ISTRI “NGLUNJAK” KARENA SUDAH MANDIRI FINANSIAL?

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Jika seorang perempuan sudah mandiri—punya pekerjaan dan penghasilan—dan dalam hak pemenuhan ekonomi tak tergantung pada laki-laki, bagaimanakah ketika ia menikah? Apa tidak akan “nglunjak” pada suami? Apa akan “patuh” pada suami?

Kampusdesa.or.id-Loh, apakah istri itu budak suami kok ada istilah “patuh”? Lelaki dan perempuan (suami dan istri) menurut saya adalah hubungan yang dibangun atas dasar kesetaraan, bukan hubungan tuan-budak, tuan-abdi. Arah hubungan dan tindakan-tindakan atau putusan yang diambil dalam keseharian adalah hasil diskusi bersama, bukan atas dasar keinginan satu pihak yang dipaksakan dan harus dituruti satu pihak lainnya tanpa bisa ditolak atau direspon (dan diberi masukan jika salah).

Tentu jika seorang perempuan (istri) punya penghasilan sendiri, memang akan berbeda situasinya. Bentuk relasi dalam pernikahan yang dibangun tentu akan beda dengan ketika si perempuan hanyalah seorang yang tidak berdaya secara ekonomi dan menjadikan pernikahan sebagai ikatan yang menyelamatkannya karena artinya ia secara ekonomi akan ditolong oleh si laki-laki (suami). Di sini ada asumsi, seakan pernikahan adalah upaya perempuan tidak berdaya agar bisa  numpang hidup pada suami?

RelatedPosts

Baca Juga :Tips Melindungi Anak Dari Kekerasan Seksual

Lantas apakah perempuan perempuan mandiri tidak butuh pernikahan? Tentu kembali pada pilihan masing-masing individu (perempuan-nya).

Pernikahan sendiri adalah hak. Menikah adalah hak, tidak menikah juga hak. Ini berbeda dengan konsep dan praktik pernikahan yang dipaksakan. Di zaman modern, perempuan boleh menolak menikah jika memang tidak menginginkannya, misalnya dinikahkan dengan lelaki yang tidak diinginkannya. “Lha apa gak punya kebutuhan seks kok gak menikah?”, pertanyaan seperti itu terkadang muncul.

Saya juga pernah berbincang dengan teman beberapa kali soal itu. Saya balik tanya: “Kalau orang tidak ngeseks itu apa akan mati atau tak bisa hidup? Bukankah yang mungkin membuat kita mungkin mati itu adalah kalau tidak makan sebulan atau setahun. Tidak melakukan seks bertahun-tahun, saya pikir, juga tak akan membuat kita mati. Yang kadang bikin cepat mati itu bisa jadi pernikahan yang buruk, yang membuat depresi, lalu bunuh diri. Atau mungkin istri dibunuh suaminya, atau sebaliknya, dalam sebuah hubungan yang buruk!”

Lantas jika perempuan itu mandiri, menikah apa tidak bisa (boleh)? Ya bisa saja (boleh). Dan apakah suaminya (lelaki) akan nyaman dan hubungan berjalan dengan baik jika ternyata si istri ternyata pendapatannya lebih dari si suami.

Baca Juga: Aksi Komunitas Lamongan Teduh Menanggulangi Climate Change di Pesisir Pantura Lamongan

Apakah si istri tidak akan “nglunjak”?

Kalau itu ya tergantung si lelakinya juga. Bukan semata karena pihak istri (perempuan). Masalahnya tujuan pernikahan memang bukan untuk saling mendominasi, tapi untuk saling mengerti. Istri bukan pelayan suami yang harus patuh. Suami juga bukan pihak yang harus selalu dituruti. Jadi tak ada masalah dengan kesetaraan antara suami dan istri. Sebab kesetaraan bukan kesamaan.

Kesetaraan itu menjamin masing-masing bisa diskusi soal pembagian tugas. Yang namanya orang mau membangun hubungan itu layaknya akan berbagi peran sesuai pengertian dan pemahaman, ada evaluasi, ada komunikasi yang bisa disampaikan. Latar belakang masing-masing, kemampuan masing-masing, bahkan pendapatan masing-masing, harus masuk dalam agenda diskusi.

Erich Fromm mengatakan: “Cinta didasarkan atas persamaan dan kebebasan. Jika ia didasarkan pada pembawahan (subordinasi) dan menghilangkan integritas pasangannya, yang demikian adalah ketergantungan masokistis, tak peduli bagaimana hubungan itu dirasionalisasikan. Sadisme juga sering menyamar sebagai cinta. Untuk menguasai orang lain, jika ia dapat mengatakan bahwa menguasai orang adalah demi orang itu sendiri, seringkali muncul ungkapan-ungkapan cinta, tetapi hakikatnya adalah kenikmatan menguasai”.

Dasarnya bukan pembagian tugas dan peran yang hasil doktrin budaya yang diikuti, tapi atas kesadaran masing-masing. Dan begitulah seharusnya pernikahan modern yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang memahami pentingnya humanisasi, bukan untuk tujuan mendominasi dan mendapatkan keuntungan pribadi.

Jangan lagi ada laki-laki yang tujuan nikahnya hanya sekedar, agar bisa mendapatkan orang dekat yang terikat dan bisa memenuhi hasrat seks, ada yang memasakkan makanan untuk dia, ada yang menjaga rumah, bersih-bersih dan cuci baju, serta merawat anak-anaknya. Demikian juga untuk perempuan, bahwa menikah bukan hanya untuk “nunut urip” dengan kompensasi memberikan dirinya sebagai abdi pada laki-laki. Saya pikir memang sudah seperti itulah pernikahan modern berjalan. Jadi tak ada masalah dengan konsep kesetaraan gender.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.