Apakah Olimpiade Tokyo 2020 Paling Ramah Gender ? Simak Fakta Berikut

326
SHARES
2.5k
VIEWS

SOBAT! YUK FLASHBACK SEJENAK KE GELARAN OLIMPIADE OLAHRAGA DUNIA TAHUN 2020. PADA MOMENT ITU TOKYO MENJADI TUAN RUMAH YANG MENYELENGGARAKAN OLIMPIADE DENGAN SANGAT MERIAH. SAKING SPEKTAKULERNYA TERDAPAT KLAIM BAHWA OLIMPIADE TOKYO 2020 DISEBUT SEBAGAI EVENT OLAHRAGA YANG PALING RAMAH GENDER. APAKAH BENAR DEMIKIAN?
Kampusdesa.or.id-Ditengah situasi krisis pandemi yang dihadapi penduduk dunia sejak awal 2020, Olimpiade memberikan warna baru meski sempat tertunda. Dengan tagar #Tokyo2020, komite Olimpiade internasional (The International Olympic Committee­ – IOC) pede maksimal mengklaimnya sebagai ajang olahraga dunia yang paling representatif ramah gender bagi kaum perempuan.

Pada awalnya, Pierre de Coubertin salah satu penggagas Olimpiade yang diselenggarakan pertama kali pada tahun 1896 menilai bahwa partisipasi perempuan bukanlah hal yang lumrah sehingga saat itu hanya perwakilan laki-laki saja yang dikirim untuk bertanding. Kabar baiknya, pada pagelaran selanjutnya yaitu tahun 1900, representasi perempuan dalam lima cabang olahraga resmi telah debut.
Layaknya memperjuangkan hak di berbagai aspek seperti representasi politik, akses pendidikan, dan kebebasan berekspresi serta berpendapat. Perjalanan panjang memperjuangkan Olimpiade yang ramah gender membuahkan hasil berupa kenaikan 49 persen peserta perempuan atau sekitar 11.000 atlet perempuan yang berpartisipasi di Olimpiade Tokyo 2020. Menarik sekali bukan?
Peningkatan representasi hak perempuan juga digambarkan dengan perubahan pada kebijakan pemberitaan media masa dimana saat ini peran pers lebih mengedepankan perspektif ramah gender. Sehingga berita faktual mengenai dunia perempuan dan olahraga semakin terbuka lebar di penjuru dunia.

RelatedPosts

Akan tetapi, sangat disayangkan sekali kabar baik tersebut tidak diiringi dengan hasil senada dalam kepengurusan IOC yang hanya 37,5 persen dari keanggotaannya diduduki oleh perempuan. Selain itu dalam upayanya untuk benar-benar menjadi ajang olahraga yang ramah gender, Olimpiade juga memiliki praharanya sendiri. Deskriminasi masih menjadi momok yang paling akrab bagi perempuan dalam olahraga dan Olimpiade.

Penilaian bahwa perempuan diremehkan untuk bisa bersaing secara global dibandingkan atlet laki-laki sejatinya dilatar belakangi banyak hal. Kurangnya dukungan dalam hal pendanaan promosi dan pelatihan, sampai dengan hadirnya kompetisi olahraga yang eksklusif yaitu tidak memperbolehkan atlet perempuan bertanding. Eklusif disini juga berarti tidak menyediakan cabang khusus bagi atlet perempuan dan tidak ada perlombaan kategori ganda campuran bagi perempuan. Sabar sob, emosinya diredam dulu.
Diskriminasi ini langgeng banget dalam dunia olahraga salah satunya karena stigma maskulin atau feminin yang melekat pada jenis olahraga tertentu. Cabang-cabang olahraga seperti angkat besi, tinju, judo, dan beberapa lainnya dikhususkan hanya untuk atlet laki-laki dengan alasan berhubungan dengan ilmu bela diri dan angkat beban yang membutuhkan kekuatan esktra yang dinilai tidak dimiliki oleh perempuan.

Walau cabang-cabang tersebut sudah bisa diikuti oleh atlet perempuan masa kini, rupanya di beberapa nomor tertentu masih terdapat aturan yang membelenggu. Misalnya pada cabang renang gaya bebas 1.500 meter yang baru menambahkan nomor khusus perempuan dan estafet campuran pada Olimpiade Tokyo 2020.

Satu hal lagi yang perlu sobat tahu, yaitu seksisme!
Diskriminasi ini memiliki teman akrab dalam dunia olahraga, namanya seksisme. Ketika suatu cabang telah berhasil meningkatkan representasi perempuan didalamnya, seksisme ini bandel banget layaknya bayang-bayang buruk yang masih terus menghantui. Seksisme adalah kebencian atau diskriminasi berdasarkan pada jenis kelamin seseorang. Merujuk dari sumber lain, seksisme adalah anggapan bahwa salah satu jenis kelamin lebih superior atau lebih baik daripada jenis kelamin yang lain, dimana dalam hal ini lebih banyak ditujukan pada perempuan.

Lantas apa dampak seksisme?.
Seksisme menyebabkan prestasi dan kerja keras para atlet menjadi kabur dimata masyarakat dan seksisme justru lebih meriah menggantikan sorak kebanggan dan penghargaan.

An San merupakan contohnya, nduk ayu ini adalah atlet panahan asal Korea Selatan yang memperoleh lebih dari satu emas pada Olimpiade Tokyo 2020 di usia yang sangat belia. Namun respon masyarakat atas prestasinya tidak seperti yang diharapkan, ia justru menerima rundungan hanya karena potongan rambutnya yang terlalu pendek. Kuwesel pol pokoknya.

Baca Juga: Aksi Komunitas Lamongan Teduh Menanggulangi Climate Change di Pesisir Pantura Lamongan
Kemudian, seksisme sangat berlebihan juga diterima tim pesenam Jerman karena pakaiannya yaitu menggunakan unitards full-length daripada bikini untuk bertanding. Bagaimana bisa kostumnya dipermasalahkan?.
Masih segar juga di ingatan ketika atlet angkat besi yang mewakili Indonesia di Olimpiade, Kak Nurul Akmal yang menerima body shaming setibanya di Indonesia. Sedihnya sob, masih banyak atlet-atlet diluar sana yang menerima perlakuan serupa dari berbagai pihak bukan hanya masyarakat tetapi juga penyelenggara kompetisi olahraga itu sendiri.

Gak cukup pakaian dan bentuk tubuh, maraknya pemberitaan yang mengadopsi judul seksis dan perspektif bias gender juga memainkan peran tersendiri dalam mendukung diskriminasi. Selain itu, tak jarang atlet perempuan juga menerima bayaran yang lebih rendah termasuk pembiayaan pada proses persiapan menuju kompetisi. Nah sob, rupanya diskirminasi tidak hanya menghantui atlet perempuan, tetapi juga atlet laki-laki. Dari laporan organisasi Women in Sport menyatakan bahwa sebanyak 21 persen responden laki-laki dalam survei mengaku mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Melihat permasalahan-permasalahan ini, ternyata masih banyak PR yang perlu diselesaikan untuk bisa benar-benar mewujudkan Olimpiade yang ramah gender . Sebab dalam mewujudkan kesetaraan, tidak seharusnya satupun yang tertinggal atau mengalami diskriminasi baik perempuan maupun laki-laki. Padahal, dalam hal perolehan medali atau prestasi diluar Olimpiade, atlet-atlet perempuan juga gak kalah top cer.
Contohnya terbukti dari sejarah yang telah dibuat oleh Hidilyn Diaz, perempuan dibalik emas pertama Filipina dalam Olimpiade dari cabang angkat besi nomor 55kg putri. Atau dari Indonesia sendiri yang berhasil membawa pulang 5 medali dengan dua cabang diantaranya yaitu bulu tangkis dan angkat besi dipersembahkan oleh atlet perempuan.

Baca Juga :Peran Gender di Tengah COVID-19, Sudahkah Keduanya Saling Melengkapi?
Belum selesai, masalah lain juga terdapat dalam penerapan kebijakan. Terdapat berheb (berita heboh) yang sempat memicu kontroversi yaitu larangan bagi atlet untuk membawa bayi mereka dengan alasan pembatasan ketat karena pandemi Covid-19 yang kemudian pada Juni 2021 IOC memutuskan agar para atlet yang memiliki bayi diperbolehkan untuk menyusui dan membawa anaknya. Dan lagi, perihal berita mundurnya Presiden Komite Penyelenggara Olimpiade Tokyo pasca komentar tidak pantas terhadap perempuan yang dinilai terlalu banyak bicara. Atau pada Maret 2021, Direktur Kreatif Olimpiade juga mundur dari posisinya pasca komentar negatifnya terhadap salah satu ikon mode Naomi Watanabe.

Prahara-prahara diatas menunjukkan bahwa walau visi dan misi Olimpiade telah dengan kuat mengadopsi paradigma yang lebih mengedepankan perspektif kesetaraan gender, sayang sungguh sayang ternyata masih banyak yang perlu dipersiapkan dan diseragamkan termasuk nilai dan pandangan yang diyakini orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraannya dan sistem yang harus diperbaiki dari waktu ke waktu agar menjadi semakin baik.

Editor: Maulana A.M

Picture of Nur Aisyah Maullidah

Nur Aisyah Maullidah

Berasal dari Lamongan, Aisy merupakan mahasiswi yang menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Minatnya yang besar terhadap isu gender dan keamanan telah membawanya aktif di beberapa organisasi dengan berbagai fokus seperti perempuan, perdamaian, dan keamanan yaitu GA4P Indonesia, Pengembangan Pemuda yaitu DYPLO, Kepemudaan yaitu Diaspora Muda Lamongan, Grup Aktivisme HAM yaitu Amnesty International Indonesia Chapter UIN Jakarta, Hubungan Internasional yaitu FPCI UIN Jakarta, dan Komunitas pemuda berbasis program PBB yaitu UNA Indonesia. Aisy dapat dihubungi melalui email nuraisyahmaullidah@gmail.com.

Arsip Terpilih

Related Posts

No Content Available

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.