Kampusdesa.or.id—Tak jelas siapa yang memulai. Jika membuka TikTok tentang Bali, algoritma akan mempertemukan kita dengan FYP berbunyi “bawa lukamu ke Bali” yang mengukuhkan citra pulau berjuluk dewata itu sebagai tujuan healing. Bali laksana ibu yang memeluk luka anaknya dalam diam, kata beberapa orang di kolom komentar.
Sama seperti Yogyakarta dan Bandung yang kita romantisasi, Bali bahkan mengejawantahkan romantisme ini dalam tulisan penulis mancanegara. Saat menulis artikel, saya baru saja menghabiskan buku “Bali: A Paradise Created” karya Adrian Vickers tentang dialektika persepsi masyarakat adat dan imajinasi Barat yang mengubah citra Bali. Penulis menjulukinya “The Last Paradise” tempat budaya Asia-Pasifik bertemu.
“Di Bali, pesona alam berpadu dengan ritus yang bergema seperti Dhanvantari, dewa Ayurveda pembawa Amerta. Namun, pesona ini menyimpan paradoks: yang sakral rapuh, alam yang menyembuhkan rentan terluka, budaya yang tergerus kesakralannya. Bali menunggu tahap kritis: Dewataku sayang, Dewataku Malang.”
Di Bali, alam memang berpadu dengan ritus. Namun, paradoks menganga: alam penyembuh rentan dilukai tangan manusia yang dirawatnya, budaya sakral tergerus komersialisasi. Bali sendiri menyimpan luka yang kian menganga, menunggu ketahapan kritis.
Baca juga: Patuwen Kopi, Setetes Tinta Sejarah dalam Festival Kopi 2025 GKJW
Tattwa, Susila, Acara: Negosiasi Nilai dalam Pusaran Pasar
Dalam kosmologi Hindu Bali, tiga pilar peradaban—Tattwa (filsafat), Susila (etika), Acara (ritual)—adalah sistem dinamis yang beradaptasi. Namun, pariwisata massal sebagai produk kapitalisme mempercepat transformasi ketiganya dengan logika pasar. Ritus tunduk pada kalender pariwisata, sebatas atraksi eksotis tanpa makna transendental.
Pura Besakih dan Tanah Lot menjadi medan pertarungan simbolis: kamera turis menggeser fokus sembahyang. Persoalan etika tergerus saat turis berkendara sesukanya, didukung warga lokal yang membiarkan atau ikut-ikutan. Pemerintah abai meratakan kesempatan kerja, memicu invasi pendatang tak terbendung.
“Melalui fetisisme komoditas Marx, nilai guna budaya Bali—ritual, seni sakral, hubungan kolektif—teralienasi menjadi nilai tukar. Tri Hita Karana jadi semboyan tak bermakna; sawah berubah villa, pohon ratusan tahun terbunuh untuk industri hiburan. Pantai andalan berlandskap tambang, seperti di Selatan Bali dan Nusa Penida.”
Bali dalam Fetisisme Komoditas
Logika akumulasi kapital Marx (1867) mengubah relasi sosial-budaya Bali menjadi komoditas. Yang esensial—ritual adat, seni sakral—tereduksi jadi objek konsumsi. Tri Hita Karana, filosofi keseimbangan alam-manusia-spiritual, hanya diseminarkan tanpa diterapkan.
Baca juga: Menjadi Pengusaha; Memantik Energi dari dalam Perusahaan
Sawah dan pantai menjelma villa dan beach club; laut dipagari kepemilikan pribadi. Gary Bencheghib dalam dokumenter Rahayu Project berkata: “Bali kehilangan kepingan surganya setiap hari.” Proses ini mencerminkan dominasi modal atas ruang hidup dan kontradiksi dialektis: nilai komunal tradisional versus imperatif profit kapitalis.
Nyala Perlawanan dari yang Paling Mungkin
Masyarakat Bali tak diam. Dalam perspektif Dharma vs. Adharma, perlawanan adalah upaya menjaga keseimbangan kosmis. Setiap tindakan mempertahankan tradisi, lingkungan, atau hak budaya adalah wujud dharma—tanggung jawab moral melindungi harmoni alam-manusia-spiritual.
“Perlawanan tak selalu frontal: petani Bali Utara pertahankan Subak, nelayan Serangan lawan privatisasi laut, pemuda ubah Ogoh-ogoh Bhuta Yadnya jadi medium kritik. Seperti api dalam sekam, perlawanan menyala dalam kesadaran dan konsistensi—dharma tak hanya bertahan, tapi jadi cahaya penuntun transformasi beradab.”
Perlawanan tercermin dalam laku sehari-hari. Subak—sistem irigasi tradisional berbasis Tri Hita Karana—dipertahankan petani Bali Utara. Nelayan Serangan melaut melawan privatisasi. Pemuda Bali menyelaraskan ritual Bhuta Yadnya dengan kritik sosial melalui Ogoh-ogoh.
Seperti firman Bhagavad Gita: “Yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati… tadātmānaṁ sṛjāmyaham” (“Kapan pun dharma merosot, Aku mewujudkan diri”). Perlawanan ini adalah perwujudan dharma: gotong-royong, kreativitas ritual, dan keteguhan hati. Api itu mungkin tak bergemuruh, tetapi menyala-nyala dalam empati dan kesadaran.
Putu Ayu Sunia Dewi
Aktivis Perhimpunan pelajar Indonesia di Luar negeri / pengurus PPI TV