Mengatasi Stres Kerja Guru saat Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi

328
SHARES
2.5k
VIEWS

Pandemi Covid-19 mengubah sistem pembelajaran di sekolah dari tatap muka menjadi tatap maya. Cara belajar ini tentu membalik ritme kerja guru. Situasi menjadi jungkir balik karena butuh banyak penyesuaian kerja. Kondisi ini diduga menjadi satu di antara sebab mengapa guru di daerah Sidoarjo pun mengalami stres kerja. Bagaimana mengatasi stres kerja guru yang direkomendasikan dari berbagai hasil riset?

Kampusdesa.or.id–Saat menguji tugas akhir tentang penelitian psikologi bertema stres kerja guru, saya agak terkejut dan kemudian berpikir, kira-kira stres tersebut juga saya alami. Penelitian dilakukan di Sidoarjo belum lama ini. Penelitian itu dilakukan oleh seorang mahasiswa bernama Rachmadhevy (Rachmadhevy, 2021) dengan judul Hubungan kecerdasan emosional dengan stres kerja guru (diujikan pada 15 Juli 2021).

Dalam penelitian dengan subyek 44 guru, dalam paparan kurva normal hasilnya menunjukkan, ternyata guru menghadapi situasi tertekan (stres). Jika dilihat secara kategoris, guru yang memiliki puncak stres memang hanya satu orang (2,3%), tetapi yang mencengangkan, guru yang terpapar stres sebesar 95,5 persen atau sejumlah 42 guru. Stres yang dimaksud di sini adalah situasi tertekan yang melebihi kebiasaan semestinya sehingga menimbulkan berbagai gangguan fisiologis, psikologis, dan kekacauan perilaku.

RelatedPosts

Pandemi sepertinya membawa situasi kerja baru tetapi belum mampu melahirkan adaptasi psikologis yang signifikan. Rasa-rasanya saya juga mengalami begitu. Bekerja offline telah melatih fisik ini mampu menormalisasi tekanan. Tetapi nampaknya kerja online, apalagi mengajar yang mengharuskan duduk berlama-lama di depan laptop, bicara sendiri, mau menghidupkan dialog, harus teriak-teriak, karena meski mahasiswa diminta menghidupkan video, ada saja yang tetap mematikan video. Belum lagi kalau dimatikan audionya.

Benar-benar seperti penyiar radio, asal bicara semenarik mungkin, entah ada pendengarnya atau tidak. So must go on. Berinteraksi secara online memang tak senyaman bertatap muka langsung.

Benar-benar seperti penyiar radio, asal bicara semenarik mungkin, entah ada pendengarnya atau tidak. So must go on. Berinteraksi secara online memang tak senyaman bertatap muka langsung. Nah, inilah yang belum bisa diadaptasikan. Meskipun bisa juga dilalui, tetapi dengan jumlah pembelajar yang puluhan, rasanya harus satu persatu untuk memperlakukan secara intensif. Butuh usaha yang berlipat.

Baca juga: Apa Kabar “Belajar dari Rumah” Setelah Tiga Pekan Berlangsung?

Apa saja tekanan kerja guru di masa pandemi

Hasil penelitian si Rachmadhevy ternyata membongkar baper saya itu. Mengejutkannya, bahwa stres (tekanan) kerja guru yang paling tinggi ada di tekanan fisiologis. Ini yang bikin heran. Padahal masa pembelajaran jarak jauh yang kebanyakan dilakukan online, yang tidak butuh mengangkat meja, gerak tubuh yang penuh mobilisasi, tidak butuh jarak tempuh, ternyata cukup menjadikan para guru dihampiri terkanan kerja.

Baca juga: Implikasi SE Mendikbud No 4 Tahun 2020 Terhadap Konten Materi Pelajaran Sekolah

Rachmadhevy mengacu para pengukuran skala stres merujuk cara Luthan, diantara tanda stres fisik ini terjadi penurunan kekuatan fisik guru, mudah lelah, sakit kepala, sakit punggung, diare dan kekebalan tubuh menurun. Tanda stres berikutnya ada di tekanan psikologis, seperti cemas, sensi, mudah bosan, dan mengeluh. Sementara tekanan perilaku berwujud gangguan ritme tidur, menunda kerja, dan pola kedisiplinan.

Relaksasi dibutuhkan untuk mengatasi stres kerja guru. Sumber gambar: pexels.com
Ternyata pembelajaran jarak jauh sebagai konsekuensi mengendalikan sebaran Covid-19 telah membawa dampak gangguan kesehatan psikologis di dunia kerja. Komunikasi jarah jauh ternyata belum dapat mencapai spirit idealisme kemajuan teknologi yang menyehatkan secara psikologis. Fenomena ini patut menjadi refleksi dalam dunia pendidikan. Boleh jadi yang terjadi karena overload daring, penguasaan murid dalam kelas yang jumlahnya besar sehingga keterjangkauan murid menjadikan cara kerja tidak lagi efisiens.

Gambar ini memiliki atribut alt yang kosong; nama berkasnya adalah yang-biasa-dipake–e1626071446700.png
Tubuh yang hadir dalam budaya kolektivisme seperti Indonesia ini, adalah piranti kimiawi yang memantik energi semangat, kepedulian, yang bertumbuh menjadi motivasi, pemahaman, dan kenyamanan belajar yang lebih kharismatik.
Sementara, syarat kehadiran tatap muka dalam proses belajar yang terjadi selama ini telah menjadikan budaya perjumpaan merupakan medan sosial yang paling menjamin proses belajar lebih mudah. Tubuh yang hadir dalam budaya kolektivisme seperti Indonesia ini, adalah piranti kimiawi yang memantik energi semangat, kepedulian, yang bertumbuh menjadi motivasi, pemahaman, dan kenyamanan belajar yang lebih kharismatik. Situasi ini telah menjadi blok mental dalam budaya belajar sehingga tidak mudah digeser dalam waktu cepat.

Gambar ini memiliki atribut alt yang kosong; nama berkasnya adalah yang-biasa-dipake–e1626071446700.png
Menurut saya, kenyamanan ko-eksistensi (selalu ada teman menjadi lebih mudah) sebagai ciri orang Indonesia. Begitu juga belajar, akan mudah dipahami kalau ada lingkungan yang memberikan enggagement (keterlibatan) intim untuk bisa tuntas.
Bagi guru, dapat diduga inilah yang menjadi tekanan kerja, sementara murid kehilangan kualitas belajarnya (loss learning). Kualitas belajar jarak jauh nampaknya belum cukup bisa diadaptasi sehat psikologis. Menurut saya, kenyamanan ko-eksistensi (selalu ada teman menjadi lebih mudah) sebagai ciri orang Indonesia. Begitu juga belajar, akan mudah dipahami kalau ada lingkungan yang memberikan enggagement (keterlibatan) intim untuk bisa tuntas. Sebuah watak belajar bertumbuh yang interdependen (saling tergantung).

Nampaknya, ini masih sulit tumbuh di era keterlibatan belajar interaksi online, karena kita berada dalam budaya tutur ketimbang budaya membaca. Tanpa ada budaya tutur yang mengasyikkan, sepertinya belajar mandiri yang menjadi prasyarat belajar jarak jauh, akan membutuhkan berbagai faktor yang menentukan kemampuan belajar tuntas. Tentunya jika ini ketemu, menjadikan guru terkurangi daya stresnya.

Jamu Mengatasi Stres Kerja Guru
Kecerdasan emosional. Nah, apa yang dapat menurunkan stres kerja guru di masa pandemi ini. Saya kembali mengutip hasil riset Rachmadhevy tersebut, dalam konteks subyek risetnya, uji kemampuan kecerdasan emosional berhubungan dengan naik turun si guru terhadap pengalaman stres tidaknya seorang guru. Ini dibuktikan oleh hasil analisis statistik Rachmadhevy bawah ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja. Namun jika dilihat hubungan keduanya, nampaknya sumbangan hubungan itu memiliki bobot yang kecil, yakni 18,5%. Namun, ketika saya melihat penelitian sebelum pandemi di tempat lain (pada Guru SMA di Medan), hubungannya cukup baik bahwa kecerdasan emosi memiliki hubungan dengan tekanan (stres) kerja guru (-0.65) (Putra, 2017).

Gambar ini memiliki atribut alt yang kosong; nama berkasnya adalah yang-biasa-dipake–e1626071446700.png
Kemampuan menyadari gejolak emosi, seperti kesal, kelelahan, sedih, marah, bahkan senang, gembira, dan sabar adalah hal penting bagi seseorang untuk mengendalikan stres.
Nah, dalam konteks situasi subyek yang diteliti Rachmadhevy, memang kecerdasan emosi yang baik mampu mengikat kemampuan guru untuk menurunkan stres, tetapi kekuatannya tipis banget. Ketika dikulik lebih dalam, analisis Rachmadhevy menunjukkan bahwa aspek mengenali emosi di kecerdasan emosionallah yang bermanfaat sebesar. Kemampuan menyadari gejolak emosi, seperti kesal, kelelahan, sedih, marah, bahkan senang, gembira, dan sabar adalah hal penting bagi seseorang untuk mengendalikan stres. Kemampuan menyadari dapat dijelaskan sebagai cara mengenali kapan emosi muncul mengendalikan ego kita, termasuk kekuatan kita saat sedang bahagia, senang, gembira, atau melepaskan ketegangan apa yang sedang kita rasakan.

Baca juga: Saatnya Menggeser Teori Parenting Impor dalam Psikologi

Suatu misal, melatih mengenali dengan baik kapan saat terjadi sesuatu yang menyinggung kita. Di situ tekanan emosi kita akan merespon dan mulai marah. Suatu saat kita melihat murid yang menjengkelkan. Apakah kita tahu waktu itu ada suatu dorongan yang menjadikan kita mengenali detik-detik marah. Saat kita tahu sesi itu apa reaksi yang biasanya muncul? Nah ini salah satu bagian saja dari cara kita mengenali emosi.

Jadi, kesimpulannya, dalam konteks subyek riset Rachmadhevy, tidak cukup kecerdasan emosional para guru yang dimiliki menjadi jamu satu-satunya bagi penurunan stres kerja guru, tetapi guru harus mencari jamu lain agar stres kerja guru benar-benar menurun. Sayang riset Rachmadhevy hanya menghadirkan jamu kecerdasan emosional.

Kegiatan fisik lebih menyembuhkan stres. Kesehatan kerja sehari-hari dan terbebas dari situasi tertekan biasanya melibatkan aktifitas fisik di saat jam istirahat. Penelitian Chu et al., (2014); Sianoja et al., (2016, 2018) misalnya, agar seseorang lebih sehat dalam bekerja, mengaktifkan kegiatan fisik ketika istirahat makan siang seperti berjalan kaki di area taman dapat menciptakan kondisi yang lebih sehat. Termasuk latihan relaksasi cukup membantu untuk meningkatkan kesehatan kerja karena dapat menurunkan kelelahan di malam hari.

Baca juga: Interaksionisme Simbolik; Antara Lonte dan Merdeka Belajar

Gambar ini memiliki atribut alt yang kosong; nama berkasnya adalah yang-biasa-dipake–e1626071446700.png
Praktik yoga dan beberapa model senam sekaligus meditasi memiliki kontribusi yang paling baik dalam menurunkan stres
Begitu juga dengan penurunan stres, nampak dari sejumlah kesimpulan dari banyak penelitian oleh (Zhang et al., 2021) menunjukkan praktik yoga dan beberapa model senam sekaligus meditasi memiliki kontribusi yang paling baik dalam menurunkan stres dengan nilai perlakuan 89%. Setelah itu disusul terapi pijat (58%), relaksasi otot progresif (51%), beberapa kegiatan peregangan otot (40%), dan lainnya hanya 12%. Kombinasi kegiatan fisik dengan model kesadaran penuh (mindfullnes) dapat menjadi pilihan. Kalau Anda tidak bisa yoga, mungkin model senam pernafasan akan juga membantu penurunan stres.

Gambar ini memiliki atribut alt yang kosong; nama berkasnya adalah yang-biasa-dipake–e1626071446700.png
Bagi para guru, kegiatan bergerak yang dikombinasikan dengan model rilaksasi, kontemplasi, atau seni gerak bela diri pernafasan dapat dipelajari untuk membangun imun di tengah situasi pembelajaran jarak jauh.
Bagi para guru, kegiatan bergerak yang dikombinasikan dengan model rilaksasi, kontemplasi, atau seni gerak bela diri pernafasan dapat dipelajari untuk membangun imun di tengah situasi pembelajaran jarak jauh. Ini juga baik direkomendasikan bagi para penyintas Covid-19 yang sedang menghadapi penyembuhan. Inilah jamu penurunan stres yang dapat anda lakukan.

Pendekatan penurunan stres menggunakan cara gerak tubuh dikarenakan berbagai aktifitas mental di tempat kerja akan selalu berdampak pada berbagai bentuk kelelahan fisik. Apalagi tubuh tidak bergerak bebas karena memang konsentrasi tubuh akan mendukung proses mental dalam menuntaskan pekerjaan harian. Untuk itu, peremajaan tubuh harus diaktifkan menggunakan siklus gerak yang menyeimbangkan tubuh setelah monoton mendukung aktifitas mental kerja.

Selebihnya, silahkan para guru mengelola sendiri teknik apa saja yang dianggap mirip sehingga menjadikan kegiatan pembelajaran jarak jauh dapat terhindar dari berbagai bentuk tekanan psikis (stres), terutama di masa penantian berakhirnya pandemi covid-19.

Referensi
Chu, A. H. Y., Koh, D., Moy, F. M., & Muller-Riemenschneider, F. (2014). Do workplace physical activity interventions improve mental health outcomes? Occupational Medicine, 64(4), 235–245. https://doi.org/10.1093/occmed/kqu045

Putra, A. D. (2017). Hubungan kecerdasan emosional dengan stres kerja pada guru SMA Negeri 17 Medan Tahun 2017 [Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara]. http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/1810

Rachmadhevy, F. T. (2021). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja guru SMP Nurul Huda dan SMP Kemala Bhayangkari 7 Porong di masa pandemi Covid-19 [Skripsi]. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Sianoja, M., Kinnunen, U., de Bloom, J., Korpela, K., & Geurts, S. (2016). Recovery during Lunch Breaks: Testing Long-Term Relations with Energy Levels at Work. Scandinavian Journal of Work and Organizational Psychology, 1(1), 7. https://doi.org/10.16993/sjwop.13

Sianoja, M., Syrek, C. J., de Bloom, J., Korpela, K., & Kinnunen, U. (2018). Enhancing daily well-being at work through lunchtime park walks and relaxation exercises: Recovery experiences as mediators. Journal of Occupational Health Psychology, 23(3), 428–442. https://doi.org/10.1037/ocp0000083

Zhang, M., Murphy, B., Cabanilla, A., & Yidi, C. (2021). Physical relaxation for occupational stress in healthcare workers: A systematic review and network meta‐analysis of randomized controlled trials. Journal of Occupational Health, 63(1). https://doi.org/10.1002/1348-9585.12243

Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.