan tak mungkin mencerminkan dinamika kultur masyarakat. Kemudian disebutkan sebagai contoh. Di kota Malang, kita sulit mendapatkan kedai atau warung kopi yang berusia tua. Namun kalau toko bubuk kopi yang sudah berusia ‘tua’, ada di Malang.

Dalam beberapa tahun terakhir, tumbuh daerah atau kawasan yang membuka kedai kopi. Hal tersebut tak dapat dilepaskan seiring begitu massif-nya pendatang dari luar kota Malang. Terutama, mereka yang membawa ‘tradisi ritual’ dalam minum kopi.

Dengan begitu, aroma dan citarasa kopi, meruar tak bisa dijauhkan dari geliat kultur peminumnya. Selalu saja ada kisah dalam secangkir kopi.

Picture of Trianom Suryandharu

Trianom Suryandharu

Senior aktifis Gusdurian Malang, Pendamping gerakan ekonomi kerakyatan, tinggal di Malang.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.