20 Relawan Psikososial Gempa Malang Perkuat Psikologi Penyintas

327
SHARES
2.5k
VIEWS

Dua puluh relawan psikososial yang tergabung dalam TOPPENG (Task Force Psikososial Penyintas Gempa Malang) telah melakukan pendampingan psikologi terhadap penyintas Gempa Malang. Ada tiga titik pertolongan dini terhadap penyintas Gempa Malang. Pada tahap awal ini mereka melakukan penilaian kebutuhan secara terlibat. Ada yang berkomunikasi dengan penyintas dewasa, dan ada yang melakukan pendekatan bermain bagi anak-anak untuk merilis emosi mereka sehingga bisa melepas rasa takut dan menguatkan emosi positif sebagai dasar resiliensi (daya pegas) bangkit paska bencana.

KAMPUSDESA.OR.ID–Sejumlah 20 Relawan yang tergabung dalam Task Force Psikososial Penyintas Gempa Malang (TOPPENG) terdiri dari para mahasiswa dan sarjana psikologi dan non-psikologi telah melakukan serangkaian pendampingan edukasi psikososial pada anak-anak di tiga titik posko bencana di wilayah Kecamatan Dampit Kabupaten Malang di hari Minggu, 18 April 2021. Mereka gabungan dari beberapa berguruan tinggi di Malang. Ada dari Fakultas Psikologi (S1 dan S2) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Universitas Merdeka Malang, dan Universitas Negeri Malang. Relawan TOPPENG dimotori oleh Lakpesdam NU Kabupaten Malang dan disupervisi praktik pendampingan edukasi psikososial oleh Kampus Desa Indonesia.

Abdul Malik Karim Amrullah, sebagai ketua Lakpesdam NU Kabupaten Malang menyampaikan, “kepedulian ini merupakan wujud aksi nyata bagi penguatan sumber daya manusia bagi penyintas gempa Malang. Sejumlah bantuan saat ini banyak mengarah ke kebutuhan pokok seperti sembako, uang, dapur umum, kesehatan, material bangunan, pakaian, dan lainnya. Sedangkan kebutuhan penguatan psikologis paska bencana belum tergarap dengan baik. Oleh karena itu, Lakpesdam NU Kab. Malang menjadi terpanggil untuk mencari formula menangani dampak psikologis dan kesiapan penyintas sehingga daya dukung mental mereka akan jauh lebih siap dalam kehidupan selanjutnya.”  Kondisi ini juga diperkuat data dari tim NU Peduli, bahwa kebutuhan saat ini yang mendesak salah satunya adalah pendampingan psikososial.

RelatedPosts

Baca juga: Birokrasi dan Kebijakan Bencana Alam

Oleh karena itu, giat TOPPENG ini digedor melalui broadcasting dan unggahan status whatsapp dan upadate status facebook dari Direktur Kampus Desa Indonesia sebagai kolaborator yang lebih paham dalam penanganan psiko-sosial penyintas bencana. “Dalam dua hari sudah terdata 34 anggota yang tergabung dalam grup whatsapp relawan bencana Malang. Sebagian relawan bertugas sebagai pendamping psikososial penyintas, ada yang menggalang dana, dan berbagai kebutuhan akomodasi kebencanaan. Kami tidak menyangka, jika para ilmuan muda psikologi sangat antusias untuk bergabung,” tegas Mohammad Mahpur, yang juga penulis buku Metode Pengasuhan Anak dan dosen Magister Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Relawan ini menyasar tiga titik terdampak bencana di bawah kordinasi Posko Lapangan NU Peduli di kecamatan Dampit. Tiga titik itu, dua titik ada di Wilayah Pamotan, Dampit, dan satu titik di Sumberayu. Salah satu relawan yang tergabung di TOPPENG, Nurhayati, menyampaikan, “masih ditemukan anak dengan rasa takut akan gempa. Mereka merasa gemetar kalau ada suara atau gerakan yang mirip gempa.” Untuk memindahkan dan menghilangkan secara perlahan, anak-anak ini diperkuat rasa bahagianya melalui bermain, mendongeng, bernyanyi bersama, dan berbagai aktifitas yang meningkatkan energi positif mereka. “Masih sangat perlu untuk melakukan pendampingan edukasi psikososial bagi anak-anak karena masih ditemukan anak-anak yang takut paska bencana agar tidak menjadi pengalaman traumatik di kemudian hari.

Salah satu relawan, Neneng Mukaffa, yang juga mahasiswa pascasarjana psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang juga memberikan beberapa informasi, “ada beberapa warga yang dewasa mereka mulai sadar dengan keadaan mereka, menerima bahwa becana ini harus dihadapi dengan keralaan. Para ibu-ibu terdampak gempa, seperti rumahnya hancur, mulai bersedia berkomunikasi dengan relawan psikososial.”

Baca juga: Bencana Alam: Faktor Pembangunan yang Diabaikan

Sedangkan untuk anak anak, “ada beberapa yang takut akan gempa susulan. Beberapa anak anak yang teridentifikasi memiliki rasa takut, antara lain mereka yang melihat rumahnya rusak karena gempa kemarin karena mereka menyaksikan sendiri ketika keluar rumah ada gempa, semua lingkungan sudah berdebu karena beberapa rumah roboh,” pungkas Widya dengan penuh antusias sebagai relawan.

Ada beberapa anak yang mengatakan “perasaan ketika gempa” dan anak anak yang lain menjawab “tolong tolong, mati aku”

Ekspresi ketakutan bagi anak-anak akhirnya dapat dirilis melalui metode bermain. “Ketika diminta untuk bermain seperti bermain mengungkap emosi yang dimilikinya, ada beberapa anak yang mengatakan “perasaan ketika gempa” dan anak anak yang lain menjawab “tolong tolong, mati aku” banyak yang mengatakan hal itu,” papar lagi relawan Neneng yang bertugas di titik satu.

Neneng kemudian memberikan penjelasan atas manfaat kehadiran relawan bagi anak-anak antara lain, manfaat sesaat yang didapat ketika bermain, anak anak mulai melampiaskan emosi mereka dengan berbagai emosi yang mewakili ketika bermain. Dan mereka perlahan lahan mulai terbuka dengan tim serta menceritakan bagaimana perasaan mereka.”

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.