Menunggu Ceramah Agama yang Kritis terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Agama nampaknya didengungkan untuk mengejar surga tetapi abai terhadap kerusakan lingkungan hidup. Ceramah agama diteriakkan semata untuk memantik kepatuhan tanpa syarat. Sudah semestinya pada penceramah agama, di tingkat desa misalnya, juga mampu mengemas pesan agama untuk menyadarkan tentang kerusakan lingkungan hidup seperti dampak limbah pabrik terhadap ekosistem sungai. Nah, usaha ini perlu dibangun bersama bahwa alam dan lingkungan hidup yang dirusak butuh dibela, khususnya melalui narasi-narasi agama dari balik mimbar.

Kampusdesa.or.id–Tak sedikit di antara kita yang terilusi dengan mantra kemajuan ekonomi dengan membayangkan kota kita yang menjadi ramai, ada swalayan dan mall mewah, tempat-tempat modern yang kalau didatangi bisa menunjukkan simbo modernitas, juga simbol gaya hidup baru di mana belaja dan mengonsumsi adalah bentuk keberhasilan manusia. Mereka berharap mudah pergi ke kota semacam itu, atau bahkan mengharap wilayahnya yang pedesaan berubah menjadi kota.

Sementara itu, Ekonom berparadigma pertumbuhan juga memandang bahwa kurang majunya suatu masyarakat dikarenakan peredaran uang dan modal yang amat minim. Salah satu cita-cita mereka adalah adanya investasi yang datang dan melakukan usaha besar-besaran. Modal diharapkan datang dan ada proses penyerapan tenaga kerja, produksi, dan pemasaran. Ada efek dari datangnya uang. Orang yang bekerja mendapatkan upah ini akan bisa meningkatkan daya beli, sehingga muncul kebutuhan-kebutuhan baru dan kemudian orang yang ramai berjualan.

RelatedPosts

Keramaian menjadi ukuran majunya suatu wilayah. Sepi dianggap suatu tiadanya kehidupan? Banyaknya manusia dianggap sebagai tanda semaraknya ekonomi.

Dari perspektif sistem kapitalisme, manusia memang tak lebih dipandang sebagai tenaga kerja maupun sasaran pemasaran produk sehingga butuh manusia yang sebagian menjadi tenaga kerja yang murah. Sebagian lagi adalah konsumen produk-produk yang dibuat oleh kapitalis. Kapitalisme melihat apapun sebagai sarana mencari keuntungan. Tanah ladang, sawah, dan hutan pada akhirnya akan diganti dengan benda-benda atau tempat-tempat apapun sepanjang proses ini adalah usaha mendapatkan keuntungan.

Ada kalanya sebuah usaha tidak membutuhkan banyak tenaga karena banyak mengandalkan mesin. Ada kalanya produk yang dihasilkan dari sebuah usaha tidak dijual pada masyarakat sekitar tempat usaha/industri. Ambil contoh usaha tambang mengambil bagian-bagian dari bukit yang konon diambil adalah batu dan tanahnya. Barang-barang yang diambil dibawa ke luar daerah. Apakah tenaga kerjanya banyak? Tidak, karena produksi dan eksploitasi lebih mendandalkan mesin dan alat transportasi. Bahkan masyarakat yang tinggal di sekelilingnya hanya mendapatkan jalan-jalannya mudah rusak.

Pembuangan limbah pindang ke sungai sejak belasan tahun nyata-nyata telah menghancurkan sungai-sungai yang dulunya menjadi sumber air dan tempat tinggal spesies yang menjaga keseimbangan alam yang bermanfaat bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.

Apalagi kemudian jika sebuah industri dan kegiatan eksploitasi menimbulkan dampak lingkungan hidup jangka panjang, merusak ekosistem dan merusak sumber air dan aliran sungai. Usaha pengolahan ikan menjadi Ikan pindang, misalnya. Usaha ini memang untuk mencari keuntungan dan sebagai sebuah usaha ekonomi bagi pemilik industri. Tetapi apakah dampak lingkungannya selama ini terpikirkan oleh pemilik industri dan bahkan orang-orang yang tinggal di lingkungan sekitarnya? Pembuangan limbah pindang ke sungai sejak belasan tahun nyata-nyata telah menghancurkan sungai-sungai yang dulunya menjadi sumber air dan tempat tinggal spesies yang menjaga keseimbangan alam yang bermanfaat bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.

Kenapa orang-orang kita begitu abai untuk sebuah pemikiran tentang dampak lingkungan hidup? Orang-orang membuang sampah sembarangan, bahkan dipenuhilah sungai dengan sampah. Membangun usaha dengan membuang limbahnya secara sembarangan. Ini bukti bagaimana kesadaran akan lingkungan hidup di masyarakat kita rendah.

Baca juga: Memuja Kemandegan Desa

Kenapa? Saya melihat setidaknya ada dua hal. Pertama, orang-orang di masyarakat kita memang secara ekonomi minim, dan ekonomi masih tak beranjak dari model ekonomi “subsisten”. Cirinya adalah dalam hal peredaran uang (‘cash money”) amat minim. Minimnya kepemilikan uang sebenarnya tak menjadi masalah ketika kebutuhan-kebutuhan masih bisa dipenuhi dengan barang-barang yang dihasilkan. Tapi karena kapitalisme sifatnya mengglobal dan media selalu jadi “corong” untuk menayangkan iklan produk kapitalis, kebutuhan dipicu terus untuk membeli dan meniru gaya hidup kaum-kaum konsumtif.

Munculnya usaha dan proses industri yang menghasilkan uang berlebih (modal plus keuntungan), maka hal ini menjadi suatu situasi baru yang melenakan untuk berpikir tentang hal-hal jangka panjang, tentang nasib orang lain, tentang dampak-dampak suatu kegiatan. Berdirinya usaha dan industri saja oleh pemerintah juga sudah dianggap sebagai catatan keberhasilan, tanpa melihat syarat-syarat ekologis suatu usaha atau industri.

Celakanya, dimanapun limbahnya dibuang orang tak lagi peduli. Dampak lingkungan hidup suatu usaha tak pernah jadi kesadaran.

Orang yang jarang pegang uang, lalu melihat bahwa suatu industri ternyata mendatangkan uang—maka hal ini membuat mereka lupa segalanya. Ketika usaha pindang ternyata mampu mendatangkan uang dari luar kota (hasil menjual ikan pindang) dengan cipratan upah bagi pekerjanya yang ikut menikmati, maka usaha ini dianggap sebagai jalan usaha yang harus ada. Celakanya, dimanapun limbahnya dibuang orang tak lagi peduli. Dampak lingkungan hidup suatu usaha tak pernah jadi kesadaran.

Kedua, kesadaran ekologis sebagai kesadaran material-dialektis itu dimatikan dalam pikiran orang-orang kita, khususnya masyarakat pedesaan. Mereka tak pernah berpikir bahwa yang mereka lakukan akan merusak alam. Bahkan ketika alampun mulai menunjukkan kerusakannya dan dampak-dampaknya sudah kelihatan, seperti banjir akibat penumpukan sampah di sungai atau air sungai yang tercemar limbah, merekapun bahkan tidak juga sadar. Kenapa? Karena cara pandang material-dialektis yang menyediakan sebab-akibat dari perlakuan terhadap alam itu tak dimiliki.

Baca juga: Petani Pinggiran yang Paling Mudah Bertahan dalam Pandemi Virus Corona

Masyarakat kita didominasi cara pandang metafisis. Dominasi ajaran mengutamakan akhirat membuat mereka lebih lupa pada dunia. Ibaratnya, biarkanlah lingkungan hidup di dunia rusak, yang penting rajin beribadah karena hidup ini hanya sementara dan yang abadi adalah akhirat. Dengan bayangan surga yang merupakan alam yang indah dengan tanah subur dan ingin apa saja bisa dipenuhi, orang-orang tak mempedulikan lingkungan alam di dunia.

Dalam ajaran Kristen misalnya, semua ciptaan adalah berharga, cerminan keagungan Allah (Mazmur 104). Semua ciptaan (kosmos) diselamatkan melalui Kristus (Kolose 1:15-23).

Sebenarnya, ajaran langit itu sendiri juga bukanlah ajaran yang abai terhadap pelestarian lingkungan alam. Kalau melihat kitab-kitab agama, sebenarnya ada juga yang menyebutkan pentingnya menjaga dan merawat alam. Dalam ajaran Kristen misalnya, semua ciptaan adalah berharga, cerminan keagungan Allah (Mazmur 104). Semua ciptaan (kosmos) diselamatkan melalui Kristus (Kolose 1:15-23).

Dalam agama Islam juga demikian. Dalam Al Qur’an termuat kalimat-kalimat ramah lingkungan, misalnya,

”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi sesudah (Alloh swt) memperbaikinya dan dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut. sesungguhnya rahmat Alloh SWT amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS Al A’raf: 56). Dalam surat lain juga dikatakan, ”telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya alloh merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali pada jalan yang benar” (QS Ar-Rum:41).

Tapi pernahkan di ceramah-ceramah agama di desa-desa tema-tema pelestarian lingkungan ini diangkat? Di sebuah desa ada beberapa masjid yang letaknya hanya belasan meter dari tempat industri yang limbahnya dibuang di sungai. Tapi pernahkan di ceramah-ceramah agama di desa-desa, terutama dalam Kotbah Jumat, tema-tema pelestarian lingkungan ini diangkat? Tak pernah sekalipun terdengar!***

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.