Literasi Baca-Tulis dan Demokrasi (Bagian 2)

327
SHARES
2.5k
VIEWS

Literasi dan revolusi politik menuju masyarakat demokratis memang seringkali dipicu oleh bacaan-bacaan dan tulisan, yang tentunya memungkinkan terjadi karena kemampuan membaca dan menulis. Kemampuan berliterasi yang juga digunakan untuk membangun kekuatan masyarakat banyak akhirnya jadi kekuatan kontrol yang riil dan kuat, yang siap membuat tokoh-tokoh dan elit di Lembaga politik dan pemerintahan mau tak mau harus menuruti kehendak rakyat. Lalu kekuatan-kekuatan baru berbasis ilmu pengetahuan lahir dan terus menguat. Kekuatan inilah yang akhirnya menghancurkan sistem lama. Tatanan otoriter dilawan oleh kaum pejuang demokrasi. Negara republik dan demokrasi kemudian lahir dengan tradisi baca-tulis di kalangan masyarakatnya.

Kampusdesa.or.id. — Dari melek aksara menuju kemampuan membaca yang aktif. Dalam arti membaca dan mendapatkan pengetahuan dari proses tersebut. Literasi dalam kehidupan demokrasi tentunya mensyaratkan adanya kemampuan membaca dan menulis yang baik.

Aktor-aktor demokrasi memiliki pengetahuan dan pemahaman yang  lebih tentang fungsi negara dan memiliki kesadaran yang tinggi untuk memberikan pesan-pesan politik yang sifatnya edukatif melalui pidato (orasi) dan tulisan. Masyarakat juga memiliki tradisi membaca untuk menerima pesan-pesan politik yang mendidik dan mencerahkan. Selanjutnya tradisi membaca dan kemampuan memahami persoalan-persoalan yang ada juga mendorong masyarakat menanggapi isu-isu yang berkembang secara cerdas, mampu menanggapi pesan-pesan politik yang disampaikan elit-elit politik.

RelatedPosts

Lalu kemampuan literasi masyarakat menjadi dasar bagi  pemahaman yang kritis, yang diungkapkan lewat keaktifan bersuara  menyampaikan pesan pada elit dan tokoh-tokoh di Lembaga-lembaga politik dan pemerintahan. Kemampuan berliterasi yang juga digunakan untuk membangun kekuatan masyarakat banyak akhirnya jadi kekuatan kontrol yang riil dan kuat, yang siap membuat tokoh-tokoh dan elit di Lembaga politik dan pemerintahan mau tak mau harus menuruti kehendak rakyat. Kira-kira begitulah alur dari bagaimana Literasi Baca-Tulis bisa menjadi sebuah kekuatan bagi terciptanya demokrasi yang hakiki (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat).

Kalau kita menengok sejarah masyarakat, lahirnya sistem masyarakat demokratis dimulai dari tradisi membaca dan menulis. Eropa yang sejak abad ke-15 mengalami penyebaran bacaan-bacaan dan melahirkan tradisi membaca untuk menyebarkan pandangan-pandangan baru yang lebih objektif-rasional dan kritis (menghancurkan pandangan irasional).

Kemampuan berliterasi yang juga digunakan untuk membangun kekuatan masyarakat banyak akhirnya jadi kekuatan kontrol yang riil dan kuat, yang siap membuat tokoh-tokoh dan elit di Lembaga politik dan pemerintahan mau tak mau harus menuruti kehendak rakyat.

Lalu kekuatan-kekuatan baru berbasis ilmu pengetahuan lahir dan terus menguat. Kekuatan inilah yang akhirnya menghancurkan sistem lama. Tatanan otoriter dilawan oleh kaum pejuang demokrasi. Negara republik dan demokrasi kemudian lahir dengan tradisi baca-tulis di kalangan masyarakatnya.

Pun juga di Amerika Serikat. Negara baru ini juga menyembur ke permukaan bumi bersama lahar tradisi baca-tulis. Tradisi menulis telah melahirkan munculnya deklarasi-deklarasi tertulis tentang demokrasi dan hak-hak manusia. Sebagaimana digambarkan oleh Stainly J. Baran dalam buku ‘Introduction to Mass Communication: Media Literacy and Culture’ (2008), mesin cetak sudah masuk di benua yang kemudian menjadi Amerika Serikat pada tahun 1638—satu abad lebih sebelum kemerdekaan Amerika Serikat. Sejak tahun 1770-an, buku menjadi alat utama untuk melawan penjajahan Inggris. Pembangkangan-pembangkangan politik terjadi karena orang-orang membaca buku-buku tipis—atau yang sering disebut pamflet. Yang paling terkenal adalah karya Thomas Paine, pamflet 47 halaman yang berjudul ‘Common Sense’. Buku itu dalam tiga bulan terjual 12.000 eksemplar. Populasi total orang dewasa di benua itu saat itu adalah 400.000. Belum lagi karya Thomas Paine yang lain seperti ‘American Crisis’, serangkaian  pamflet yang ditulis dalam kurun  1776 hingga 1783.

Kelahiran bangsa yang demokratis selalu tak lepas dari tradisi tulisan yang kemudian dijadikan kitab (buku) yang menjadi aturan-aturan dalam mendirikan dan menjalankan negara. Untuk melawan penjajahan Inggris, awalnya orang-orang Amerika punya tulisan-tulisan seperti ‘Consideration on the Nature and Extent of the Legislative Authority of British Parliement’ karya James Wilson; ‘Novanglus Paper’ karya John Adam; dan ‘A Summary View of the Right of British America’ karya Thomas Jefferson.

Literasi dan revolusi politik menuju masyarakat demokratis memang seringkali dipicu oleh bacaan-bacaan dan tulisan, yang tentunya memungkinkan terjadi karena kemampuan membaca dan menulis. Bukan hanya di negara-negara Barat yang memang sudah masuk pada era Republik dan Demokrasi lebih dulu, tetapi juga di negara-negara dunia Ketiga belakangan, yang memang tradisi melek huruf dan budaya baca-tulisnya ditularkan dari negara-negara Barat.

Di Jawa, tradisi melek huruf dan budaya baca-tulis modern muncul belakangan akibat kebijakan penjajah kolonial dan pergaulan di kalangan masyarakat akibat interaksi dengan orang-orang dari luar. Politik etis dengan pendidikan modern, Bali Pustaka dengan lembaga penyebar buku, “bacaan liar”, dan jurnalisme non-pemerintah semarak di awal abad 20. “Today readers, tomorrow leader!”—adalah slogan yang berlaku sejak dulu. Jaman pergerakan muncul dengan bacaan dan terbitan. Para ‘readers’ yang beruntung enyam pendidikan lebih tinggi akhirnya jadi para ‘leader’ Pergerakan.

“Bukan saja kita harus menang di medan perang, tetapi juga dalam hal memberantas buta huruf kita!”
Bung Karno

Dengan gerakan yang diramaikan dengan terbitan dan bacaan, akhirnya Indonesia merdeka. Tapi memang harus diakui bahwa literasi belum massif menjadi bagian penting bagi masyarakat Indonesia. Di awal kemerdekaan, 95% persen penduduk masih buta huruf.  Menurut catatan Joko Santoso, Kepala Biro Perencanaan Perpustakaan RI, di sebuah esainya di Harian Sindo (08/02/2021), pada tanggal 14 Maret 1948, Bung Karno mencanangkan Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Saat itu, Indonesia sedang berada dalam masa pertempuran melawan agresi militer Belanda. Dalam suasana perang, Bung Karno menyerukan: “Bukan saja kita harus menang di medan perang, tetapi juga dalam hal memberantas buta huruf kita!”

Kursus Pemberantasan Buta Huruf di 18.663 tempat, yang melibatkan 17.822 orang guru dan 761.483 orang siswa. Sejak saat itu gerakan pemberantasan buta huruf dianggap sebagai program yang mendesak untuk terus dilakukan. Pada tahun 1960, Bung Karno mengeluarkan Komando “Indonesia terbebas buta-huruf 100%”. Mobilisasi masyarakat dikerahkan untuk tujuan ini. Pada tahun 1964, semua penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Papua), dinyatakan bebas buta huruf oleh UNESCO.

Editor : Faatihatul Ghaybiyyah

PENGUATAN KELUARGA SEBAGAI PENGAWAL GENERASI EMAS | PSIKOLOGI KITA | Wiwin Hendriani

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.