• Call: +62 858-5656-9150
  • E-mail: [email protected]
Education Blog
  • Home
  • Artikel
    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Trending Tags

    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami
No Result
View All Result
Kampus Desa Indonesia
No Result
View All Result
Home Opini

Literasi Baca-Tulis dan Demokrasi (Bagian 2)

Nurani Soyomukti by Nurani Soyomukti
March 25, 2022
in Opini
206 11
0
Literasi Baca-Tulis dan Demokrasi (Bagian 2)
Share on FacebookShare on Twitter

Literasi dan revolusi politik menuju masyarakat demokratis memang seringkali dipicu oleh bacaan-bacaan dan tulisan, yang tentunya memungkinkan terjadi karena kemampuan membaca dan menulis. Kemampuan berliterasi yang juga digunakan untuk membangun kekuatan masyarakat banyak akhirnya jadi kekuatan kontrol yang riil dan kuat, yang siap membuat tokoh-tokoh dan elit di Lembaga politik dan pemerintahan mau tak mau harus menuruti kehendak rakyat. Lalu kekuatan-kekuatan baru berbasis ilmu pengetahuan lahir dan terus menguat. Kekuatan inilah yang akhirnya menghancurkan sistem lama. Tatanan otoriter dilawan oleh kaum pejuang demokrasi. Negara republik dan demokrasi kemudian lahir dengan tradisi baca-tulis di kalangan masyarakatnya.

Kampusdesa.or.id. — Dari melek aksara menuju kemampuan membaca yang aktif. Dalam arti membaca dan mendapatkan pengetahuan dari proses tersebut. Literasi dalam kehidupan demokrasi tentunya mensyaratkan adanya kemampuan membaca dan menulis yang baik.

Aktor-aktor demokrasi memiliki pengetahuan dan pemahaman yang  lebih tentang fungsi negara dan memiliki kesadaran yang tinggi untuk memberikan pesan-pesan politik yang sifatnya edukatif melalui pidato (orasi) dan tulisan. Masyarakat juga memiliki tradisi membaca untuk menerima pesan-pesan politik yang mendidik dan mencerahkan. Selanjutnya tradisi membaca dan kemampuan memahami persoalan-persoalan yang ada juga mendorong masyarakat menanggapi isu-isu yang berkembang secara cerdas, mampu menanggapi pesan-pesan politik yang disampaikan elit-elit politik.

Lalu kemampuan literasi masyarakat menjadi dasar bagi  pemahaman yang kritis, yang diungkapkan lewat keaktifan bersuara  menyampaikan pesan pada elit dan tokoh-tokoh di Lembaga-lembaga politik dan pemerintahan. Kemampuan berliterasi yang juga digunakan untuk membangun kekuatan masyarakat banyak akhirnya jadi kekuatan kontrol yang riil dan kuat, yang siap membuat tokoh-tokoh dan elit di Lembaga politik dan pemerintahan mau tak mau harus menuruti kehendak rakyat. Kira-kira begitulah alur dari bagaimana Literasi Baca-Tulis bisa menjadi sebuah kekuatan bagi terciptanya demokrasi yang hakiki (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat).

Kalau kita menengok sejarah masyarakat, lahirnya sistem masyarakat demokratis dimulai dari tradisi membaca dan menulis. Eropa yang sejak abad ke-15 mengalami penyebaran bacaan-bacaan dan melahirkan tradisi membaca untuk menyebarkan pandangan-pandangan baru yang lebih objektif-rasional dan kritis (menghancurkan pandangan irasional).

Kemampuan berliterasi yang juga digunakan untuk membangun kekuatan masyarakat banyak akhirnya jadi kekuatan kontrol yang riil dan kuat, yang siap membuat tokoh-tokoh dan elit di Lembaga politik dan pemerintahan mau tak mau harus menuruti kehendak rakyat.

Lalu kekuatan-kekuatan baru berbasis ilmu pengetahuan lahir dan terus menguat. Kekuatan inilah yang akhirnya menghancurkan sistem lama. Tatanan otoriter dilawan oleh kaum pejuang demokrasi. Negara republik dan demokrasi kemudian lahir dengan tradisi baca-tulis di kalangan masyarakatnya.

Pun juga di Amerika Serikat. Negara baru ini juga menyembur ke permukaan bumi bersama lahar tradisi baca-tulis. Tradisi menulis telah melahirkan munculnya deklarasi-deklarasi tertulis tentang demokrasi dan hak-hak manusia. Sebagaimana digambarkan oleh Stainly J. Baran dalam buku ‘Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture’ (2008), mesin cetak sudah masuk di benua yang kemudian menjadi Amerika Serikat pada tahun 1638—satu abad lebih sebelum kemerdekaan Amerika Serikat. Sejak tahun 1770-an, buku menjadi alat utama untuk melawan penjajahan Inggris. Pembangkangan-pembangkangan politik terjadi karena orang-orang membaca buku-buku tipis—atau yang sering disebut pamflet. Yang paling terkenal adalah karya Thomas Paine, pamflet 47 halaman yang berjudul ‘Common Sense’. Buku itu dalam tiga bulan terjual 12.000 eksemplar. Populasi total orang dewasa di benua itu saat itu adalah 400.000. Belum lagi karya Thomas Paine yang lain seperti ‘American Crisis’, serangkaian  pamflet yang ditulis dalam kurun  1776 hingga 1783.

Kelahiran bangsa yang demokratis selalu tak lepas dari tradisi tulisan yang kemudian dijadikan kitab (buku) yang menjadi aturan-aturan dalam mendirikan dan menjalankan negara. Untuk melawan penjajahan Inggris, awalnya orang-orang Amerika punya tulisan-tulisan seperti ‘Consideration on the Nature and Extent of the Legislative Authority of British Parliement’ karya James Wilson; ‘Novanglus Paper’ karya John Adam; dan ‘A Summary View of the Right of British America’ karya Thomas Jefferson.

Literasi dan revolusi politik menuju masyarakat demokratis memang seringkali dipicu oleh bacaan-bacaan dan tulisan, yang tentunya memungkinkan terjadi karena kemampuan membaca dan menulis. Bukan hanya di negara-negara Barat yang memang sudah masuk pada era Republik dan Demokrasi lebih dulu, tetapi juga di negara-negara dunia Ketiga belakangan, yang memang tradisi melek huruf dan budaya baca-tulisnya ditularkan dari negara-negara Barat.

Di Jawa, tradisi melek huruf dan budaya baca-tulis modern muncul belakangan akibat kebijakan penjajah kolonial dan pergaulan di kalangan masyarakat akibat interaksi dengan orang-orang dari luar. Politik etis dengan pendidikan modern, Bali Pustaka dengan lembaga penyebar buku, “bacaan liar”, dan jurnalisme non-pemerintah semarak di awal abad 20. “Today readers, tomorrow leader!”—adalah slogan yang berlaku sejak dulu. Jaman pergerakan muncul dengan bacaan dan terbitan. Para ‘readers’ yang beruntung enyam pendidikan lebih tinggi akhirnya jadi para ‘leader’ Pergerakan.

“Bukan saja kita harus menang di medan perang, tetapi juga dalam hal memberantas buta huruf kita!”
Bung Karno

Dengan gerakan yang diramaikan dengan terbitan dan bacaan, akhirnya Indonesia merdeka. Tapi memang harus diakui bahwa literasi belum massif menjadi bagian penting bagi masyarakat Indonesia. Di awal kemerdekaan, 95% persen penduduk masih buta huruf.  Menurut catatan Joko Santoso, Kepala Biro Perencanaan Perpustakaan RI, di sebuah esainya di Harian Sindo (08/02/2021), pada tanggal 14 Maret 1948, Bung Karno mencanangkan Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Saat itu, Indonesia sedang berada dalam masa pertempuran melawan agresi militer Belanda. Dalam suasana perang, Bung Karno menyerukan: “Bukan saja kita harus menang di medan perang, tetapi juga dalam hal memberantas buta huruf kita!”

Kursus Pemberantasan Buta Huruf di 18.663 tempat, yang melibatkan 17.822 orang guru dan 761.483 orang siswa. Sejak saat itu gerakan pemberantasan buta huruf dianggap sebagai program yang mendesak untuk terus dilakukan. Pada tahun 1960, Bung Karno mengeluarkan Komando “Indonesia terbebas buta-huruf 100%”. Mobilisasi masyarakat dikerahkan untuk tujuan ini. Pada tahun 1964, semua penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Papua), dinyatakan bebas buta huruf oleh UNESCO.

Editor : Faatihatul Ghaybiyyah

PENGUATAN KELUARGA SEBAGAI PENGAWAL GENERASI EMAS | PSIKOLOGI KITA | Wiwin Hendriani
Tags: demokrasikampus desa indonesialiterasimasyarakat desamobilisasipolitikThomas Paine
Previous Post

Literasi Demokrasi: Sebuah Ancangan Awal (Bagian 1)

Next Post

Urgensi Literasi Dalam Pemilu (Bagian 3)

Nurani Soyomukti

Nurani Soyomukti

RelatedPosts

Era Berperilaku Baik dalam Dunia Pendidikan
Opini

Era Berperilaku Baik dalam Dunia Pendidikan

by Astatik Bestari
November 24, 2022
0
24

Kampusdesa.or.id -- Pernahkan kita mendengar larangan begini, "jangan sering absen mengajar, nanti diiri guru yang lain!" Larangan ini sering  diperdengarkan...

Read more
Kawula muda  bijaklah dalam bermelodi, karena musik itu sugesti
Opini

Kawula muda bijaklah dalam bermelodi, karena musik itu sugesti

by Maulana Arif Muhibbin
March 30, 2022
0
212

Ini tentang musik, sifatnya yang universal terkadang mereduksi pemikiran rasional. Lantas bagaimana dengan hal yang bersifat emosional? Bisa dibilang musik...

Read more
Apakah Olimpiade Tokyo 2020 Paling Ramah Gender ? Simak Fakta Berikut
Lifestyle

Apakah Olimpiade Tokyo 2020 Paling Ramah Gender ? Simak Fakta Berikut

by Nur Aisyah Maullidah
March 25, 2022
0
204

SOBAT! YUK FLASHBACK SEJENAK KE GELARAN OLIMPIADE OLAHRAGA DUNIA TAHUN 2020. PADA MOMENT ITU TOKYO MENJADI TUAN RUMAH YANG MENYELENGGARAKAN...

Read more

Discussion about this post

Archive Artikel

Most commented

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Waspadai Kandungan Boraks atau Garam Kuning

Balewiyata dan Gus Dur; Situs Toleransi Malang yang Perlu Dirawat

Rembug Komunitas; Gusdurian Malang Tawarkan Peluang Menjadi Aktifis Penggerak

Metode Pemberdayaan Imamah; Mengubah dari Sense of Budgeting ke Sense of Benefit

Era Berperilaku Baik dalam Dunia Pendidikan

Kampus Desa Indonesia

Kampus Desa Indonesia

Jl. Raya Candi VI-C Gang Pukesmas No. 4 RT 09 RW 06 Karangbesuki, Sukun, Kota Malang

SK Menkumham No. AHU-01356.AH.02.01 Tahun 2016

Tags

Agenda (36) Aktual (7) Desa Giat (2) Desa Unggul (3) Dokter Rakyat (45) Gubuk Sastra (10) Hari ini (3) Indonesia Menulis COVID 19 (82) Kearifan Lokal (8) Kelas Ekoprinting (3) Kelas Motivasi (1) Kita Belajar Menulis (66) Kopipedia (5) Kuliah Desa (10) kuliah hari ini (2) Kuliah Terbuka (133) Layanan (9) Lifestyle (1) Magang (1) Ngaji Tani (18) Opini (317) Pendidikan Hari Ini (73) Produk (27) Psikologi Hari Ini (126) Refleksi (27) Sepak Bola (6) Uncategorized (146) Wacana (1) World (1)

Recent News

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

March 8, 2023
Sumber photo: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/aparat-polsek-citeureup-mengamankan-bakso-daging-babi-_150201220228-436.jpg

Waspadai Kandungan Boraks atau Garam Kuning

February 15, 2023

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In