Dating Violence, Sisi Gelap Romantisme Budaya Pacaran

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Jutaan orang tidak menyadari bahwa di Indonesia ada lebih dari 1000 kasus kekerasan pada orang yang sedang menjalani hubungan pacaran. Fenomena ini umumnya disebut dating violence, yakni sisi gelap romantisme budaya pacaran. Wanita ketika jatuh cinta berpikirnya mengggunakan perasaan, sedang pria tetap menggunakan akal. Itulah salah satu alasan mengapa wanita tetap bertahan walapun dalam hubungan pacaran yang penuh luka dan air mata. Lalu apa saja dampak dating violence yang terjadi pada wanita?

KampusDesa.or.idDating violence merupakan istilah yang menggambarkan kekerasan fisik, pemaksaan emosional, makian verbal dari salah satu pasangan yang sedang berkencan atau pacaran. Disadur dari Womenslaw.Org (2007) dating violence terjadi ketika seorang laki-laki atau wanita melakukan kekejaman seperti tamparan, pemukulan, ancaman melalui ucapan atau berupa teks yang bertujuan untuk mengekang kegiatan pasangannya.

Bagi anda yang sedang menjomblo dari lahir hingga sekarang, perilaku dating violance pasti akan terasa asing, bahkan Anda akan mengernyitkan dahi dan berfikir “ gak mungkin orang yang saling sayang bisa berujung aniaya, bukannya pacaran itu saling pengertian ya? “. Baik, simpan saja imajinasi kejombloan Anda dan terus membaca.

RelatedPosts

Kekerasan dalam berpacaran versi Departemen of Health & Human Service USA terangkum dalam empat kategori, yakni kekejaman fisik, cyberdating violence atau stalking, sexual abuse, psychological agression. Kekejaman fisik meliputi tamparan, pukulan dan segala bentuk pemaksaan fisik.

Cyberdating violence atau stalking; contohnya seperti pesan melalui whatsapp, twitter, dan media digital lainnya yang tidak diinginkan, bernada ancaman yang menimbulkan rasa takut dan hilangnya rasa aman. Sexual abuse; yaitu memaksa partner untuk melakukan kegiatan seksual ketika tidak ingin melakukan aktivitas sex. Terakhir adalah ­psychological agression; di mana pasangan mengeluarkan ucapan verbal maupun kode non verbal yang bertujuan untuk mengintimidasi mental atau emosional serta mendominasi pasangan.

WHO menggunakan istilah Intimate Partner Violence untuk menjelaskan fenomena ini, Jenis perilakunya pun kurang lebih sama. Bedanya terdapat kategori lain yaitu controlling behavior, di mana pasangan mengisolasi partner dari keluarga dan temannya, memonitor setiap gerakan bahkan sampai membatasi akses keuangan.

Dating violence ini adalah kasus kekerasan terhadap pasangan yang berpacaran, bukan mereka yang telah menikah.

Perlu ditekankan bahwa dating violence ini adalah kasus kekerasan terhadap pasangan yang berpacaran, bukan mereka yang telah menikah. Meskipun KDRT dan dating violence terlihat mirip namun konteks dan hukumnya berbeda. Pacaran adalah hubungan yang tidak legal dari segi agama maupun hukum tata negara. Sehingga perlindungan hukum bagi mereka yang masih berpacaran sangat lemah.

Laki laki cenderung melakukan kekerasan fisik untuk mengontrol pacarnya, sementara wanita melakukan kekerasan sebagai bentuk self defense untuk melawan atau mengantisipasi intimidasi yang dilakukan oleh pacarnya.

Dalam konteks Physical Dating Violence (PDV), memang wanitalah yang berporsi besar menjadi korban. Dating violence bisa terjadi dua arah. Laki laki kepada Wanita atau Wanita kepada laki laki. Davis dalam artikelnya  Interpersonal and Physical Dating Violence among Teens menemukan perbedaan motif antara laki laki dan Wanita. Laki laki cenderung melakukan kekerasan fisik untuk mengontrol pacarnya, sementara Wanita melakukan kekerasan sebagai bentuk self defense untuk melawan atau mengantisipasi intimidasi yang dilakukan oleh pacarnya. Namun tetap saja pada akhirnya wanita lah yang akan kalah (secara fisik dan psikis) menjadi korban.

Bukankah wajar jika pasangan saling mengontrol, bukankah wajar jika berpacaran terjadi konflik. Bukankah wajar jika pasangan mengoreksi dengan sedikit kekerasan?  Nah persepsi “kewajaran” ini lah yang memicu terjadinya dating violance, karena terjadi pembiaran terhadap indikasi perilaku tersebut.

Bayangkan kalau kita berada dalam sebuah cyrcle pertemanan, misalkan berjumlah 10 orang dan 9 orang dari mereka menganggap bahwa memukul, menampar pasangan adalah hal wajar, bukan kah ini kacau?! Maka hati hati dalam memilih lingkungan teman karena itu akan membentuk persepsi dan norma tentang bagaimana memperlakukan pasangan anda.

Ada beberapa tanda tanda akan terjadinya dating violance. Bagi anda yang sedang menjomblo lebih dari 365 hari, akan sangat sulit untuk menyadari warnings tersebut, maka anggap saja ini informasi untuk kekayaan intelektual anda.

  1. Anda merasa takut, tidak enak untuk mengatakan “tidak” pada pasangan. Akhirnya anda menuruti segala kemauan pasangan.
  2. Pasangan anda terlalu posesif, berlebihan dalam mengirim pesan dan menelpon.
  3. Anda semakin jarang bercengkrama dengan keluarga dan teman teman. Artinya anda sudah terperangkap dalam zona kontrol pacar anda.
  4. Kegiatan anda menjadi terbengkalai, pekerjaan atau tugas sekolah menjadi tidak terpikirkan.
  5. Anda tutup mulut atas kejadian buruk selama pacaran. Enggan dan tidak bisa menjelaskan perlakuan kasar pasangan kepada siapapun.

Bagaimana perilaku kekerasan saat pacaran bisa muncul?

Hasil review psikologi klinis oleh Davis dan Cristine dengan tema Dating Violance in Mid Adolescence: Theory, Significance, and Emerging mengungkapkan ada tiga perspektif teori paling umum menjelaskan fenomen PDV, yaitu Social Learning, attachment dan Feminist.

Persepsi individu tentang hubungan dekat, perilaku sexual dan romantisme akan beriringan sesuai tayangan media sosial yang mereka konsumsi.

Orang yang melakukan kekerasan kepada pasangan dapat dijelaskan melalui teori sosial learning bandura (1977). Individu akan melakukan observasi untuk mendapatkan kemampuan interaksi , singkatkanya perilaku memaksa dan asertive didapatkan melalui pola imitasi berdasarkan pengalaman yang dulu pernah terjadi dalam lingkungannya. Pengetahuan, budaya dan media digital  juga mempengaruhi pemahaman individu terhadap boleh tidaknya  melakukan kekerasan. Akhirnya persepsi individu tentang hubungan dekat, perilaku sexual dan romantisme akan beriringan sesuai tayangan media sosial yang mereka konsumsi.

Attachment merupakan kelekatan antar individu melalui pola pengasuhan seperti orangtua kepada anak. Pola asuh anak yang buruk, kurang perhatian  serta tidak konsisten akan bedampak di masa dewasa, hubungan romantisme anak akan menjadi tidak sehat. Seperti mudah cemburu, emosi yang labil dan cenderung mudah ngambek. Haza dan Shaver (1987) menemukan bahwa anak yang diasuh penuh kebahagiaan dan kepercayaan akan lebih memiliki kesetiaan yang kuat ketika mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih.

Pasif, patuh, berlemah lembut, penyayang dan dituntut untuk meminimalkan expresi kemarahan merupakan ukuran normal sebagai wanita.

Dominasi Wanita yang menjadi korban dating violance  secara tidak langsung menunjukkan bahwa laki laki memiliki kuasa untuk berlaku kasar. Inilah yang ditentang oleh pejuang feminis. Berdasarkan teori feminis, struktur kekuatan lebih banyak dimiliki lelaki sedangkan Wanita adalah objek yang harus tunduk. Lelaki selalu diajarkan untuk bisa berperilaku layaknya pria (aggresive), dominan, kompetitif dan dilarang untuk menunjukkan kelemahan seperti rasa takut dan berlemah gemulai. Sikap seperti itu berbanding terbalik dengan pengajaran yang selalu didengungkan untuk anak Wanita. Pasif, patuh, berlemah lembut, penyayang dan dituntut untuk meminimalkan expresi kemarahan merupakan ukuran normal sebagai wanita.

Pemahaman gender yang tidak fleksibel dan seimbang akan menimbulkan internalisasi pola pikir individu yang keliru terhadap suatu hubungan. Wanita akan meng amini bahwa mereka memiliki tugas sebagai pelengkap kebutuhan laki laki . Sementara laki laki akan merasa memiliki otoritas penuh dan sah walaupun melakukan penindasan terhadap Wanita.

Dilansir oleh WHO Understanding and Addressing violance against women, berikut beberapa pemahaman masyarakat yang membuat kekerasan terhadap wanita selalu ada.

  1. Pria memiliki hak superior terhadap wanita dalam strata sosial.
  2. Pria memiliki hak untuk mendisiplinkan kesalahan wanita melalui pendekatan fisik.
  3. Kekerasan fisik adalah cara yang bisa diterima untuk menyelesaikan konflik dalam suatu hubungan.
  4. Pria memiliki hak (jatah) aktivitas seksual terhadap pacar.
  5. Wanita adalah subjek yang harus bertangung jawab atas syahwat laki laki.

Orangtua menganggap akan menggangu privasi dan terlalu naif berpikir bahwa putra-putri yang beranjak dewasa sudah tahu bagaimana cara mengatasi konflik.

Keluarga saat ini, ayah dan ibu merasa sungkan untuk membicarakan perihal pacaran kepada putra putrinya. Orangtua menganggap akan menggangu privasi dan terlalu naif berpikir bahwa putra-putri yang beranjak dewasa sudah tahu bagaimana cara mengatasi konflik. Hal ini merupakan gaya parenting yang keliru, sebab bagaimanapun Remaja belum bisa secara tegas membedakan bentuk kasih sayang yang benar. Bisa jadi perilaku kasar pasangan dianggap sebagai bentuk kasih sayang walau sebenarnya perilaku itu sudah masuk kategori dating abuse.

Mengapa wanita yang menjadi korban tidak meninggalkan pasangannya?

Wanita adalah wanita, pria adalah pria. Wanita ketika jatuh cinta berpikirnya mengggunakan perasaan, sedang pria tetap menggunakan akal. Itulah salah satu alasan mengapa wanita tetap bertahan walapun dalam hubungan pacaran yang penuh kegaduhan. Sifat mulia wanita adalah kasih sayang, mereka selalu berharap kelak pacar mereka yang kasar dan tak berbudi akan berubah seiring berjalannya hari. Bodohnya, mereka terlalu berharap kepada lelaki yang belum tentu mengucap kata ijab.

Wanita adalah wanita, rapuhnya mereka sehingga jika sampai hubungannya gagal ia akan malu bukan kepalang. Disiksa dihina akan mereka terima asal kata perpisahan menjadi mimpi buruk yang tak akan pernah menjadi kenyataan.

Dear Wanita, dirimu sangatlah berharga, jika di ujung jalan ada pria yang membuat hatimu tertawan, sabarlah, berdoalah, jangan kau beri apapun untuknya sebelum selfie bersama di pelaminan.

Editor: Faatihatul Ghaybiyyah

Referensi:

Antoinette Davis, MPP. (2008). Interpersonal and Physical Dating Violence among Teens. Views from the National Council on Crime and Delinquency.

Barbara, Blachman, & Carrie.(2014).Teen Dating violance How Peers can Affect Risk and Protective Factors. National Institute of Justice.

David & Christine.(1999).Dating Vilance in Mid Adolescence: Theory,Significance, and Emerging Prevention Initiatives. Clinical Psychology Review.

Www.CDC.gov/violenceprevention. (2012). Centers for Disease Control and Prevention, USA.

WHO.(2012). Understanding and Addressing violance against women. WHO Publications.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.