Milenial, Kampanyekan Moderasi Beragama Di Ruang Digital

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Kelas Literasi Damai, Siap Cetak Agen Perdamaian

Dalam mengkampanyekan nilai moderasi beragama melalui narasi atau pesan digital, menurut Hanafi ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan, antara lain: 1) kode pesan, yaitu serangkaian simbol yang tersusun dan bermakna bagi orang lain; 2) materi pesan, yaitu bahan yang dipilih oleh komunikator untuk menyampaikan maksudnya; dan 3) wujud pesan, yaitu sesuatu yang membungkus inti pesan agar komunikan tertarik pada isi pesan yang ada di dalamnya.

Kampusdesa.or.id–Moderasi adalah sikap  berada di tengah-tengah (tidak condong ke kanan juga tidak condong ke kiri) sebagai jalan yang paling aman dalam beragama. Sedangkan menurut Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag, 2019) moderat atau wasatiyah adalah sikap lembut juga lunak dalam memaknai agama, tidak jatuh pada sikap ekstrem yang berlebihan. Syekh Ali al-Jum’ah mengibaratkan bahwa sikap moderat (tawasuth) ini adalah puncak gunung. Yang mana merupakan posisi paling aman bagi pendaki, lain hal dengan para pendaki yang berada dalam tepian kanan dan kiri gunung yang rawan tergelincir dan jatuh.

RelatedPosts

Menteri Agama Republik Indonesia (2014-2019), M. Lukman Saifuddin dalam sambutannya mengawali buku “Moderasi Beragama”, bahwa moderasi beragama harus dipahami sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, ataupun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di antara mereka. Jadi jelas bahwa moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga kebersamaan dengan memiliki sikap tenggang rasa. sebuah warisan leluhur yang mengajarkan kita untuk saling memahami dan ikut merasakan satu sama lain yang berbeda dengan kita.

Saking pentingnya sikap moderasi beragama ini, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)  mulai tahun 2019 lalu, telah memasukkan  moderasi beragama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pentingnya penerapan moderasi beragama ini adalah agar paham keagamaan yang berkembang di Indonesia selalu beriringan atau minimal  tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan, secara esensial pemahaman dan pengamalan keagamaan tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.

Salah satu hal penting yang menjadi argumen perlunya moderasi beragama untuk diterapkan di Indonesia adalah fakta masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural.

Salah satu hal penting yang menjadi argumen perlunya moderasi beragama untuk diterapkan di Indonesia adalah fakta masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. Bangsa yang dikaruniai dengan berbagai etnis, suku, agama, budaya serta bahasa mengharuskan adanya perbedaan, yang mana setiap perbedaan tersebut sangat berpotensi melahirkan gesekan atau konflik yang dapat menimbulkan ketidakharmonisan dan ketidakseimbangan interaksi sosial dan keagamaan dalam masyarakat.

Secara historis dan empiris, dengan menelaah berbagai catatan sejarah, kearifan lokal serta artefak, menunjukkan bahwa penyebaran agama-agama di Indonesia, khususnya Islam yang disebarkan oleh walisongo pun dilakukan atas bantuan etnis dan umat agama lain yang berbeda. Cara berdakwah dan proses penyebaran Islam di Indonesia dilakukan dengan cara santun dan lemah lembut tanpa ada konflik apalagi pertumpahan darah yang mengatasnamakan jihad dan dakwah dalam menyebarkan agama. Para walisongo telah lebih dulu mengajari kita bagaimana cara megejawantahkan keharmonisan dalam setiap perbedaan tanpa menjadikannya alasan untuk saling menjatuhkan dan menyalahkan.

Kemajemukan bangsa Indonesia yang plural dibuktikan dengan Sensus Penduduk 2010 tentang presentase pemeluk agama di Indonesia, yang menyatakan dari 237.641.326 jiwa jumlah penduduk Indonesia, sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18 persen) masyarakat Indonesia beragama Islam, kemudian sebanyak 16,5 juta jiwa (6,96 persen) menganut agama Kristen, disusul 6,9 juta jiwa (2,91 persen) menganut agama Katolik, 4 juta jiwa (1,69 persen) menganut agama Hindu, 1,7 juta jiwa (0,72 persen) menganut agama Buddha, penganut Khonghucu sebanyak 0,11 juta jiwa (0,05 persen), dan penganut agama lainnya sebanyak 0,13 persen. Berdasarkan data tersebut diketahui agama Islam merupakan agama terbanyak atau sebagai agama mayoritas yang dianut oleh penduduk Indonesia. Namun, sebagai kelompok mayoritas tidak selayaknya Islam mendeskriminasi kelompok-kelompok minoritas yang berbeda dengan ajarannya.

Baca juga: Solusi Islam untuk Problematika Pluralitas

Dalam agama Islam sendiri, banyak perbedaan penafsiran terhadap dogma-dogma dan ajaran agama, sehingga tidak mengherankan terdapat banyak mazhab, aliran atau sekte dalam setiap agama. Semua perbedaan ini diakibatkan kapasitas pemahaman dan kemampuan berpikir masing-masing individu, prespektif, pendekatan serta lingkungan atau wilayah yang mempengaruhinya.

Namun, kini kasus intoleransi dan radikalisme agama terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Romo Antonius Benny Susetyo (2020), selaku Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjelaskan hal yang mendominasi kasus intolernasi di Inodensia, salah satunya adalah pendirian rumah ibadah dan deskriminasi hak-hak kelompok minoritas.  Dan sikap serta prilaku intoleransi ini memicu atau dapat bertransformasi menjadi gerakan kekerasan agama salah satunya berupa gerakan paham radikalisme yang berujuang pada terorisme

Secara umum, dalam upaya penyebaran nilai-nilai moderasi beragama sebagai gerakan untuk menagkal paham-paham radikalisme dan kasus intoleransi yang kian hari kian marak terjadi, ada beberapa hal yang mampu diupayakan untuk meminimalisir hal tersebut. Luc Reychler (2006) mengemukakan teori Arsitektur Pembangunan Perdamaian Berkelanjutan yang menyebutkan, dalam pengelolaan perbe­daan agama dibutuhkan sejumlah syarat yaitu; Pertama, ada­nya saluran komunikasi yang efektif dan harmoni sehingga memungkinkan terjadi proses diskusi, klarifikasi, dan koreksi terhadap penyebaran informasi atau rumor yang berpotensi menimbulkan ketegangan antar kelompok sosial; Kedua, be­kerjanya lembaga penyelesaian masalah, baik yang bersifat formal seperti pengadilan atau informal seperti lembaga adat dan agama; Ketiga, adanya tokoh-tokoh pro perdamaian yang memiliki pengaruh, sumberdaya dan strategi efektif dalam mencegah mobilisasi masa oleh tokoh pro-konflik; Keempat, struktur sosial-politik yang mendukung terwujudnya kea­dilan dalam masyarakat; dan Kelima, struktur sosial-politik yang adil bagi bertahannya integrasi sosial.

Di era milenial atau Revolusi Industri (RI) 4.0 sekarang ini, penyampaian informasi semakin mudah dan cepat melalui ruang digital dengan adanya media sosial. Sebanyak 54,37% siswa dan mahasiswa belajar pengetahuan tentang agama dari internet, baik itu media sosial, blog, maupun website. Perubahan pola pembelajaran inilah yang menyebabkan pentingnya konten-konten di ruang digital melaui website, media sosial atau platform digital lain sebagai sumber pembelajaran agama Islam generasi muda selain dari pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolahnya atau lembaga akademik. Media belajar populer di kalangan milenial dalam mengakses pelajaran-pelajaran keagamaan adalah youtube. Menurut hasil survei We are Social mengungkapkan pengguna youtube 88%, Whatsapp 83%, Facebook 81% dan Instagram 80%.

Selanjutnya menurut hasil survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta di tahun 2017 menunjukkan bahwa internet berpengaruh besar terhadap meningkatnya intoleransi pada generasi milenial atau ge­nerasi Z. Siswa dan mahasiswa yang tidak memiliki akses internet lebih memiliki sikap moderat dibandingkan mere­ka yang memiliki akses internet. Padahal mereka yang me­miliki akses internet sangat besar, yaitu sebanyak 84,94%, sisanya 15,06% siswa/mahasiswa tidak memiliki akses in­ternet. Rupanya generasi milenial lebih mengandalkan du­nia maya sebagai sumber belajar agama yang dalam dalam penelitian tersebut cenderung berdampak negatif.

Kampanye Konten Nilai Moderasi Beragama

Seiring perkembangan era industri 4.0, maka bidang pemasaran juga ikut berkembang menjadi marketing 4.0 yang dapat menyesuaikan pola audiens yaitu horizontal, inklusif dan sosial. Dahulu, suatu instansi akan memegang kendali atas komunikasi pemasaran dan menangani keluhan secara individu. Namun dimasa sekarang, instansi tidak lagi bisa mengendalikan percakapan yang berkembang karena konten pesan dalam komunikasi pemasaran dihasilkan oleh komunitas.  Bahkan, bila konten pesan dalam komunikasi pemasaran disensor maka bisa melemahkan kredilitas dari instansi. Dengan kata lain, konten pada pesan komunikasi pemasaran adalah pendekatan yang mencakup menciptakan, memilih, membagi dan membesarkan konten yang menarik, relevan dan berguna untuk kelompok khalayak demi menciptakan percakapan tentang konten tersebut. Adapun beberapa tahapan dalam pemasaran konten, yaitu tahap persiapan, pemasaran dan evaluasi.

Beberapa tahapan dalam pemasaran konten, yaitu tahap persiapan, pemasaran dan evaluasi.

Tahap Persiapan, dalam tahap persiapan ini ada beberapa hal yang terlebih dahulu harus dimatangkan dan direncanakan sebelum memulai pemasaran konten, yaitu; 1) menetapkan tujuan sebagai arah dan goal yang ingin dicapai dengan kampanye pemasaran konten ini; 2) pemetaan target pasar untuk mengetahui siapa yang akan menjadi target kampanye anda agar tau dan bisa menyesuaikan dengan keresahan dan keinginan mereka; 3) perencanaan konten untuk menentukan tema besar konten yang akan menjadi brand atau label dari komunitas tersebut.

Tahap Pemasaran ini meliputi, penciptaan konten, pendistribusian dan penguatan konten. Penciptaan dan pendistribusian ini adalah bentuk interaksi sosial melalui media sosial kepada target pasar (konsumen) kita yang akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kampanye nilai moderasi beragama yang nantinya kemudian dikuatkan dengan memanfaatkan aset konten dan berinteraksi langsung dengan pelanggan. Penguatan konten ini bisa dilakukan dengan membuat percakapan yang interaktif terhadap konten yang didistribusikan serta juga bisa menggunkan jasa buzzer dan atau influencer.

Tahap Evaluasi, pada tahap evaluasi ini meliputi evaluasi pemasaran konten dan perbaikan pemasaran konten. Evaluasi pemasaran dengan melihat seberapa suksesnya kampanye pemasaran konten yang sudah kita lakukan, baik itu dalam tahap perencanaan maupun tahap pemasaran—penciptaan dan pendistribusian konten. Setelah mengevaluasi kinerja dan keefektifan pemasaran konten kita, hal yang perlu dilakukan tentunya melakukan perbaikan guna meningkatkan pemasaran konten kita, baik dari segi tema, model distribusi serta interaksi dengan pelanggan.

Dalam pengkampanyean nilai moderasi beragama melalui narasi atau pesan digital, menurut Hanafi ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan, antara lain: 1) kode pesan, yaitu serangkaian simbol yang tersusun dan bermakna bagi orang lain; 2) materi pesan, yaitu bahan yang dipilih oleh komunikator untuk menyampaikan maksudnya; dan 3) wujud pesan, yaitu sesuatu yang membungkus inti pesan agar komunikan tertarik pada isi pesan yang ada di dalamnya. Formulasi kampanye pesan moderasi beragama di ruang digital khusunya di media sosial, harus mencerminkan pesan yang informatif, interaktif serta persuasif. Informatif artinya pesan didasarkan pada data dan fakta, setidaknya konsumen dapat membuat tagline atau postingan yang berisi informasi tentang nilai-nilai moderasi beragama. Berikutnya pesan tersebut harus memiliki daya interaksi sosial yang inetarktif kepada pemirsa media serta daya pikat yang mempengaruhi atau mempersuasi emosi pembaca atau pengguna media sosial yang lainnya. Pesan atau narasi di sini tidak mesti harus berbentuk tulisan, tapi bisa dalam bentuk video ataupun gambar ilustratif.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.