Sudahkah Kita Merdeka Membicarakan Menstruasi?

327
SHARES
2.5k
VIEWS

Kampusdesa.or.id–Apa yang anda pikirkan ketika menyaksikan iklan pembalut di televisi? Menstruasi diasosiasikan sebagai “cairan deras”, “lagi dapet”, “period”, “haid”. Dalam iklan tersebut menstruasi diasosiasikan sebagai hal yang menakutkan, menganggu tidur (karena harus bolak balik mengganti pembalut agar tidak bocor), serta timbulnya darah menstruasi pada pakaian dalam merupakan hal yang dapat “merusak mood”. Sadarkah bahwa iklan-iklan seperti ini dapat menggiring asosiasi negatif terhadap menstruasi, sehingga menstruasi dipandang sebagai bencana (Baidhowi, 2018) dan suatu hal yang memalukan. Bagaimana tanggapan anda terhadap membicarakan menstruasi di hadapan umum? Tabu? Tidak pantas? Tidak elok?. Karena hal itulah, kita sebagai perempuan merasa enggan untuk membicarakan menstruasi di depan khalayak umum.

Seringkali, pengajar menerapkan bias pada pengajaran tentang reproduksi, padahal dalam konteks ilmu pengetahuan, sangat lumrah untuk mempelajari struktur tubuh dan segala proses yang berlangsung dalam tubuh manusia

RelatedPosts

Mengapa Wanita tidak memiliki kemerdekaan untuk membicarakan menstruasi dalam komunitas luas? Pengajaran tentang reproduksi yang diajarkan pada tingkat dasar dan menengah tidak cukup untuk memuaskan rasa penasaran siswa perempuan tentang hal alamiah yang terjadi pada tubuhnya setiap bulan. Seringkali, pengajar menerapkan bias pada pengajaran tentang reproduksi, padahal dalam konteks ilmu pengetahuan, sangat lumrah untuk mempelajari struktur tubuh dan segala proses yang berlangsung dalam tubuh manusia.

Mengapa kita bisa dengan tenang mempelajari sistem kerja jantung, sistem pencernaan, sistem pembuangan kotoran dalam tubuh, tetapi ketika kita diajarkan tentang menstruasi dan sistem reproduksi, mengapa harus ada kecanggungan dalam membahasnya? Seakan membahas tentang system reproduksi merupakan hal yang tidak etis jika diperbincangkan di lingkungan akademik.

Mengapa kita harus diatur ini itu oleh masyarakat, sedangkan kaum laki-laki lebih bebas untuk melakukan sesuatu tanpa harus diatur oleh “kodrat laki-laki”?

Seringkali, kita terjebak dalam hal etis yang dibebankan masyarakat kepada kaum kita, kaum perempuan. Mulai dari tidak bebas menggunakan baju yang diinginkanya, bagaimana harus berbicara dan bersikap, bagaimana kita harus tunduk pada sesuatu yang mernama “kodrat” yang ternyata dalam prakteknya diciptakan oleh masyarakat patriarkis untuk mengatur bagaimana standarnya seorang perempuan bertindak. Saya tahu, mungkin banyak yang tidak bersepakat dengan saya tentang hal ini, dengan dalih begitulah cara masyarakat dan agama menjaga perempuan. Akan tetapi, mengapa kita harus diatur ini itu oleh masyarakat, sedangkan kaum laki-laki lebih bebas untuk melakukan sesuatu tanpa harus diatur oleh “kodrat laki-laki”?

Membicarakan Menstruasi, Mengapa Tidak?

Membicarakan tentang menstruasi, seharusnya dapat dilakukan dalam forum manapun, situasi apapun. Tidak perlu malu untuk membicarakanya. Seperti bagaimana para laki-laki membicarakan mimpi basah pada saat mereka sedang berkumpul bersama. Bagaimana dengan perempuan sendiri? Well, membicarakan menstruasi pada sesama jenis saja kadang dianggap sebagai pembicaraan yang kurang sopan, tidak bermoral, dan tidak berakhlak. Bahkan menyebutkan kata “menstruasi” dan “vagina” pun seringkali dianggap sebagai hal yang vulgar sehingga kita sering memperhalusnya dengan sebutan “mens,” “haid,” “datang bulan,” “tamu bulanan,” dan lain sebagainya. Vagina juga sering disebut  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah [n] faraj, farji, kelentit, kemaluan, memek, nonok, pepek, pukas, puki ([cak]), tempik. Kemaluan, seakan-akan kita harus malu untuk mengucapkanya.

Coba kita telaah, apakah membahasakan menstruasi sebagai menstruasi, bukan dengan kata padanan yang diperhalus itu menjijikkan? Apakah perempuan yang menyebutkan menstruasi langsung boleh dicap dengan perempuan binal? Mengapa kita harus memperhalus kata “vagina”, menjadi kemaluan, seakan-akan hal itu adalah hal yang memalukan ketika diucapkan di depan umum?

Simone de Beauvoir, menyatakan dalam bukunya yang terkenal, The Second Sex bahwa seorang pria didefinisikan sebagai seorang manusia, dan perempuan diasosiasikan sebagai perempuan, kapanpun perempuan bertindak sebagaimana manusia, maka perempua  akan dicap bahwa ia bertindak sebagai laki-laki. Hal ini berlaku pula ketika perempuan ingin membicarakan menstruasi sebagai proses yang dia lalui setiap bulannya, pengalaman di waktu vagina yang dimilikinya berdarah. Perempuan langsung dicap sebagai seorang yang binal, dan bahkan dianggap jalang.

Mengapa perempuan takut untuk membicarakan masalah menstruasi di depan umum, karena mereka takut distigmatisasi sebagai seseorang yang tidak bisa menjaga hal pribadinya.

Dalam penelitian tentang menstruasi sebagai stigma sosial yang diberi judul “The Menstrual Mark: Menstruation as Social Stigma” didapatkan bahwa menstruasi sendiri merupakan sebuah stigma yang tersembunyi, dibandingkan terlihat. Tidak dapat diketahui bahwa perempuan sedang menstruasi atau tidak, kecuali jika perempuan tersebut menyatakan bahwa ia telah menstruasi (Johnston-Robledo & Chrisler, 2013). Jika dilihat dari temuan ini dan sifat stigma sendiri sebagai sesuatu hal negatif yang dilekatkan kepada perempuan, maka dapat kita lihat bahwa mengapa perempuan takut untuk membicarakan masalah menstruasi di depan umum, karena mereka takut distigmatisasi sebagai seseorang yang tidak bisa menjaga hal pribadinya. Dalam hal ini, hal pribadi tersebut adalah menstruasi.

Dalam penelitian tersebut juga dibahas bagaimana produk-produk higenitas menstruasi seperti pembalut, tampon, dirancang untuk menyerap cairan dan bau yang ditimbulkan oleh menstruasi, yang membuatnya tidak terlihat dari luar (dikutip dari Kissling (dalam Johnston-Robledo & Chrisler, 2013). Nampaknya, hal tersebut memperparah stigma terhadap menstruasi, bukan? Apalagi jika kita lihat fenomena bagaimana laki-laki kerap kali merasa enggan Ketika diminta untuk membelikan produk-produk higenitas menstruasi, seperti pembalut. Dan kita juga menemui beberapa Wanita yang malu untuk membeli produk menstruasi di tempat umum.

Lalu, apa solusi yang bisa dilakukan untuk mendorong terjadinya diskursus dan diskusi masalah menstruasi, tanpa menimbulkan rasa malu? Pertama, perlunya institusi pendidikan dan orang tua memberikan pengajaran tentang menstruasi secara terbuka, tanpa memperhalus sebutan tentang menstruasi itu sendiri. Biarkan anak menjelajahi tubuhnya secara mendalam, merasakan bahwa dia memiliki vagina yang merupakan bagian dari tubuhnya, dan salah satu organ yang berfungsi penting dalam kehidupanya.

Kedua, perlunya pembiasaan untuk mengganti kata “datang bulan”, dalam iklan media yang menayangkan tentang alat higenitas yang digunakan saat menstruasi, yaitu pembalut.

Ketiga, kita bisa mengampanyekan gerakan sadar tentang edukasi seksual, termasuk didalamnya mengenai menstruasi dan perubahan perubahan yang muncul Ketika seorang anak beranjak remaja. Kita juga perlu membumikan diskusi tentang menstruasi, dan penyebutan kata menstruasi sebagai hal yang lazim digunakan sebagai nama bagi siklus bulanan yang dialami setiap Wanita.

Bahan bacaan

Baidhowi, P. N. (2018). Konstruksi Wacana dan Komodifikasi Menstruasi dalam Iklan Pembalut di Indonesia. 071411531061, 1–12.

Johnston-Robledo, I., & Chrisler, J. C. (2013). The Menstrual Mark: Menstruation as Social Stigma. Sex Roles, 68(1–2), 9–18. https://doi.org/10.1007/s11199-011-0052-z

Arsip Terpilih

Related Posts

No Content Available

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.