• Call: +62 858-5656-9150
  • E-mail: [email protected]
Education Blog
  • Home
  • Artikel
    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Trending Tags

    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami
No Result
View All Result
Kampus Desa Indonesia
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Tubuh Sebagai Hak Milik dan Alat Produksi, Dilema Kapitalisme dan Prostitusi

Nurani Soyomukti by Nurani Soyomukti
March 27, 2022
in Uncategorized
197 6
0
Tubuh Sebagai Hak Milik dan Alat Produksi, Dilema Kapitalisme dan Prostitusi
Share on FacebookShare on Twitter

Vanessa Angel menjadi buah bibir. Menempatkan Vanessa Angel dalam konteks kebebasan individu tidak bisa dihakimi karena itu adalah modus pilihan. Tanggungjawab tubuh Vanessa ada di dia sendiri. Apalagi menyangkut proses mendapatkan keuntungan finansial atas tubuh Vanessa. Namun, di satu sisi, tubuh sosial Vanessa mengundang perdebatan antara kepentingan kapitalisme, prostitusi dan kemerdekaan diri. Mengadili Vanessa, berarti menyoal posisi tubuh dia dalam konteks pribadi atau dalam konteks sosial. Tubuh Vanessa apakah tubuh yang terhegemoni atau tubuh merdeka. Ini soal siapa yang membangun sudut pandang.

Kampus Desa– “Vanessa Angel Berhak Jual Diri!”—demikian sebuah judul opini di Qureta (7 Januari 2019), ditulis oleh Maman Suratman. Opini ini tampaknya mengarah pada upaya menyetujui tindakan artis (atau siapapun) untuk menjadi pelacur atau untuk jual tubuh. Tindakan polisi menguak kasus pelacuran artis ini dianggap penulis sebagai tindakan yang kolot dan melanggar hak orang lain. Penulis mengutip pemikiran John Locke tentang hak: hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas kepemilikan.

“Tubuh Vanessa adalah milik Vanessa. Orang lain, termasuk yang melahirkan, tak berhak mengarahkan atau mengendalikan,” Maman Suratman.

Maman menulis, “jika kita mau konsisten pada substansi hak asasi, maka negara wajib menjamin kebebasan Vanessa menjual diri. Negara harus tampil ke depan dan berkata, “tiada hak bagi siapa pun untuk mengatur tubuh orang lain kecuali sang pemilik hakiki. Tubuh Vanessa adalah milik Vanessa. Orang lain, termasuk yang melahirkan, tak berhak mengarahkan atau mengendalikan.”

Bagi saya, menarik untuk mendiskusikan persoalan hak dan kebebasan ini secara lebih jauh. Kebebasan sendiri ada dua, yaitu “bebas dari” dan “bebas untuk.” Sedangkan hak adalah sesuatu yang melekat pada diri orang, yang bisa digunakan maupun tidak digunakan. Anda punya hak terhadap tubuh anda. Anda bisa membebaskan tubuh anda dari penganiayaan dan serangan yang merugikan. Andapun bebas menggunakan tubuh anda untuk melakukan sesuatu, memberinya kenikmatan, dan menukarkannya dengan uang.

Dalam kasus seks, misalnya, menggunakan tubuh untuk merugikan orang lain, tidak boleh. Misal anda ingin mencari kenikmatan dengan menggunakan tubuh anda dengan cara memperkosa, itu dilarang.

Tapi kalau kita lihat, namanya hak ini akan dibatasi dengan hak orang lain. Anda punya tubuh dan punya hak untuk membebaskan tubuh anda dari keadaan disakiti dan dihancurkan orang lain. Tapi hak untuk menggunakan tubuh anda (“bebas untuk”), tentunya tidak sebebas dibanding hak untuk menggunakan tubuh anda. Dalam kasus seks, misalnya, menggunakan tubuh untuk merugikan orang lain, tidak boleh. Misal anda ingin mencari kenikmatan dengan menggunakan tubuh anda dengan cara memperkosa, itu dilarang.

Kodrat manusia sebagai makhluk sosial juga harus dielaborasi lebih jauh. Sayangnya, Maman Sutarman dalam opininya itu hanya bicara sedikit sekali tentang posisi tubuh dalam relasinya dengan tubuh-tubuh lain atau interaksi sosial. Maman hanya menulis, “manusia memang gemar berinteraksi secara sosial. Hanya jangan lupa bahwa manusia pun adalah individu yang unik: meski sangat interaktif, tetapi masing-masing tetap berpikir dan bertindak secara individual…. Berpikir dan bertindak secara individual, maka setiap manusia menjadi pemilik mutlak atas diri pribadinya masing-masing…. Ditarik ke ranah kasus Vanessa Angel, tampak jelas bahwa apa pun yang dilakukannya, selama itu atas miliknya sendiri (tubuh = kepemilikan diri), tidak ada yang salah. Jangankan jual diri, bunuh diri sekalipun, asalkan terhadap diri sendiri bukan diri orang lain, adalah sah.”

Saya kira elaborasi tentang posisi tubuh individu dalam ranah sosial dari Maman ini perlu diperdalam agar kita bisa memahami fenomena pelacuran ini secara lebih dalam dan dialektis. Elaborasi Maman yang terlampau singkat akan membuat pembaca yang terbiasa kurang berpikir kritis akan mengarah pada pemahaman bahwa pelacuran (prostitusi) itu baik dan wajar karena hanya dilihat semata sebagai hak individu atau hak atas tubuh individu.

Padahal jelas-jelas, pelacuran bukanlah gejala individu. Ia ada karena ada relasi antar-individu. Dan seks sendiri selalu punya aspek sosialnya. Sedangkan pelacuran sendiri sejauh ini adalah suatu hubungan yang terjadi sebagai bentuk relasi yang tidak humanis.

Padahal jelas-jelas, pelacuran bukanlah gejala individu. Ia ada karena ada relasi antar-individu. Dan seks sendiri selalu punya aspek sosialnya. Sedangkan pelacuran sendiri sejauh ini adalah suatu hubungan yang terjadi sebagai bentuk relasi yang tidak humanis. Pelacuran artis hanyalah satu fenomena saja. Bagaimana dengan pelacuran yang mengarah pada perdagangan manusia yang diiringi dengan penculikan dan penipuan? Para pembela pelacuran seringkali menolak argumen bias gender dengan menunjukkan adanya pelayan seks laki-laki (Gigolo). Tapi seberapa banyakkah hal itu dalam kehidupan ini? Serta bagaimana aspek gender di dalamnya, samakah dengan prostitusi perempuan?

Ternyata masalah ini jelas tak bisa didekati hanya dari pemikiran tentang hak individu saja. Karena masalahnya terlalu rumit. Yang harus kita bela adalah korbannya. Dan tak cukup dari situ, yang kita lihat pula adalah kondisi relasi sosial yang ada, sebab di sanalah sebuah interaksi terjadi—dan tak mungkin pendekatan filsafat hak alam Maman Sutarman cukup dalam menilai masalah pelacuran.

Ada yang menyetujui prostitusi dengan alasan salah satunya hal itu sudah ada sejak beratus ratus abad. Pihak yang setuju ini ketika saya tanya apakah rela jika saudara perempuan, ibu, atau anak perempuannya jadi pelacur, tentunya gak setuju.

Pihak pendukung hak alamiah yang menyetujui prostitusi juga akan sering menuduh pada pihak yang menolak pelacuran sebagai “moralis.” Secara pribadi, saya sendiri tak ada masalah disebut moralis jika moral itu adalah hasil (produk), bukan sebab. Ketika kita menganalisa sesuatu lalu kita menghasilkan suatu kesimpulan dan menyikapi sesuatu, itu pastilah moral. Orang yang menyetujui pelacuran sendiri pasti juga pakai ukuran moral. Misalnya adalah menganggap pelacuran itu adalah tindakan bermoral, biasa, dan wajar.

Tapi moral mereka terbelah ketika kembali juga pada individu mereka, bahkan hak individunya. Yaitu tadi, ketika ditanya, apakah mau ibumu, adik perempuanmu, keponakan perempuanmu, atau perempuan dekatmu menjadi pelacur, mereka juga bersikap baik jujur atau hanya dipendam dalam hati: Tidak mau! Faktanya, semua orang adalah moralist—dalam artian selalu mengukur sesuatu pakai moral juga.

Setelah orang melakukan analisa ilmiah, dialektis, adil, objektif terhadap suatu benda, fakta, atau fenomena, iapun pasti menyimpulkan sesuatu dan menyikapi sesuatu. Moral pastilah muncul kemudian. “Apa yang seharusnya” dan “apa yang senyatanya” adalah dua hal yang selalu muncul dalam suatu ikhwal ilmu pengetahuan.

Hubungan seks yang selama ini saya tolak ada dua: satu Ngeseks karena beli. Dan ngeseks karena memperkosa.

Makanya, saya secara pribadi juga punya sikap: memilih setuju pelacuran tidak ada. Tentu ini argumen ideologis, bukan teknis. Hubungan seks yang selama ini saya tolak ada dua: satu Ngeseks karena beli. Dan ngeseks karena memperkosa.

Saya setuju seks dengan komitmen dan sadar, tanpa paksaan. Tanpa kompensasi…! Lalu saya ditanya: “Kamu setuju seks bebas?”

Yang jelas saya menolak seks yang tidak bebas. Seks yang dengan paksaan. Terpaksa ngeseks dengan orang karena menukarkan diri dengan uang. Atau karena paksaan fisik, khususnya pemerkosaan. Termasuk perkosaan dalam pernikahan. Dan saya sepakat, istri bukan budak suami.

Cinta itu butuh perjuangan, karena ia adalah hal yang indah justru karena perjuangan. Apa indahnya bercinta hanya karena mudah beli pelacur karena punya uang. Dan apa indahnya hidup kalau hanya untuk beli tas Hermes saja sampai rela menjual cinta? Karena saya masih memuja konsep Cinta, saya menolak pelacuran!

Kata Alexandra Kollontai: “Cinta dalah suatu emosi sosial yang mendalam. Cinta bukan saja merupakan suatu relasi ‘privat’ yang hanya terkait dua orang yang saling mencintai: cinta memiliki suatu elemen penyatu yang berharga bagi kolektif.”

“Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini. Tak ada cinta muncul mendadak, karena dia anak kebudayaan, bukan batu dari langit”, kata Pram.  Kata Alexandra Kollontai: “Cinta dalah suatu emosi sosial yang mendalam. Cinta bukan saja merupakan suatu relasi ‘privat’ yang hanya terkait dua orang yang saling mencintai: cinta memiliki suatu elemen penyatu yang berharga bagi kolektif.”

Dan saya mengidealkan cinta ini sebagai prasarat hubungan mendalam, termasuk yang melibatkan seks. Dan yang lebih penting, penolakan saya terhadap prostitusi tidak berdiri sendiri karena prostitusi memang bukanlah masalah yang terpisah dari masalah lainnya yang dialami perempuan dan masyarakat.

Satu-satunya cara mengakhiri prostitusi, menurut Kollontai, adalah berjuang melawan syarat-syarat yang memaksa perempuan menjadikan prostitusi sebagai suatu jalan yang diperlukan untuk bertahan hidup. Inilah yang menegaskan bahwa fenomena prostitusi tak terpisah dari masalah masyarakat yang telah merupakan efek dari kapitalisme dan penghisapannya

Pembimbing saya dalam memahami masalah prostitusi ini adalah Alexandra Kollontai, seorang perempuan revolusioner dalam sejarah Rusia. Satu-satunya cara mengakhiri prostitusi, menurut Kollontai, adalah berjuang melawan syarat-syarat yang memaksa perempuan menjadikan prostitusi sebagai suatu jalan yang diperlukan untuk bertahan hidup. Inilah yang menegaskan bahwa fenomena prostitusi tak terpisah dari masalah masyarakat yang telah merupakan efek dari kapitalisme dan penghisapannya. Ada masalah ekonomi yang dialami dalam keluarga. Ada laki-laki borjuis yang punya harta dan uang berlebih, ada perempuan yang serba kekurangan. Ada jomblo yang sulit nikah dan hanya mampu membayar pelacur murahan. Ada masalah perumahan dan akses terhadap rumah. Ada keluarga yang retak dan bermasalah secara mendasar baik fondasinya maupun bangunan atasnya. Ada pendidikan yang salah. Ada propaganda seksis kapitalis. Ada patriarki. Komodifikasi kesenangan dan gairah demi profit merupakan aspek tak terhindarkan dari kehidupan dan seksualitas, dan lain-lainnya sebagai situasi masyarakat kapitalistik.

Kollontai meyakini potensi pembebasan dari relasi yang tak dikomodifikasi dan oleh karena itu hubungan non-posesif diantara individu-individu bebas tak terikat oleh ketergantungan ekonomi. Ia meyakini nilai sosial yang ia sebut dengan “solidaritas–cinta” berdasarkan perkawanan dan kesetaraan serta berpendapat bahwa semua ini akan “menjadi tuas” yang menggantikan “kompetisi dan cinta-diri sendiri dalam masyarakat borjuis.”

Tags: artiscintagairah seksJual diriKapitalismepesta seksProstitusiseksseksualitasVanessa Angel
Previous Post

Gelombang Inspirasi, Menumbuhkan Perubahan Pelaku Pendidikan

Next Post

Mari Mengadili Persepsi Kita dalam Kasus Vanessa Angel

Nurani Soyomukti

Nurani Soyomukti

RelatedPosts

Kuliah Pakar, Kajian al-Qur’an dan Neurosains
Kuliah Terbuka

Kuliah Pakar, Kajian al-Qur’an dan Neurosains

by Kampus Desa Indonesia
September 22, 2022
0
224

Kampusdesa.or.id – Senin (1/8) telah hadir dilaksanakan Kuliah Pakar: Kajian Al-Qur’an dan Neurosains. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Universitas Al-Azhar Indonesia...

Read more
Perdamaian pun Bisa Dimulai dari Perempuan Muda
Uncategorized

Perdamaian pun Bisa Dimulai dari Perempuan Muda

by Nur Aisyah Maullidah
March 25, 2022
0
308

Apa jadinya jikalau perempuan angkat tangan dan kaki menjadi agen perdamaian untuk mencegah lahirnya generasi teroris dan radikal? Ya, tentu...

Read more
ISTRI  “NGLUNJAK” KARENA SUDAH MANDIRI FINANSIAL?
Opini

ISTRI “NGLUNJAK” KARENA SUDAH MANDIRI FINANSIAL?

by Nurani Soyomukti
March 25, 2022
0
205

Jika seorang perempuan sudah mandiri—punya pekerjaan dan penghasilan—dan dalam hak pemenuhan ekonomi tak tergantung pada laki-laki, bagaimanakah ketika ia menikah?...

Read more

Discussion about this post

Archive Artikel

Most commented

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Waspadai Kandungan Boraks atau Garam Kuning

Balewiyata dan Gus Dur; Situs Toleransi Malang yang Perlu Dirawat

Rembug Komunitas; Gusdurian Malang Tawarkan Peluang Menjadi Aktifis Penggerak

Metode Pemberdayaan Imamah; Mengubah dari Sense of Budgeting ke Sense of Benefit

Era Berperilaku Baik dalam Dunia Pendidikan

Kampus Desa Indonesia

Kampus Desa Indonesia

Jl. Raya Candi VI-C Gang Pukesmas No. 4 RT 09 RW 06 Karangbesuki, Sukun, Kota Malang

SK Menkumham No. AHU-01356.AH.02.01 Tahun 2016

Tags

Agenda (36) Aktual (7) Desa Giat (2) Desa Unggul (3) Dokter Rakyat (45) Gubuk Sastra (10) Hari ini (3) Indonesia Menulis COVID 19 (82) Kearifan Lokal (8) Kelas Ekoprinting (3) Kelas Motivasi (1) Kita Belajar Menulis (66) Kopipedia (5) Kuliah Desa (10) kuliah hari ini (2) Kuliah Terbuka (133) Layanan (9) Lifestyle (1) Magang (1) Ngaji Tani (18) Opini (317) Pendidikan Hari Ini (73) Produk (27) Psikologi Hari Ini (126) Refleksi (27) Sepak Bola (6) Uncategorized (146) Wacana (1) World (1)

Recent News

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

March 8, 2023
Sumber photo: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/aparat-polsek-citeureup-mengamankan-bakso-daging-babi-_150201220228-436.jpg

Waspadai Kandungan Boraks atau Garam Kuning

February 15, 2023

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In