Politik Demokrasi Kita Tidak Baik-Baik Saja

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Rakyat bawah sudah terlanjur terbiasa dengan politik uang. Sulit juga mengubah tradisi antirasuah untuk menyehatkan demokrasi Indonesia. Meskipun sudah ada Komisi Pemberantasan Anti Korupsi, power tends to corrupt, masik kuat bercokol menjadi praktik politik demokrasi yang bertujuan mengumpulkan dukungan dengan prinsip jual beli suara (transaksional). Untuk menyehatkan politik demokrasi, dibutuhkan keterlibatan rakyat secara terbuka dan kritis serta mengontrol kedaulan rakyat di atas kepentingan jual beli suara agar politik demokrasi tidak terjebak menjadi korup.

Kampusdesa.or.id–“Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely,” kata Lord Acton, seorang Filsuf Politik. Kecenderungannya, orang yang memegang kekuasaan akan cenderung menggunakan kekuasaan yang dipegangnya—dan menjadi kewenangannya—untuk kepentingan subjektif si pemegang kekuasaan.

Kekuasaan itu membuat orang terlena. Orang yang diberi wewenang untuk mengatur orang banyak, yang juga mendapatkan fasilitas dan kekayaan dari kekuasaan yang dimiliki (atau kekuasaan yang diciptakan dari kekayaannya), menganggap bahwa ia adalah orang yang istimewa. Narsisme dan eksistensi diri ini mendorong ke arah subjektivitas. Akhirnya cenderung lupa bahwa ia bertanggungjawab atau dituntut untuk memberikan kemakmuran bagi orang banyak. Iapun justru memanfaatkan kekuasaan untuk menuruti kepentingan pribadi (dan orang-orang dekatnya).

RelatedPosts

Orang yang awalnya baik, bisa jadi berubah ketika mendapatkan kekuasaan

Di sini sebenarnya yang terjadi adalah dinamika kesadaran yang dibentuk oleh keadaan. Orang yang awalnya baik, bisa jadi berubah ketika mendapatkan kekuasaan. Ketika belum menjabat punya pikiran untuk memperjuangkan orang banyak, masih menggunakan jargon-jargon kerakyatan, tetapi setelah mendapatkan kekuasaan berubah ingin memperjuangkan kepentingan pribadi dan melakukan penumpukan sumber-sumber daya untuk meningkatkan kekuasaan terus-menerus.

Baca juga: Demokrasi di Pilkada itu Bukan Mencoblos, Tapi Memberikan Suara dan Bersuara

Tapi juga memang ada cara pandang yang sudah terlanjur dibentuk pleh dominasi kekuasaan yang rusak dan tidak demokratis. Bayangkan jika sejak awal orang sudah mendapatkan pemahaman dan cara pandang bahwa politik adalah wilayah yang kotor dan hanya tempat untuk mendapatkan kekuasaan dan pekerjaan. Orang, misalnya, sudah terlanjur menganggap hal yang biasa bahwa mendapatkan jabatan dan posisi politik dengan menggunakan uang. Orang sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa kalau ingin dapat posisi atau pekerjaan tertentu harus meggunakan uang ratusan juta.

Jika demikian, tampaknya orang sudah biasa pula menganggap jabatan memang untuk mendapatkan pekerjaan yang akan menghasilkan gaji, honor, dan fasilitas. Akhirnya juga biasa dengan cara-cara mendapatkan pekerjaan dengan cara membeli dan bukan kompetensi berdasarkan kualitas pribadi. Ketika posisi jabatan publik dianggap sebagai posisi mendapatkan pekerjaan, hal itu melahirkan pandangan dan kesadaran bahwa pejabat publik yang seharusnya melakukan pelayanan publik untuk mereka, malah dianggap sbagai pekerjaan yang bermanfaat untuk pemegang jabatan saja.

Ketika pemegang jabatan dan penguasa tidak dikontrol oleh rakyat banyak dan tak ada yang mengritik, maka yang terjadi adalah power tends to corrupt

Di sini, kesadaran bahwa jabatan publik tidak perlu dikontrol dan dikritik (jika salah) merupakan hal yang wajar. Sedangkan jika ada orang yang mengritik para pejabat publik dianggap hal yang aneh dan tidak pantas. Budaya kritik tidak terbangun. Kesadaran kritis tidak tumbuh. Ketika pemegang jabatan dan penguasa tidak dikontrol oleh rakyat banyak dan tak ada yang mengritik, maka yang terjadi adalah power tends to corrupt tadi.

Baca juga: Kemerdekaan dan Kebebasan

Bagaimana jika justru ada keterlibatan rakyat banyak dalam proses perolehan kekuasaan dan jabatan dalam bentuk proses yang buruk dan “transaksional”? Justru ini lebih parah lagi. Tradisi vote buying atau jual beli suara dalam pemilihan jabatan publik seperti wakil rakyat, kepala daerah, kepala desa memuat konsekuensi yang cukup luas dan dalam. Bahasa yang keluar sendiri dari kalangan rakyat adalah begini: “Jika tak ngasih uang atau materi yang menguntungkan kita, ya jangan mau milih.”

Dalam konteks ini, rakyat banyak menjual dirinya dan menjual ikatannya dengan pejabat publik dan wakil rakyat di depan dengan harga yang murah. Masing-masing orang katakanlah mendapatkan uang Rp 50.000 dengan ganti suara yang mereka berikan pada calon pejabat publik. Sama saja bahwa kepercayaan atau ikatan yang dibangun antara rakyat banyak dengan pejabat publik atau wakil rakyat itu sudah dijual di muka. Sedangkan bagi para pejabat yang telah terpilih dengan cara transaksional itu, mereka merasa telah mendapatkan jabatan dan posisi karena membeli suara dan membeli harga tiap-tiap orang yang dalam jumlah banyak disebut sebagai rakyat. Lagi-lagi politik menggunakan nalar korup.

Baca juga: Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

Di situlah proses terjadinya kecenderungan kekuasaan yang memang jauh dari kontrol rakyat banyak dan kemudian membuat penguasa dan pemegang jabatan merasa aman untuk melakukan apa saja sesuai keinginanya. Ketika tidak ada kesadaran dan tingkahlaku yang mengarah pada kontrol terhadap penguasa dan pemegang jabatan publik, ruang politik kekuasaan terus saja berjalan sesuai dengan logika keinginan (subjektif) orang-orang yang memegang kekuasaan—bukan sesuai harapan dan keinginan rakyat banyak.

Memang ada satu dua orang dari kalangan rakyat yang kemudian merasa tidak puas dan melihat hal-hal yang menyimpang pada tingkahlaku penguasa atau pejabat publik. Misalnya ada beberapa anak muda yang seringkali membicarakan kebijakan kepala desanya yang ternyata tidak melakukan kebijakan publik yang membuat desanya maju dan memperjuangkan masyarakat banyak. Karangtaruna mati, rekrutmen perangkat diwarnai sogok menyogok, misalnya. Keuangan tidak transparan dan perencanaan juga disetir oleh kepala desa dan rapat-rapat sudah dikondisikan dalam bingkai formalitas saja.

Tapi apakah suara dan keinginan beberapa pemuda itu tadi akan bisa merubah desa menjadi lebih baik? Belum tentu. Bisa jadi ketidakpuasan hanya sekedar berhenti pada rasan-rasan alias ghibah. Bisa jadi beberapa pemuda tadi bahkan adalah para penerima uang atau bahkan yang saat pemilihan kepala desa adalah yang bilang jangan mau nyoblos jika gak dikasih duit. Atau bisa jadi salah satu pemuda itu adalah yang justru merupakan sosok pembagi amplop karena menjadi tim sukses dari salah satu pasangan calon lain yang bahkan adalah lawan dari kepala desa saat ini (yang menang).

Jadi ada beban untuk melangkah karena ia sudah melakukan hal-hal kotor yang dianggap lumrah dalam politik. Ia sudah menjadi timses pasangan calon yang kalah (lawan kades yang saat ini berkuasa). Ada beban dalam dirinya dan memang akan ada konsekuensi sosial jika ia misalnya mengritik Kades. Pertama, karena sudah dicap sebagai tim lawan politik, kritik yang ia lakukan efeknya juga gak akan kuat. Kritiknya yang sebenarnya lahir dari hati nurani dan analisa dari kondisi yang ada, dipandang rendah baik oleh Kades dan para simpatisannya maupun oleh masyarakat banyak. Karena di awal ia telah bermain sebagai broker politik dalam Pilkades, omongannya dan tingkahlakunya juga dianggap sebagai oposisi sakit hati saja.

Kedua, bisa jadi para pemuda seperti itu juga hanya berani berghibah saja dan tidak berani berkomunikasi secara langsung. Kenapa? Biasanya di desa, orang mau bicara dan bertindak juga takut—apalagi terbebani dengan apa yang sudah dilakukan. Ia mengaku begini: “Beh, aku gak wani yen ngomong lan ngritik, soale ngko dikiro aku oposisi—lha biyen soale aku ndukung musuh e!”.

Memang, kalau mau merubah keadaan itu harus membentuk karakter politik yang berintegritas. Untuk mengajak orang pada kebaikan, kita harus membuktikan keseriusan kita. Untuk mengajak orang mewujudkan suatu keadaan baru yang lebih baik, kita harus membangun trust (kepercayaan) dari orang lain. Pun, sebuah gerakan yang solid di kalangan anak-anak muda harus dibangun berdasarkan kepercayaan. Kalau tidak ya Ambyar!!!***

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.