Literasi Anak Bagian dari Belanja Keluarga, Sudahkah Demikian?

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Menjadi anak berpengetahuan bagian dari hak anak untuk melek informasi, ilmu, dan ketrampilan hidup. Mereka tidak hanya diberi kecukupan sandang, pangan, dan perlindungan papan. Mereka juga membutuhkan alat berpikir dalam bentuk kemampuan bernalar. Asah nalar merupakan hak berliterasi anak. Apakah anak kita sudah punya penganggaran literasi, atau hingga hari ini kita masih luput untuk tidak menyediakan buku di dalam rumah? Yuk sisihkan belanja keluarga untuk literasi anak.

Kampusdesa.or.id–Selamat Hari Anak Nasional 23 Juli 2021! Wahai orangtua, kawal anakmu agar tumbuh dalam kesukaan akan ilmu pengetahuan! Waspadalah dengan zona nyaman kebercukupan keluarga! waspadalah dengan kesibukan yang membuatmu lupa bahwa kamu harus memberi nutrisi otak dan jiwa bagi pertumbuhan anak-anakmu!

Tiba-tiba terlintas di benak saya terkait posisi keluarga dan sejauh mana anak-anak kita kita dekatkan pada pengetahuan!

RelatedPosts

Ya, buktinya anak-anak yang menyukai ilmu pengetahuan dan akhirnya mendapatkan manfaatkan pengetahuan itu untuk berperan (bekerja secara ekonomi maupun berperan secara sosial) merupakan anak-anak yang oleh orangtuanya didekatkan pada pengetahuan dan didekatkan pada kesukaan akan belajar?

Baca juga: Ilmu Bukanlah Alat untuk Mencari Kekayaan, Benarkah Intelektualitas Tidak Menjamin Kesuksesan?

Bukankah masih banyak orangtua yang tak peduli apakah anaknya suka belajar atau tidak. Sudah menguasai pekerjaan ilmu di sekolah atau tidak, mereka tidak mikir. Bahkan mungkin masih banyak yang sama sekali tidak peduli, atau tak sempat mikir karena saking beratnya kondisi ekonomi yang dihadapi. Memang ada yang seperti itu, tapi rerata jaman sekarang ekonomi sudah mulai membaik. Masih ada keluarga yang untuk makan saja sulit, tapi jumlahnya kian sedikit.

Lagian, keadaan yang sulit itulah yang seharusnya menjadikan basis bagi munculnya semangat untuk bangkit. Bangkit dengan cara belajar keras. Justru keadaan yang berkecukupan bisa jadi membuat terlena karena hidup hanya untuk bergaya dalam mengeluarkan uang, tetapi pikiran tidak ditumbuhkan.

Justru ketika kami tumbuh dalam keadaan serba kekurangan, akhirnya kami menemukan kegiatan untuk memberi nutrisi pada pikiran. Anak-anak orang berkecukupan menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan membeli dan berbelanja, kami justru menggunakan waktu untuk belajar dengan sumber pengetahuan yang terbatas tetapi nyatanya bisa terus dicari.

Justru ada kalanya ketika orangtua sudah berada dalam ekonomi membaik, mereka merasa berada di zona aman dan tak punya kontradiksi hidup. Tiadanya kontradiksi membuat pikiran justru tak jalan karena terlena dengan keadaan. Justru kami takut, mengumbar keinginan anak untuk bersenang-senang dan mencukupi segala keinginannya untuk eksis dalam pergaulan yang menjauhkan mereka pada tradisi berpikir adalah basis sosial bagi mandegnya kerja pikiran mereka.

Anak-anak yang seharusnya lari pada kebutuhan untuk berimajinasi, berpikir, memikirkan hidup, memikirkan alam, memikirkan situasi sosial, malah tidak bisa berpikir sama sekali karena di otaknya sudah tak ada masalah dan kontradiksi.

Justru kami berpendapat, malah harus hati-hati jika situasi ekonomi kalian menjadi baik dan berkecukupan. Anak-anak yang seharusnya lari pada kebutuhan untuk berimajinasi, berpikir, memikirkan hidup, memikirkan alam, memikirkan situasi sosial, malah tidak bisa berpikir sama sekali karena di otaknya sudah tak ada masalah dan kontradiksi. Sementara dunia ilmu pengetahuan berasal dari ketimpangan antara “harapan” dan “kenyataan”.

Sungguh, kami meminta wahai orangtua, jangan terlena hingga kau tak mau memperjumpakan anak-anakmu pada masalah kehidupan sebagai pintu masuk ilmu pengetahuan yang dimulai dengan adanya pertanyaan dalam diri akan fenomena alam (ilmu alam) dan fenomena sosial).

Baca juga: Pekerjaan Orangtua dan Hak Anak

Godaan dunia luar di era media yang didominasi ideologi selebrisme dan hegemoni kaum borjuis yang memproduksi cara bersikap dan berpikir memang ada dan nyata. Ibu-ibu jangan mudah silau melihat berita-berita selebritis yang membuatmu terpukau pada wanita wanita cantik dan laki-laki ganteng di kalangan orang berada yang sebagian mendapatkan penghasilan besar dari menjadi bintang iklan dan artis.

Ukuran kesuksesan bukanlah mereka itu! Anak-anak kita tak harus jadi seperti mereka. Anak-anak kita justru berbeda dengan mereka. Kita berada pada kelas bawah yang harus terus berjuang dan dengan ilmu pengetahuan harus bisa membangkitkan pikiran dan jiwa, bahkan kalau perlu menyemaikannya pada anak-anak kita agar mereka punya nasib baik dan bahkan mampu memecahkan masalah-masalah dalam hidup ini.

Dulu, semiskin apapun keadaan orangtuaku, untungnya masih ada ibu yang tiap hari memotivasi agar kita belajar, mengawalku tiap habis maghrib agar aku membuka buku pelajaran agar aku menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah? Karena itulah aku masih punya kesempatan tumbuh bersama kesukaan kita akan pengetahuan, meski untuk berjuang mendapatkan pendidikan formal tidak mudah.

Tapi bukankah ada orangtua kita yang mendorong kita agar kita bisa sekolah setinggi mungkin dan hanya dengan tekad itulah kita akhirnya bisa terus tumbuh dalam pengetahuan yang bermanfaat?

Keluarga, anak, dan buku adalah modal besar untuk menumbuhkan peradaban dalam kehidupan.

Pengetahuan bisa didapat bisa didapat di berbagai tempat dan dari berbagai macam sumber. Salah satunya adalah dari buku. Maka betapa pentingnya menghadirkan buku dan bacaan-bacaan di dalam keluarga. Keluarga, anak, dan buku adalah modal besar untuk menumbuhkan peradaban dalam kehidupan. Dari rumah, peradaban kecil bisa mulai kita ciptakan, yaitu peradaban buku dan ilmu pengetahuan.

Kerugian dari budaya malas membaca bukan hanya pada diri kita sendiri. Tapi juga pada peradaban. Peradaban kita asalnya dari buku. Jika kita membaca buku dan menjadikannya kebiasaan, manfaatnya luar biasa besar. Bagi lingkungan kita. Pada anak-anak kita, pada sudara-saudara yang lain—terutama yang masih berada pada usia harus rajin belajar dan menambah wawasan. Kebiasaan yang kita lakukan bisa jadi membawa pengaruh pada kebiasaan orang lain.

Menghadirkan buku dalam rumah saja merupakan strategi eksistensi bagi tradisi literasi di dalam rumah kita

Mana mungkin anak-anak kita akan mencintai sesuatu jika sesuatunya (barangnya) tidak ada. Maka, hadirkan buku di rumah, apalagi kita rawat dalam rak-rak. Jadikan itu barang milik kita, yang kalau bisa kita sempatkan untuk menyentuh dan membukanya—apalagi benar-benar mau membacanya. Menghadirkan buku dalam rumah saja merupakan strategi eksistensi bagi tradisi literasi di dalam rumah kita. Anak akan tanya, dan mereka akan tahu barang apakah itu dan apa manfaatnya. Lalu kita menjelaskannya.

Kalau tidak ada barangnya bagaimana mereka akan berkenalan dengan buku dan bagaimana pula kita akan terpicu untuk menjelaskan apa manfaatnya. Apalagi kalau kita sebagai orangtua benar-benar menjadikan membaca sebagai kebiasaan. Katakanlah, dalam sebulan minimal satu buku saja kita baca sampai habis, anak-anak pasti akan meneladani kita—mereka akan meniru kebiasaan kita.

Bisa kita bayangkan bagaimana jika dalam sebuah keluarga, orangtua tidak tahu sama sekali buku dan manfaatnya. Bagaimana pengetahuan anak-anaknya bisa hadir dan bagaimana cara pengetahuan hadir pada mereka? Hanya dari sekolah saja?

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.