Demokrasi di Pilkada itu Bukan Mencoblos, Tapi Memberikan Suara dan Bersuara

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Tarik-menarik antara kepentingan Pilkada itulah yang mewarnai dinamika demokrasi. Kalau serius mau mengikuti proses demokrasi elektoral ini, kampanye seharusnya  ada penyampaian visi-misi yang diterima dan dipahami, dicatat, dan dijadikan bahan diskusi. Dalam demokrasi elektoral sekalipun, memilih adalah hak, bisa digunakan dan bisa tidak digunakan. Hak  menentukan pilihan soal siapa saja yang akan dipilih, ini punya kadar arti yang berbeda-beda bagi siapa saja. Lalu, bagaimana sebenarnya makna Pilkada itu sendiri?

Kampusdesa.or.id–“Tidak memilih karena calon yang dulu kampanye banyak janji-janji akhirnya tidak ditepati. Banyak yang diharapkan dilakukan, ternyata tak dilakukan”, begitu ujar seseorang yang konon kabarnya tidak akan menyoblos karena kecewa.

Coba tanya, apa janji yang pernah diucapkan oleh calon atau pasangan calon saat kampanye dulu.

RelatedPosts

“Apa ya?”, katanya bingung.

“Lha katamu lupa dengan janji yang diucapkan. Lha iya, janjinya apa?”

Kampanye bukan pengucapan janji-janji, tapi penyampaian visi-misi dan program apa yang akan dilakukan.

Sekali lagi ia bingung. Karena ia tidak tahu bahwa pasangan calon itu sebenarnya dalam tahapan kampanye tidak diwajibkan untuk berjanji. Kampanye bukan pengucapan janji-janji, tapi penyampaian visi-misi dan program apa yang akan dilakukan. Visi-misi sifatnya adalah rencana kebijakan dan program apa yang akan dilakukan. Bukan pemberian janji akan memberikan materi atau uang. Bahkan menjanjikan materi dan uang malah merupakan hal yang terlarang dan dipidana—kalau tak percaya cek saja Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 pada Pasal 187A.

Kenapa sebagian orang mengatakan bahwa mereka merasa  kecewa alias sedemikian “baper”-nya ketika calon yang dulunya maju dan terpilih dianggap tidak melakukan perubahan sebagaimana yang diharapkan?

Tentu perasaan kecewa ini tidak salah. Artinya, kecewa karena sangat berharap dan berharap juga hal yang amat diperbolehkan. Merasa dan berpikir, bahkan mengungkapkan lewat kata dan ucapan, dalam sebuah masyarakat yang demokratis, tidak merupakan perbuatan terlarang. Bahkan protes dengan pengerahan massa pun di negeri ini dijamin oleh undang-undang. Berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dan pikiran, merupakan hak warga Negara yang dijamin oleh undang-undang.

Kalau serius mau mengikuti proses demokrasi elektoral ini, kampanye seharusnya  ada penyampaian visi-misi yang diterima dan dipahami, dicatat, dan dijadikan bahan diskusi. Kalau visi-misi baik dan membuat seorang warga memilih pasangan calon tersebut, maka sebagai warga yang partisipatif ia juga bisa mengawal visi-misi tersebut dan mengingatkan akan hal itu.

Para pemilih juga perlu kritis menjadikan setiap isu yang keluar dari Paslon sebagai bahan publik. Bukan hanya debat publik yang difasilitasi KPU, tapi juga menjadikannya perbincangan publik. Agar ruang publik (public sphere) menjadi medan negosiasi kepentingan dengan kekuatan dialektika yang lebih dinamis. Hanya masyarakat sipil (civil society) yang sehat yang dicirikan oleh situasi seperti itu. Dan itulah yang seharusnya terjadi ketika tahapan demokrasi elektoral berjalan—termasuk pada masa kampanye.

Pemilu itu voting (memilih) atau voice (bersuara)

Visi-misi, di satu sisi, adalah pandangan ke depan yang sifatnya masih abstrak dan umum. Beda dengan program. Tapi keduanya bisa dikawal. Memang, seharusnya yang mengawal dan berusaha mewujudkan adalah kekuatan politik yang mengusung, partai politik, tim kampanye dan para pendukung. Pertanyaannya kemudian apakah banyak tim kampanye yang punya motif seidealis itu? Ataukah mereka hanya merasa senang kalau calonnya menang dan setelah itu akan berusaha mencari peluang dari posisi yang ia peroleh setelah dekat dengan pasangan calon yang berkuasa?

Sebenarnya sederhana saja, demokrasi adalah ruang tarik-menarik kepentingan bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya. Kepentingan itu bisa kita bagi menjadi beberapa hal: Kepentingan pribadi (atau golongan) dan kepentingan orang banyak, kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang, kepentingan ideologis atau praktis.

Demokrasi memang tidak langsung menjamin kesejahteraan dan keadilan. Tapi demokrasi bisa menjamin sarana dan mekanisme untuk mewujudkan suatu tujuan dengan distribusi kekuasaan dan posisi-posisi yang bisa diisi.

Tarik-menarik antara kepentingan itulah yang mewarnai dinamika demokrasi. Demokrasi memang tidak langsung menjamin kesejahteraan dan keadilan. Tapi demokrasi bisa menjamin sarana dan mekanisme untuk mewujudkan suatu tujuan dengan distribusi kekuasaan dan posisi-posisi yang bisa diisi. Tiap posisi, baik posisi formal maupun informal, bisa dimanfaatkan oleh siapa saja untuk mencapai tujuan. Bahkan sebenarnya posisinya sangat fleksibel. Jika tidak bisa memajukan dari dalam, bisa melakukannya dari luar. Suara-suara, pernyataan-pernyataan, diskursus politik, bisa disalurkan dari jalur mana saja hingga ia bisa masuk ke diskursus publik.

Baca Juga:
Gedung Kejaksaan Agung Dibakar, Om Jin Kembali Viral
Pilkada 2020 Bukan Sekedar Pesta Demokrasi, Tetapi Harus Partisipatif

Jika sudah tersedia kesempatan dan ruang yang cukup luas dan beragam itu, maka dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Dalam hal ini sikap ‘ngambeg’ dan kecewa saja tidak cukup. Karena ruang partisipasi telah disediakan. Dalam demokrasi elektoral sekalipun, memilih adalah hak, bisa digunakan dan bisa tidak digunakan. Hak  menentukan pilihan soal siapa saja yang akan dipilih, ini punya kadar arti yang berbeda-beda bagi siapa saja.

Ada orang yang sangat tidak ingin haknya diabaikan karena baginya memilih itu adalah pilihan yang akan dimanfaatkan untuk memilih orang yang dianggapnya baik. Di antara pasangan calon yang bertarung, entah dua pasangan atau tiga pasangan atau bahkan empat pasangan pasti tak mungkin semuanya sama. Pasti ada yang lebih baik dan lebih buruk di antara yang sedang disuguhkan.

Bagi sebagian orang lagi, menggunakan hak pilih adalah dukungan terhadap momentum demokrasi ‘pilih-memilih’ (electoral democracy) yang menjadi bagian penting dari proses rekrutmen pemimpin, cara yang sah dan legitimate untuk menghindari cara-cara tidak damai dalam menjalankan sirkulasi  kekuasaan. Betapapun hasilnya dan prosesnya yang mungkin disoroti masih ada kekurangan, Pemilihan pimpinan daerah lewat demokrasi elektoral secara langsung adalah upaya menegakkan kedaulatan rakyat  yang sah.

Di sini, kesetaraan antara warga negara dijamin. Tiap orang sama-sama punya satu suara. Suaranya sama-sama satu, nilainya juga sama-sama satu. ‘One person, one vote, one value’ (OPOVOV)! Saatnya antara pejabat dan rakyat sama-sama dihargai sama-sama satu nilainya. Antara kiai dan santri, antara dosen dan mahasiswa, antara pemuda dan orang dewasa, antara laki-laki dan perempuan, sama-sama satu. Momentum kesetaraan dirayakan.

Umumnya orang menyebut hak pilih dengan tindakan mencoblos. Mencoblos adalah melubangi atau membuat lubang pada kolom pilihan di surat suara. Tapi makna yang lebih tinggi sebebarnya adalah memberikan suata (bahasa Inggrisnya vote—pengembangan kata bendanya voice atau suara).

Partisipasi aktif-kritis, berpilar pada akal sehat.

Alangkah lengkap jika kita sebagai warga negara punya pilihan untuk ditentukan pada hari pemungutan suara, sekaligus masih tetap bisa bersuara menyikapi kebijakan dan persoalan hidup. Partisipasi yang lengkap dan bermartabat. Partisipasi aktif-kritis, berpilar pada akal sehat, punya tendensi membangun kesadaran kolektif—inilah basis utama Demokrasi partisipatoris (participatory democracy).

TRENGGALEK, 25/10/2020

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.