Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

329
SHARES
2.5k
VIEWS

Sudah lama dunia pendidikan kita terjebak oleh pola pembelajaran yang cognitive oriented. Kondisi ini berdampak panjang hingga membentuk mental passenger dalam diri peserta didik. Padahal, mental yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk menjawab tantangan zaman adalah mental driver, yaitu kemampuan berpikir kritis, gesit, dan tahu dengan jelas kemana arah dan tujuan dalam melangkah. Bukan kemampuan untuk duduk, diam, dan terbuai oleh zona nyaman.

Kampusdesa.or.id-Pagi ini (12/7) saya mengajak mahasiswa perwalian saya untuk sekadar sharing dan ngobrol santai. Sebetulnya ada beberapa hal yang ingin saya ketahui dan konfirmasi langsung, tapi tanpa sepengetahuan mereka. Apa yang saya lakukan ini digerakkan oleh buku Rhenald Kasali yang berjudul  “Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger?”.

RelatedPosts

Setalah membacanya, saya jadi kepikiran, jangan-jangan mahasiswa saya mengalami hal serupa seperti yang digelisahkan penulis buku ini. Jangan-jangan mereka selama ini belajar hanya dengan ‘memindahkan’ isi buku teks ke kepala. Jangan-jangan mereka selama ini menganggap bahwa nilai akademik adalah segalanya. Jangan-jangan mereka selama ini beranggapan bahwa nama besar kampus menjadi jaminan sukses di masa depan. Jangan-jangan mereka selama ini juga bermental passenger. Dan jangan-jangan yang lain.

Sistem pendidikan kita, termasuk di perguruan tinggi, selama ini bukannya membentuk manusia bermental driver, tapi malah sebaliknya, bermental passenger.

Menurut Rhenald Kasali, sistem pendidikan kita, termasuk di perguruan tinggi, selama ini bukannya membentuk manusia bermental driver, tapi malah sebaliknya, bermental passenger. Lulusan pendidikan kita pandai dalam menghafal teori dan konsep persis dengan isi buku teks, tapi kedodoran saat diminta mempraktikannya dan memenuhi tuntutan dunia nyata. Hal ini sebabkan karena proses belajar mereka hanya fokus pada kertas-kertas berupa buku teks. Mereka lalu disuruh memindahkan isi hafalan itu ke kertas lainnya berupa lembar-lembar jawaban ujian. Jadilah mereka ketika lulus sarjana kertas.

Baca Juga: Masih Relevankah Mata Pelajaran Sekolah Di Tengah Keajaiban Mbah Google!

Masih menurut Rhenald Kasali, akibat pola pembelajaran seperti itu, terbentuklah generasi pasif. Hanya untuk mengungkapkan pendapat saja kesulitan. Anak-anak di sekolah menjadi terisolasi dari lingkungannya yang dinamis. Mereka tidak terbiasa berpikir keras untuk memecahkan masalah hidup. Akibatnya, mereka kalah dengan anak-anak muda yang tidak berpendidikan tinggi namun memilih merantau demi menyambung hidup. Entah menjadi TKI atau sekadar membuka usaha di dalam negeri. Mereka ini dibentuk oleh kerasnya kehidupan sehingga terbiasa berpikir kritis dan belajar langsung dari kehidupan. Bukan dari buku teks.

Saya kemudian menyusun lima pertanyaan untuk menelusuri kecurigaan saya itu; (1) bagaimana perkuliahanmu selama ini?, (2) apa yang sudah kamu dapat dari kuliah?, (3) apa targetmu semester depan ini?, (4) apa rencanamu ke depan?, dan (5) selama liburan ini, apa yang kamu lakukan?. Mereka saya kumpulkan melalui Google Meet dan saya ajak ngobrol tentang lima pertanyaan ini.

Awalnya, saya berikan kesempatan kepada siapa saja yang mau berbagi pengalaman. Namun, tidak ada satupun yang mau bicara. Akhirnya, terpaksa saya pakai mode interogasi, daripada tidak kelar-kelar urusan ini. Satu per satu dari mereka saya ajak ngobrol. Saya ajukan lima pertanyaan tersebut. Anda tahu bagaimana hasilnya? Exactly!. Apa yang ditulis Rhenald Kasali dalam bukunya itu dialami juga oleh mahasiswa saya ini. Bisa jadi, dan sangat mungkin, sebagian besar mahasiswa di kampus saya juga demikian.

Baca Juga: Merdeka Belajar dan Mas Mendikbud, Mengapa Banyak Ditentang?

Pada pertanyaan pertama, mereka kesulitan menguraikan apa yang mereka alami sendiri selama setahun kuliah daring ini. Hanya untuk mengatakan kendala yang dialami dan bagaimana menjalani kuliah online saja, mereka kesulitan. Ada yang secara terang-terangan mengaku salah jurusan dan belum memikirkan langkah apa ke depannya. Demikian juga pada pertanyaan kedua. Ini lebih parah. Ada yang terang-terangan menjawab TIDAK TAHU. Lho kok bisa? jujur, saya kaget sekali. Lha wong mengatakan apa yang sudah didapat sendiri selama kuliah kok malah TIDAK TAHU.

Kekagetan saya terus berlanjut. Pada pertanyaan ketiga juga sama. Banyak yang kesulitan menjawab. Bahkan terang-terangan menjawab TIDAK TAHU lagi. Setelah saya desak, beberapa mampu menjawab. Selebihnya tetap TIDAK TAHU. Pertanyaan keempat, setali tiga uang dengan pertanyaan ketiga. Maksud saya di pertanyaan keempat ini, saya ingin tahu rencana jangka panjang mereka bagaimana. Setelah nanti lulus mereka mau apa. Jadi sarjana yang bagaimana. Sayangnya, jawaban yang keluar sama sekali tidak memenuhi ekspektasi saya.

Pada pertanyaan terakhir, semakin menunjukkan kepada saya bahwa mereka memang telah menderita penyakit mental passenger. Mereka selama ini telah terbentuk menjadi penumpang. Bagaimana tidak? Semua menjawab selama liburan hanya gelimbang-gelimbung. Hanya nonton film, makan, tidur, kadang membantu orang tua, dan sebagainya. Tidak ada yang mengisi liburan dengan kegiatan produktif seperti membaca buku, menulis, kursus, atau yang lain.

Padahal, mereka ini termasuk manusia-manusia yang beruntung karena diberi kesempatan bisa kuliah. Di luar sana, ada begitu banyak anak muda yang ingin di posisi mereka.

Saya betul-betul tertohok dengan jawaban-jawaban mereka ini. Padahal, mereka ini termasuk manusia-manusia yang beruntung karena diberi kesempatan bisa kuliah. Di luar sana, ada begitu banyak anak muda yang ingin di posisi mereka. Orang tua juga sudah bekerja begitu keras demi membayar biaya kuliah. Sepertinya hal paling mendasar ini pun tak banyak direnungkan oleh teman-teman mahasiswa. Akhirnya, mereka kuliah sekadarnya. Pokoknya yang penting kuliah.

Padahal, pola pikir yang kelihatannya remeh ini buntutnya bisa panjang. Bila mereka tetap menjadi mahasiswa sekadarnya atau pokoknya, maka nanti lulus juga menjadi sarjana yang sekadarnya dan pokoknya. Begitupun ketika nanti menjadi guru, juga sekadarnya dan pokoknya dalam menjalankan tugas. Peserta didik mereka pun akhirnya belajar sekadarnya dan pokoknya. Sepanjang itulah rentetannya.

Perombakan kurikulum yang agak radikal sepertinya sedang urgent untuk dilakukan pada semua jenjang pendidikan kita. Kurikulum dan pola pembelajaran yang hanya cognitive oriented sudah selayaknya kita tinggalkan.

Perombakan kurikulum yang agak radikal sepertinya sedang urgent untuk dilakukan pada semua jenjang pendidikan kita. Kurikulum dan pola pembelajaran yang hanya cognitive oriented sudah selayaknya kita tinjau ulang. Demikian halnya dengan asesmen yang dilakukan, sepatutnya tidak hanya fokus pada pencapaian kognitif, tapi juga melihat sejauh mana perkembangan afektif dan psikomotorik peserta didik. Pendidikan dan lembaga pendidikan harus melihat sejauh mana peserta didik mampu menerapkan teori dan konsep dalam kehidupan nyata. Serta bagaimana mereka beretika terhadap sesama dan lingkungan.

Mari berkaca ke negara-negara tetangga yang telah lebih dulu mengubah mindset dan paradigmanya dalam mengajar. Konteks dan teks yang dipelajari di kelas haruslah secara gayut berhubungan.

Pada aras yang sama, hubungan harmonis antara dunia nyata dan kelas jangan diabaikan. Mari berkaca ke negara-negara tetangga yang telah lebih dulu mengubah mindset dan paradigmanya dalam mengajar. Konteks dan teks yang dipelajari di kelas haruslah secara gayut berhubungan. Sehingga, apa yang dipelajari peserta didik, bisa langsung mereka terapkan. Selain itu, muatan kurikulum yang ingin membuat peserta didik menjadi ‘manusia berdaya ingat super’ juga perlu untuk terus ditinjau ulang. Utamanya terkait banyaknya mata pelajaran yang harus dikuasai peserta didik, padahal sama sekali tidak mendukung bakat dan minat mereka.

Terakhir, proses pendidikan haruslah membentuk mental driver, yaitu sosok yang berpikir, gesit, bisa membaca peluag, kritis, dan tahu dengan jelas arah tujuan. Bukan membentuk manusia bermental passenger yang cukup hanya diam, bahkan bisa mengantuk dan tidur. Hanya dengan lulusan pendidikan yang bermental driver-lah, kita bisa menjadi bangsa driver.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.