Malang, Kampusdesa.or.id – Dalam rangka memperingati Haul Gus Dur ke-15, OASE Institute Kota Malang menggelar diskusi yang penuh makna di Oase Caffe pada Selasa, 14 Januari 2025. Acara ini menghadirkan dua narasumber inspiratif, Savic Ali, salah satu Ketua PBNU dan Founder Islami.co, serta Virdika Rizky Utama, penulis buku Menjerat Gus Dur. Diskusi ini menjadi ruang refleksi mendalam tentang warisan pemikiran Gus Dur dalam demokrasi, kebebasan berekspresi, hingga prinsip keadilan.
Savic Ali menyoroti bagaimana Gus Dur menjunjung tinggi kebebasan berbicara dan berekspresi. Contohnya, pembelaan Gus Dur terhadap Inul Daratista yang kala itu menuai kontroversi atas gaya panggungnya. Gus Dur menilai bahwa kebebasan berekspresi adalah hak setiap warga negara, meski tak selalu berarti menyetujui tindakannya. Gus Dur juga dikenal sebagai pemimpin berani, yang dengan lantang membela hak-hak masyarakat tertindas, seperti kasus Kedung Ombo. “Gus Dur tidak mengatur pikiran orang, tetapi membuka ruang pendidikan dan dialog,” ujar Savic.
Baca juga: Haul Ke-15 Gus Dur di Pesantren Rakyat Al-Amin: Lahirkan Petisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Gus Dur dan Prinsip Politik Berbasis Civil Society
Virdika Rizky Utama memberikan perspektif yang menegaskan keberanian Gus Dur dalam politik. Ia menceritakan bagaimana Gus Dur memilih untuk diimpeach daripada menyerahkan kekuasaan kepada pihak yang hanya ingin mempertahankan kekuasaan. “Gus Dur menciptakan politik keseimbangan berbasis suara masyarakat, berbeda dengan situasi hari ini yang lebih menyerupai Orde Baru,” ungkap Virdika. Ia menyoroti bagaimana Gus Dur memberi ruang kepada kelompok kritis, termasuk mereka yang berbeda pandangan dengannya, seperti Amien Rais.
Namun, dalam konteks saat ini, kekuatan politik lebih banyak berorientasi pada menjaga kekuasaan, seperti terlihat dalam UU Cipta Kerja. Virdika juga menyoroti fenomena buzzer yang digunakan pemerintah untuk menciptakan ilusi suara rakyat, berbeda dengan masa Gus Dur yang mendukung kebebasan berbicara secara nyata.
Relevansi Pemikiran Gus Dur di Era Kini
Diskusi semakin hidup dengan tanggapan peserta, salah satunya Daniel Stefanus, yang mengingatkan tentang keberpihakan Gus Dur pada kelompok minoritas, seperti kasus pembelaan terhadap Laskar Hijau. Hal ini menegaskan konsistensi Gus Dur dalam membela suara-suara yang termarjinalisasi. Tanggapan dari peserta lainnya, Ilmi Najib, menyoroti isu ekologi, khususnya sikap NU terhadap penambangan. Menjawab hal ini, Savic Ali menjelaskan bahwa dalam pandangan Gus Dur, penambangan perlu diatur dengan ketat untuk menghindari eksploitasi berlebih yang menguntungkan kapitalisme semata.
Baca juga: Menyaudara Melampaui Toleransi: Menggali Jejak Gus Dur di Malang
Savic juga menegaskan bahwa perhatian Gus Dur pada Konghucu bukan karena mengesampingkan kelompok lain, tetapi karena Konghucu menjadi ekspresi yang paling terlihat terdhalimi pada masa Orde Baru. “Negara tak boleh memberangus keyakinan, meski tidak semua diakui secara resmi,” tambahnya.
Belajar dari Warisan Gus Dur
Diskusi ini menegaskan pentingnya menjaga kebebasan berbicara dan keseimbangan kekuasaan dalam demokrasi. Warisan Gus Dur mengajarkan bahwa demokrasi harus berisik, dalam arti mengakomodasi kritik dan dialog yang sehat. Gus Dur adalah simbol pemimpin yang tidak hanya berbicara, tetapi bertindak untuk prinsip keadilan dan keberpihakan pada rakyat.
Acara Haul Gus Dur ini menjadi pengingat bahwa pemikiran dan perjuangan Gus Dur tetap relevan untuk menghadapi tantangan zaman. Semangatnya dalam menjaga demokrasi dan keberpihakan pada kelompok termarjinalisasi adalah warisan yang harus terus kita pelihara.
#HaulGusDur15 #DemokrasiBerisik #OASEInstitute #KebebasanBerbicara