Literasi Demokrasi: Sebuah Ancangan Awal (Bagian 1)

327
SHARES
2.5k
VIEWS

Literasi demokrasi barangkali masih asing di telinga kita. Kita lihat pesimisme yang dominan dalam dunia demokrasi kita berakar pada situasi ketidaktahuan, buta aksara (‘illiterate’), minimnya kemampuan menyerap dan menggunakan informasi, serta terposisikan sebagai pihak yang tak berdaya akibat relasi kuasa dalam dunia politik di mana elit cenderung memproduksi situasi yang membodohi. Kemudian rakyat yang terbodohi, tidak berdaya, pesimis, tidak melihat jalan keluar. Sehingga, ketika ada momen-momen yang membutuhkan keterlibatan mereka, mereka memerankan partisipasi dalam kualitas yang rendah dan justru menambah masalah.

Kampusdesa.or.id — Demokrasi berpilar pada partisipasi yang sadar. Sedangkan partisipasi yang sadar dengan jiwa dan pikiran yang “penuh” itu adalah tujuan dari literasi itu sendiri. Menurut UNESCO, tujuan dari literasi adalah “enabling individuals to achieve their goals, to develop their knowledge and potential, and to participate fully in their community and wider society”. Literasi diharapkan meningkatkan kemampuan individu untuk mencapai tujuan-tujuannya, untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi-potensi yang mereka miliki, agar bisa “berpartisipasi secara penuh” (‘to participate fully’) dalam komunitas dan masyarakat yang lebih luas.

Literasi dasar berupa kemampuan baca-tulis yang merupakan elemen penting bagi masyarakat untuk menggunakan pengetahuan dan kecerdasan dalam mengambil peran.

Betapa erat hubungan antara kemampuan literasi masyarakat dengan tingkat dan kualitas partisipasi mereka. Literasi dasar berupa kemampuan baca-tulis yang merupakan elemen penting bagi masyarakat untuk menggunakan pengetahuan dan kecerdasan dalam mengambil peran. Setelah mereka memahami persoalan yang dihadapi secara kritis. Tentunya kritis yang tidak menimbulkan pesimisme, tapi yang mendorong pada upaya untuk mengatasi persoalan dengan kemampuan berpikir dan kemauan bertindak (bergerak). Dalam situasi yang penuh bermasalah, harus siap berpartisipasi untuk memecahkan masalah, dan bukannya malah pesimis dan “main aman” sendiri—atau malah ikut-ikut memperburuk keadaan.

RelatedPosts

Kita lihat pesimisme yang dominan dalam dunia demokrasi kita berakar pada situasi ketidaktahuan, buta aksara (‘illiterate’), minimnya kemampuan menyerap dan menggunakan informasi, serta terposisikan sebagai pihak yang tak berdaya akibat relasi kuasa dalam dunia politik di mana elit cenderung memproduksi situasi yang membodohi. Kemudian rakyat yang terbodohi, tidak berdaya, pesimis, tidak melihat jalan keluar. Sehingga, ketika ada momen-momen yang membutuhkan keterlibatan mereka, mereka memerankan partisipasi dalam kualitas yang rendah dan justru menambah masalah.

Kualitas partisipasi yang rendah dalam politik kita misalnya adalah memandang keterlibatan politik hanyalah mencoblos dalam Pemilihan/Pemilu. Dalam hal mereka berkenan dating ke TPS untuk mencoblos sekalipun, motivasi mereka juga kurang progresif dan tak berdasarkan  partisipasi aktif dalam mengikuti tahapan-tahapan demokrasi elektoral (demokrasi “pilih-memilih”).

Negara sudah menyediakan tahapan-tahapan politik elektoral sebelum hari pencoblosan. Tetapi tampaknya pandangan masyarakat tentang Pemilu/Pemilihan hanyalah kehadiran di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Sayangnya, ukuran kehadiran pemilih di TPS pun menjadi satu-satunya acuan penting bagi media dan pengamat. Misalnya, yang paling banyak ditanya adalah berapa persen warga yang hadir di TPS. Jika yang datang sedikit, Pemilu/Pemilihan dianggap kurang berhasil. Keberhasilan diukur dari sisi kuantatif dari salah satu tahapan saja. Berita dari media tentang tingkat kehadiran pemilih di TPS yang rendah dianggap kegagalan Pemilu/Pemilihan.

Pada hal ada tahapan-tahapan yang panjang sebelum masa pencoblosan, yang mestinya dijadikan ukuran dalam menilai tingkat dan kualitas partisipasi juga. Seharusnya juga dilihat bagaimana misalnya warga masyarakat ambil bagian dalam tahapan Kampanye dan apa saja peran mereka dalam masa yang diharapkan penuh pendidikan politik ini. Kualitas partisipasi warga masyarakat jelas dapat dinilai dari partisipasi mereka dalam kampanye.

Bawaslu punya catatan tentang jumlah pelanggaran-pelanggaran — termasuk pada masa kampanye. Pun juga secara kualitatif, bagaimana partisipasi masyarakat dalam tahapan ini bisa digunakan untuk menilai cara berpikirnya, mentalitasnya, yang juga mencerminkan kualitas demokrasi kita. Yang berlaku baik warga negara yang menjadi calon dan tim kampanye maupun warga masyarakat yang akan menjadi calon pemilih. Bagaimana hubungan antara keduanya dalam sebuah relasi komunikasi, antara komunikator dan komunikan. Sejauh mana dan bagaimana kualitas pesan-pesan yang muncul, tentu mencerminkan bagaimana kualitas suatu masyarakat.

Kemampuan berliterasi jua harus dilihat. Bagaimana misalnya kemampuan  para calon dan kontestan dalam memahami masalah-masalah masyarakat. Atau jangan-jangan malah tidak ada suara, hanya bisu. Silahkan bertanya pada beberapa calon “wakil rakyat” di daerah kabupaten, misalnya tentang apa visi-misi dan program mereka. Jangan-jangan mereka malah bingung, tak ada kalimat politis sekalipun yang bahkan keluar.

Jangan-jangan malah mereka orang yang bisu karena justru merupakan orang yang namanya masuk daftar Calon Legeslatif (Caleg) tapi hanya untuk menggenapi kuota daftar caleg. Atau jangan-jangan karena mereka hanya tahu bahwa mereka “maju” sebagai calon itu karena yang ingin mendapatkan posisi yang dipahami sebagai mendapatkan pekerjaan, tanpa peduli apakah mereka punya pemahaman atau tidak terhadap persoalan masyarakat.

Dengan demikian keberadaan teks undang-undang yang dibuat untuk menjadikan dunia demokrasi-politik bertujuan baik, malah diisi oleh orang yang tak pernah tahu teks-teks yang ideal itu. Ketidakmampuan memahami sesuatu dan budaya bisu tentu juga mencerminkan sejauh mana sebagai manusia (subjek) mereka membaca dan berpikir. Kalimat-kalimat indah dan agung dari tujuan Kampanye adalah untuk “Pendidikan Politik”. Huruf-huruf yang membangun kalimat yang bertujuan membangun peradaban politik itu bisa jadi tidak pernah dibaca—tidak dimengerti—karena  memang literasi membaca kita rendah. Kita tahu mereka adalah calon “wakil rakyat”, tapi apakah mereka tahu apa itu wakil rakyat?

Para pelaku politik yang sudah tak mau tahu (tak pernah baca) tentang teks-teks agung dalam kitab-kitab politik kita. Di situasi seperti ini sebenarnya kita sudah harus paham bahwa Literasi Demokrasi kita tidak hidup. Kemampuan para calon dalam menyadari tindakan politiknya sesuai bacaan-bacaan yang membuat mereka paham dan sadar akan posisi ideal yang harus diambil, juga kemampuan mereka bicara (bersuara dan menulis) berdasarkan pemahaman cerdas dan kritis terhadap politik, musnah dari lapangan politik kita.

Jika orang-orang yang dianggap kader partai politik dan seyogyanya adalah didikan partai politik saja tak punya kemampuan literasi, tentu sulit mengharapkan mereka jadi komunikator politik yang akan memberikan pendidikan politik pada masyarakat.

Para calon yang muncul dari alat politik bernama partai politik seharusnya adalah orang-orang yang memang sudah terliterasikan dan terdidik dengan baik secara politik (‘politically well-educated’). Kenapa? Sebab fungsi partai politik adalah Pendidikan Politik. Jika orang-orang yang dianggap kader partai politik dan seyogyanya adalah didikan partai politik saja tak punya kemampuan literasi, tentu sulit mengharapkan mereka jadi komunikator politik yang akan memberikan pendidikan politik pada masyarakat.

Gambaran di atas sekaligus menunjukkan pada kita bahwa ada beberapa bidang-bidang literasi yang sebenarnya harus beroperasi dalam praktik-praktik demokrasi kita. Melek aksara hingga budaya membaca aktif, sebagai kemampuan dasar Literasi masyarakat punya kontribusi historis dalam menciptakan demokrasi yang lebih berkualitas. Sampai pada tingkat literasi yang lebih tinggi, literasi kritis.

“Dunia yang tidak dipikirkan adalah dunia yang tak pantas dijalani!” Socrates

Saya sering mengutip kata-kata bijak dari Socrates yang selalu saya ingat: “Dunia yang tidak dipikirkan adalah dunia yang tak pantas dijalani!” Ini adalah prinsip penting untuk membuat kita menyadari bahwa kehidupan itu harus kita pahami. Dalam terjun dalam dunia politik dan demokrasi, tak selayaknya kita hanya ikut-ikutan dan terlibat tanpa ketahumenahuan. Kualitas demokrasi tergantung dari kualitas orang-orang yang terjun di dalamnya.

Editor : Faatihatul Ghaybiyyah

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.