• Call: +62 858-5656-9150
  • E-mail: [email protected]
Education Blog
  • Home
  • Artikel
    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Trending Tags

    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami
No Result
View All Result
Kampus Desa Indonesia
No Result
View All Result
Home Opini

Disabilitas dalam Novel Bumi Manusia

Aida Mudjib by Aida Mudjib
March 25, 2022
in Opini
194 10
0
Disabilitas dalam Novel Bumi Manusia
Share on FacebookShare on Twitter

Pramoedya Ananta Toer dikenal luas sebagai sastrawan yang mampu mendedah realitas sosial di era kolonial dengan apik melalui karya-karyanya. Tak hanya itu, dalam setiap karyanya, Pram juga menyisipkan pesan-pesan kehidupan yang sarat makna. Dalam novel Bumi Manusia misalnya, ia mengisahkan bagaimana kisah perjuangan Jean Marais, seorang difabel veteran perang Aceh berdarah Perancis yang harus mengalami banyak hal pahit atas kondisinya ini, salah satunya diskriminasi. Namun demikian, ia tetap kokoh pada dirinya.

“Kau terpelajar, cobalah bersetia pada katahati.”
— Jean Marais, halaman 274

Kampusdesa.or.id–NOVEL Bumi Manusia adalah novel luar biasa karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini telah meraih berbagai penghargaan, diantaranya Freedom to Write Award (1988), UNESCO Madanjeet Singh Prize (1996), Fukuoka Cultural Grand Prize (2000), dan berbagai penghargaan internasional lainnya.

“Belajarlah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”

Tokoh utama novel, Minke, diceritakan memiliki sahabat baik, Jean Marais. Jika Minke dalam kebingungan atau kesulitan, Jean Marais adalah orang pertama tempat curahan hatinya. Banyak petuah-petuah Jean Marais mempengaruhi pemikiran Minke. Lewat karakter Jean Marais pula PAT menelurkan kata-kata: “Belajarlah berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” Petuah itu selalu diingat Minke.

Jean Marais adalah seorang pelukis dari Prancis. Pernah sekolah di Sorbonne. Ia meninggalkan bangku sekolah mengikuti suara hatinya, mencurahkan kekuatan sepenuhnya pada seni lukis. Ia tinggal di Quartier Latin di Paris, menjajakan lukisan-lukisannya di pinggir jalan. Karya-karyanya selalu laku, tapi tak pernah menarik perhatian masyarakat dan dunia kritik Paris. Sambil menjajakan lukisan ia juga mengukir.

Lima tahun telah berlalu. Jean Marais bosan pada lingkungannya, pada Eropa. Ia berpetualang ke Maroko, Libya, Aljazair, dan Mesir namun tak juga menemukan sesuatu yang dicarinya dan tetap tak bisa menciptakan lukisan sebagaimana ia impikan. Sampai di Hindia uangnya habis. Jalan satu-satunya adalah masuk Kompeni. Ia masuk, mendapat latihan beberapa bulan, dan berangkat ke medan-perang di Aceh. Jean Marais dikirim ke Aceh sebagai Spandri (serdadu kelas satu). Komandan regunya, Kopral Bastian Telinga, seorang Indo-Eropa. Sekiranya Marais bukan orang eropa totok, ia hanya akan menjadi serdadu kelas dua. Mulailah ia hidup diantara serdadu-serdadu Eropa totok seperti dirinya sendiri, yang juga tak tahu Belanda: orang Swiss, Jerman, Swedia, Belgia, Rusia, Hongaria, Romania, Portugis, Spanyol, Italia—hampir semua bangsa Eropa.

“Pengalaman perang di Aceh mengubah pandangan Jean Marais tentang pribumi. Ternyata kemampuan mereka tinggi, hanya peralatannya rendah; kemampuan berorganisasinya juga tinggi”

Pengalaman perang di Aceh mengubah pandangan Jean Marais tentang pribumi. Ternyata kemampuan mereka tinggi, hanya peralatannya rendah; kemampuan berorganisasinya juga tinggi. Sebaliknya, ia juga mengakui kehebatan Belanda dalam memilih tenaga perang. Jean Marais mulai mencintai dan mengagumi bangsa pribumi yang gagah perwira, berwatak dan berpendirian kuat. Hingga ia mendapatkan seorang wanita yang dulu menjadi musuhnya menjadi wanita yang dicintainya dan juga seorang anak perempuan, May.

Dari perang Aceh itu pula Marais kehilangan satu kakinya. Ia hidup bersama May di Surabaya bergantung pada uang pensiun tentara dan keahliannya melukis dan mengukir. Namun meski ia hidup sebagai warga eropa yang pada masa itu termasuk warga kelas satu, monsieur Marais tetap mengalami diskriminasi. Ini tercermin dari kalimat yang dipilih PAT dalam novel.
Dunia sekelilingku ramai. Meriam pun berdentuman. Di hati aku tetap nelangsa. Jadi pergilah aku seperti biasa ke tetangga sebelah, Jean Marais, orang Prancis berkaki satu itu. [BM hal. 4]

Betapa mengibakan nasib gadis kecil ini, juga ibunya, lebih-lebih sahabatku Jean Marais sendiri –di negeri asing tanpa hari depan, kehilangan sebelah kaki pula. Ia sering bercerita sangat mencintai istrinya. Dan anak ini adalah anak tunggal – kini tanpa ibu untuk selamalamanya, hanya punya seorang ayah berkaki satu. [BM Hal. 7]

Minke tokoh utama novel mencari tambahan uang saku dengan mengumpulkan orderan mengukir dan melukis bagi Jean Marais. Seperti minke yang tergantung pada petuah dan pendapat sahabatnya, Marais juga sering tergantung pada Minke untuk membantu mengasuh May jika anak itu pulang-pergi sekolah atau ingin berjalan-jalan. Stigma sosial yang kuat bahwa menjadi orang cacat itu menimbulkan omongan dan pandangan negatif membuat Marais nyaris tidak ingin keluar rumah. Minke berusaha membuat Marais lebih percaya diri untuk bersosialisasi.

“Baiklah. Kau mau mengajak jalan-jalan May sore ini, kan? Kau tak pernah membawanya!” tuduhku menyesali. “Dia ingin berjalan-jalan denganmu.”
“Belum bisa, minke. Kasihan dia. Orang akan menonton kami berdua. Pada suatu kali dia akan dengar mereka bilang: Lihat Belanda buntung pincang dengan anaknya itu! Jangan, Minke. Jiwa semuda itu jangan dilukai dengan penderitaan tak perlu, sekalipun cacad ayahnya sendiri. Dia hendaknya tetap mencintai aku dan memandang aku sebagai ayahnya yang mencintainya, tanpa melalui suara dan pandang orang lain.”
“Kau tak pernah setuju dengan perasaan kasihan, Jean,” aku menegur.

“Kau benar, Minke. Pernah kuceritai kau, kasihan hanya perasaan orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya satu kemewahan, atau satu kelemahan. Yang terpuji memang dia yang mampu melakukan kemauan baiknya. Aku tak punya kemampuan, Minke.”

“Dulu, kaum difabel sebelum masa kolonial sangat dihormati, dimanusiakan. Mereka menjadi dihargai karena dalam masyarakat kita, terutama masyarakat Jawa, harmonisasi itu penting”

Novel Bumi Manusia memang sarat dengan nilai-nilai sosial. Disini tidak hanya menceritakan pertentangan kelas pribumi lawan eropa, priyayi versus rakyat jelata, relasi cinta dan kuasa namun juga nilai-nilai persamaan derajat. Pembacanya diajak kembali kepada pandangan masyarakat jawa zaman dulu sebelum era kolonialisme. Dulu, kaum difabel sebelum masa kolonial sangat dihormati, dimanusiakan. Mereka menjadi dihargai karena dalam masyarakat kita, terutama masyarakat Jawa, harmonisasi itu penting. Salah satu caranya dengan penghormatan kepada semua kaum, termasuk difabel. Masyarakat jawa memiliki kisah punokawan yang semuanya bertubuh aneh namun bijak, pintar, pemberani dan baik hati.

Masyarakat Indonesia memiliki gambaran ideal tentang bagaimana memperlakukan difabel di sekitarnya. Namun gambaran ini menjadi berubah ketika masa kolonial terjadi di Indonesia. Masyarakat eropa yang sangat mementingkan aspek fisik membuat kaum difabel terpinggirkan dan mengalami stigma. Hingga saat ini.

Agaknya PAT ingin memberikan ajaran tentang cara menghargai kaum difabel yakni dengan menunjukkan prestasi dan kemampuannya bukan kondisi fisiknya.
“Tahukah para hadirin siapa yang melukis potret hebat di atas itu ? Seorang pelukis berbakat! Bukan pelukis sembarang pelukis. … Kan demikian, Tuan Jean Marais? Ya, para hadirin, pelukisnya seorang Prancis, negeri yang punya tradisi besar di bidang seni. Tuan Marais, silakan berdiri…” Nampak olehku Tuan Telinga menolong Jean Marais berdiri, dan hadirin bersorak gegap-gempita.

Tags: Bumi ManusiaDifabelDisabilitasnovelPramoedya Ananta Toer
Previous Post

Simalakama Papua: Catatan Perjalanan Dokter Pejuang HIV/AIDS

Next Post

Merdeka Belajar, Sudah Siapkah Guru Kita?

Aida Mudjib

Aida Mudjib

RelatedPosts

Era Berperilaku Baik dalam Dunia Pendidikan
Opini

Era Berperilaku Baik dalam Dunia Pendidikan

by Astatik Bestari
November 24, 2022
0
24

Kampusdesa.or.id -- Pernahkan kita mendengar larangan begini, "jangan sering absen mengajar, nanti diiri guru yang lain!" Larangan ini sering  diperdengarkan...

Read more
Kawula muda  bijaklah dalam bermelodi, karena musik itu sugesti
Opini

Kawula muda bijaklah dalam bermelodi, karena musik itu sugesti

by Maulana Arif Muhibbin
March 30, 2022
0
212

Ini tentang musik, sifatnya yang universal terkadang mereduksi pemikiran rasional. Lantas bagaimana dengan hal yang bersifat emosional? Bisa dibilang musik...

Read more
Apakah Olimpiade Tokyo 2020 Paling Ramah Gender ? Simak Fakta Berikut
Lifestyle

Apakah Olimpiade Tokyo 2020 Paling Ramah Gender ? Simak Fakta Berikut

by Nur Aisyah Maullidah
March 25, 2022
0
204

SOBAT! YUK FLASHBACK SEJENAK KE GELARAN OLIMPIADE OLAHRAGA DUNIA TAHUN 2020. PADA MOMENT ITU TOKYO MENJADI TUAN RUMAH YANG MENYELENGGARAKAN...

Read more

Discussion about this post

Archive Artikel

Most commented

Gagalnya Makalah sebagai Tugas Kuliah

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Waspadai Kandungan Boraks atau Garam Kuning

Balewiyata dan Gus Dur; Situs Toleransi Malang yang Perlu Dirawat

Rembug Komunitas; Gusdurian Malang Tawarkan Peluang Menjadi Aktifis Penggerak

Metode Pemberdayaan Imamah; Mengubah dari Sense of Budgeting ke Sense of Benefit

Kampus Desa Indonesia

Kampus Desa Indonesia

Jl. Raya Candi VI-C Gang Pukesmas No. 4 RT 09 RW 06 Karangbesuki, Sukun, Kota Malang

SK Menkumham No. AHU-01356.AH.02.01 Tahun 2016

Tags

Agenda (36) Aktual (7) Desa Giat (2) Desa Unggul (3) Dokter Rakyat (45) Gubuk Sastra (10) Hari ini (3) Indonesia Menulis COVID 19 (82) Kearifan Lokal (8) Kelas Ekoprinting (3) Kelas Motivasi (1) Kita Belajar Menulis (66) Kopipedia (5) Kuliah Desa (10) kuliah hari ini (2) Kuliah Terbuka (133) Layanan (9) Lifestyle (1) Magang (1) Ngaji Tani (18) Opini (317) Pendidikan Hari Ini (73) Produk (27) Psikologi Hari Ini (126) Refleksi (27) Sepak Bola (6) Uncategorized (147) Wacana (1) World (1)

Recent News

Gagalnya Makalah sebagai Tugas Kuliah

Gagalnya Makalah sebagai Tugas Kuliah

March 27, 2023
Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

March 8, 2023

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In