Guru Pemberani, Guru yang Memanusiakan

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Belajar di kelas menitikberatkan pada upaya membangun ilmu pengetahuan siswa. Hal-hal penting yang kemudian perlu menjadi titik tekan namun kadang masih penuh masalah adalah, apakah siswa cukup memahami teks pelajaran dan mampu menjawab soal-soal dalam berbagai jenisnya seperti pilihan ganda, esai atau lainnya.

Saat para guru hiruk-pikuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang didalamnya juga mencakup perumusan tujuan belajar dan capaian pembelajaran (learning outcome), maka guru sebagian besar tenaganya mengarah ke administrasi kurikulum. Apalagi koridor tersebut dibayang-bayangi banyak kepentingan yang tidak pernah mendengarkan suara-suara anak.

RelatedPosts

BACA JUGA :
Ikuti kegiatan Konvensi Pendidikan 5 dalam Jumpa Pendidik yang Memanusiakan
Kuliah singkat hasil jagongan para pakar tentang pendidikan kita

Suara anak sepertinya hanya kegiatan seremonial dalam kegiatan pra-sekolah atau semacam kegiatan orientasinya saja. Mereka ditanya dan dipandu untuk menyuarakan cita-citanya, tetapi setelah masuk di kelas, entah kemana cita-cita anak itu diwadahi secara terpadu dan pelajaran yang dipelajari dapat disalingsinergikan dengan isi cita-cita tersebut.

Kenyataan ini adalah hasil teramati  mendampingi anak saya menyesuaikan diri saat memasuki Sekolah Menengah Atas. Harapannya, dengan aneka catatan cita-cita tersebut, anak-anak dapat belajar melalui berbagai pendekatan keilmuan yang sedang dipelajari selama di kelas. Anak-anak kembali ke kebiasaan semula, disodori paket mata pelajaran, berikut simulasi tes/ujian dan menyetor penguasaan pelajaran tersebut. Setelah itu remidi jika jawaban tidak sesuai dengan sumber ilmu pengetahuan yang diajarkan.

Perasaan yang sangat terlambat muncul baru saja, satu hari sebelum saya menulis artikel ini. Mahasiswa psikologi yang sangat menyukai kegiatan bisnis. Dia mengatakan, mengapa Pak, mahasiswa yang terjun ke dunia bisnis lebih banyak mengatakan bahwa mendapatkan uang tidak butuh ijazah, sehingga mereka akhirnya gagal atau kuliahnya terbengkalai. “Begitu juga saya, seolah harus mengatakan, fokus di dunia bisnis atau kuliah, mana yang diprioritaskan ?” Keluh mahasiswa tersebut.

Saya kemudian memberi umpan balik, dan menyebutkan beberapa nama mata kuliah di psikologi, seperti psikologi kepribadian, psikologi sosial, metodologi penelitian kualitatif, statistika, psikologi kognitif, bahkan psikologi Islam dan agama. Setelah berdialog panjang, dia mengatakan semua mata kuliah tersebut bisa relevan dengan kegiatan bisnis. Sayangnya, dia sudah tahun terakhir kuliah.

Dialog suara anak seperti apa yang ingin dan sedang digemari adalah modal dasar merancang materi-materi belajar. Setelah berhasil berdialog dengan anak-anak, maka mata pelajaran dapat didesain berdasarkan spirit dasar anak sehingga mereka juga diajari bagaimana setahap-demi-setahap dilatih menguasai ilmu pengetahuan yang relevan mampu mendorong lahirkan penemuan dan pemahaman baru dari inisiatif yang dipilihnya.

Lantas, bagaimana guru harus berani mengubah cara memulai belajar di kelas yang terpusat di dorongan siswa tanpa keluar dari konteks belajar ?

Gelas dan Teko Bambu | Diambil dari laman anekadodolan.com atau klik di http://kampusdesa.or.id/gelas-dan-teko-bambu/

Guru yang membuka hati berdialog dengan siswanya

Saya mulai mengikuti agenda Kampus Guru Cikal yang dirintis oleh Najela Shihab. Guru Cikal selalu mendorong agar para guru belajar dalam kelas sehingga mampu melahirkan cara mengajar yang sejalan dengan kebutuhan anak dan terus berinovasi menemukan beragam kemajuan-kemajuan di kelas. Guru pemberani adalah guru yang terus berinovasi demi sebuah kreatifitas karena dirangsang oleh keragaman anak. Bahkan keunikan anak yang terjadi di kelas. Bukan karena tuntutan pekerjaan, apalagi yang semata-mata terjebak dengan administratif kurikulum.

Menjadi guru pemberani seperti menjadi Bapak atau Ibu di rumah. Saat anak memiliki kemauan kuat ingin merangkak, atau jalan, orang tua memberikan bantuan atau membuatkan alat yang memudahkan anak tahu bagaimana caranya belajar. Saat anak terpuruk, orang tua hadir membantu jalan terangnya.

Guru pemberani yang dengan bahasa hati menemukan dunia anak-anak yang didorongnya untuk berkembang dan membangun iramanya dengan ilmu pengetahuan yang sedang dibangunnya. Desain belajar ramah anak. Guru pemberani adalah yang memiliki kreatifitas membela suara-suara anak. Sebagaimana saya contohkan tadi, mata kuliah atau ilmu pengetahuan dirumuskan dari potensi anak dan disitulah tema-tema kuliah akan dicari berdasarkan kebutuhan yang paling diinginkan untuk maju. Guru pemberani adalah yang berani berangkat dari siswa dan racikan mata pelajaran didaurulang dari tema-tema yang melekat dalam diri siswa.

Guru pemberani boleh jadi akan keluar dari pembakuan semata karena dinamika anak tidak bisa serta-merta diseragamkan. Hal ini senyatanya juga mendorong guru memang lebih mengutamakan kebutuhan dan keberadaan nyata siswa karena perubahan kemampuan siswa bukanlah lahir dari keinginan orang lain, tetapi keinginan anak. Perbedaan generasi terjadi perbedaan kebutuhan dan cara belajar.

Guru benar-benar berani menjamin proses kreasi siswa yang asli dapat berkembang dengan baik sehingga koridor etiklah yang sebaiknya dikembangkan oleh guru. Contohnya, kalau anak menyukai air, maka anak dibantu belajar dengan air, lalu guru membangun pikiran-pikiran tentang air yang ada di anak-anak dikelola sehingga membentuk pemahaman tentang air. Buku-buku yang tepat disajikan atau anak dipandu bagaimana sumber-sumber yang dicari berfungsi dan orisinil. Sekali lagi tugas guru memantau agar keilmuan anak berproses sesuai kaidah ilmu pengetahuan dan etika kemanusiaan. Guru harus berani tidak lagi menguasai materi pelajaran tetapi lebih pada menguasai metodologi atau cara kerja ilmu pengetahuan. Ketika guru lebih menguasai metodologi, maka proses belajar lebih menekankan inisiasi, inovasi dan kreasi sehingga keragaman anak mampu dipandu dengan baik.

Guru pemberani dengan begitu adalah guru yang membela sudut pandang anak sehingga anak-anak benar-benar mempunyai pengalaman baru dan nyata. Guru mengajari (memfasilitasi) anak membangun ilmu pengetahuan dari proses belajar anak mandiri dan terbimbing. Hasilnya bukan lagi dites dengan mutliple choice atau esai, tetapi dari hasil langsung yang diciptakan oleh anak.

Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.