Surjan, Memaknai Jawa untuk Merayakan Indonesia

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Inilah perjumpaan kreatif keragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia yang mampu direproduksi dalam memaknai Indonesia. Sifat apresiasi kebudayaan bukan sebuah praktik hegemonik, mengalahkan satu untuk yang lain, apalagi memaksakan mayoritas untuk kepatuhan minoritas. Kebudayaan Jawa mampu didaur menjadi ragam praktik menginternalisasi Indonesia. Cara ini dihidupi dari ruang kreatif sekolah di Trenggalek.

Bulan Agustus selalu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi seluruh warga negara Indonesia, dalam bahasa sederhana biasa disebut sebagai pesta rakyat. Pasalnya, dalam beberapa pekan pada bulan Agustus, selalu disibukkan dengan perayaan-perayaan yang diselenggarakan di berbagai daerah dalam memperingati Kemerdekaan Negara Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Berbagai macam perayaan unik diselenggarakan, baik lomba-lomba hingga festival-festival rakyat lainnya, mulai dari tingkat sekolah dharma wanita hingga tingkat umum.

RelatedPosts

Kegiatan Agustusan selalu menjadi perayaan favorit tahunan bagi semua kalangan sehingga tidak heran jika banyak warga masyarakat, baik masyarakat umum, lembaga atau instansi-instansi terkait hingga tingkat sekolah, sangat antusias mengikuti berbagai macam festival yang diselenggarakan, tidak terkecuali SMKN 1 Panggul. Ikut serta dalam peringatan Agustusan, khususnya gerak jalan di tingkat kecamatan merupakan kali pertama kegiatan rutinan tahunan pada bulan Agustus diikuti secara spesial oleh seluruh warga SMKN 1 Panggul. Bagaimana tidak, sekolah kejuruan negeri pertama di Kecamatan Panggul Kabupaten Trenggalek ini baru saja dibuka pada ajaran baru 2018/2019 ini.

Animo seluruh warga sekolah terutama para pendidik yang ada di lingkungan sekolah cukup tinggi. Sebagai sekolah yang tergolong baru, berbagai macam prestasi telah diraih melalui beragam perlombaan. Lebih dari itu, dalam rangka memeriahkan kegiatan baris berbaris, tidak hanya para peserta didik namun para pendidik beserta seluruh tenaga kependidikan turut serta memeriahkan acara. Berbeda dengan para peserta lain, tenaga pendidik dan kependidikan SMKN 1 Panggul menampilkan suasana yang tidak biasa, yaitu gerak jalan dengan menggunakan salah satu pakaian adat Jawa yaitu Surjan.

Secara istilah yang dikutip dari berbagai sumber, Surjan (Hanacaraka: ) merupakan nama model busana adat Jawa khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta yang dominan dipakai oleh laki-laki. Namun dalam keseharian bahkan hingga pementasan panggung seni budaya, tidak sedikit perempuan menggunakan surjan dalam bentuk kebaya. Motif dasar dari surjan pada awalnya adalah lurik, meskipun ada pula surjan yang bermotif bunga-bunga.

Istilah kata lurik pada motif surjan berasal dari kata lorek yang bermakna garis-garis yang melambangkan kesederhanaan. Surjan sendiri banyak ditemui pada pelaksanaan upacara adat, dipadukan dengan kain jarik dan blangkon. Surjan lurik pertama kali  dibuat oleh Sunan Kalijaga sebagai pakaian takwa yang kemudian dikembangkan ke dalam berbagai macam bentuk motif seperti motif kotak-kotak sebagai hasil kombinasi antara garis vertikal dengan horisontal.

Selanjutnya muncul surjan motif Ontrokusuma yang disebut juga sebagai motif bunga. Surjan motif ini menggunakan kain yang terbuat dari kain sutera bermotif hiasan berbagai macam bunga. Surjan jenis ini biasanya digunakan oleh pejabat dan kalangan bangsawan keraton, sehingga masyarakat umum tidak diperkenankan menggunakan surjan jenis ini tanpa mendapatkan izin dari pihak keraton. Selebihnya, ada juga surjan dengan motif Jaguad yang merupakan surjan bermotif  bunga yang tidak tegas, tidak menggunakan warna yang mencolok. Surjan motif ini berbeda dengan motif Ontrokusuma yang lebih mengedepankan warna mencolok dan motif yang beranekaragam.

Tujuan pemakaian surjan sebagai seragam gerak jalan seperti yang dilakukan oleh para guru beserta staf karyawan SMKN 1 Panggul, tidak lain merupakan salah satu wujud menjaga serta merawat budaya Nusantara yang salah satunya yaitu tradisi penggunaan surjan sebagai pakaian tradisi khas masyarakat Yogyakarta. Lebih dari itu, pemakaian surjan sendiri juga dimaksudkan untuk mengenalkan kepada masyarakat bahwasannya Indonesia memiliki beragam kekayaan tradisi yang harus dijaga dan dilestarikan bersama. Hal ini selaras dengan narasi Gus Dur mengenai kebudayaan bahwasannya kebudayaan bukan dianggap sebagai produk, melainkan suatu proses negosisasi yang continue dalam berbagai kekuatan yang terus hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Suatu strategi kebudayaan tidak bertujuan untuk merekayasa atau mengatur kebudayaan, akan tetapi melakukan intervensi untuk menyediakan dan memfasilitasi lalu-lintas pertukaran kebudayaan, membuka ruang bagi interaksi intra dan antar kebudayaan, menggemburkan ranah di mana masing-masing modus eksistensi dapat bertahan dan berkembang dengan vitalitas, daya cipta, dan daya tahan yang melekat pada eksistensinya sebagai manusia.

Kebudayaan memang tidak statis, melainkan dinamis sehingga tidak mengherankan jika selalu melibatkan berbagai unsur heterogen yang memiliki modus eksistensinya masing-masing. Lebih lanjut, dalam buku TUNAS (Temu Nasional) Penggerak Gusdurian yang diselenggarakan pada tanggal 10-12 Agustus 2018 yang lalu juga menegaskan bahwasannya suatu strategi kebudayaan tidak bertujuan untuk merekayasa atau mengatur kebudayaan, akan tetapi melakukan intervensi untuk menyediakan dan memfasilitasi lalu-lintas pertukaran kebudayaan, membuka ruang bagi interaksi intra dan antar kebudayaan, menggemburkan ranah di mana masing-masing modus eksistensi dapat bertahan dan berkembang dengan vitalitas, daya cipta, dan daya tahan yang melekat pada eksistensinya sebagai manusia.

 “Kebudayaan bukan semata-mata warisan (heritage) yang sah milik suatu masyarakat, karena kebudayaan adalah seni hidup itu sendiri (the art of living) yang mengatur kelangsungan hidup, yang menghasilkan pilar-pilar untuk menjaga tatanan sosial.”

Peran serta masyarakat dalam melestarikan kebudayaan adalah sekian dari  berbagai macam cara yang bisa dilakukan demi menjaga eksistensi tradisi khas Nusantara. Strategi kebudayaan pada gilirannya, tidak lain bertujuan untuk mengangkat harkat kemanusiaan dengan menjadikan manusia sebagai tujuan dari kehidupan berkebudayaan. Sebagaimana quote mengenai kebudayaan yang tercantum dalam Makalah Kongres Kebudayaan (3 November 1991) yang berjudul ‘Negara dan Kebudayaan’ bahwasannya “Kebudayaan bukan semata-mata warisan (heritage) yang sah milik suatu masyarakat, karena kebudayaan adalah seni hidup itu sendiri (the art of living) yang mengatur kelangsungan hidup, yang menghasilkan pilar-pilar untuk menjaga tatanan sosial.”

Demikian halnya yang dilakukan oleh para tenaga pendidik beserta tenaga kependidikan SMKN 1 Panggul. Penggunaan surjan sebagai seragam keikutsertaan perayaan yang diselenggarakan masyarakat Trenggalek khususnya Kecamatan Panggul tidak lain demi menjaga eksistensi budaya dengan mengedepankan perkembangan budaya bangsa untuk prakarsa. Hal ini tidak bisa kita pungkiri karena kebudayaan merupakan buah yang dihasilkan dari interaksi sosial antar manusia. Selaras dengan pernyataan yang tercantum dalam Mimbar ulama No. 115 Th. IX yang berjudul ‘Sumbangan Islam bagi Pengembangan Budaya Indonesai’ bahwa “Pengembangan budaya suatu masyarakat harus diletakkan pada jalur penumbuhan sifat-sifat manusiawi semua warganya. Dengan demikian, kemanusiaanlah satu-satunya ukuran kegunaan suatu bentuk kegiatan budaya.”

Selain pemakaian surjan sebagai seragam baris-berbaris, dalam rangka pemenuhan kekhasan tradisi itu sendiri, aba-aba baris menggunakan bahasa Jawa pun menjadi pilihan alternatif yang digunakan sebagai pemanis dan kelengkapan budaya Jawa. Beberapa aba-aba dalam bahasa Jawa yang digunakan adalah sebagai berikut:

Tata Baris : Mengajak membentuk barisan
Siyaga Tandya : Siap Grak
Rentes Baris Tandya : Menata barisan (Lencang Depan)
Sigeg Tandya : Tegak Grak / Berhenti Grak
Madhep Nengen Tandya : Hadap Kanan Grak
Sumadya Ijir…. Sumangga : Berhitung
Lerem Sahana Tandya : Istirahat di Tempat Grak
Caos Pakurmatan Tandya : Hormat Grak
Mlaku Ngenggon Tandya : Jalan di Tempat Grak
Pra Tamtama Lumaksana Magita-gita Sumadya : Langkah Tegap Maju Jalan
Jangkah Lumrah Tandya : Langkah Biasa Jalan
Lumaksana Manengen Tandya : Belok Kanan
Lumaksana Mangiwa tandya : Belok Kiri

Demikianlah, bahwa dialektika Jawa dan Indonesia justru memperkaya pemaknaan Indonesia yang tidak saling bertentangan, tetapi memiliki ruang untuk saling melengkapi membentuk interprestasi baru tentang Indonesia itu sendiri dan makna Jawa dalam keindonesiaan. Maka Jawa dapat dijadikan khazanah memperluas aneka kebudayaan yang tidak dihadap-hadapkan dengan Indonesia tetapi mampu memberikan sumber semangat berbudaya karena perjumpaan tersebut diciptakan melalui olah pikir dan olah rasa kemanusiaan.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.