Sholat Tarawih dalam Analogi Kepemimpinan

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Belajar kepemimpinan bisa dilakukan dari mana saja. Belajar dari memaknai peristiwa keseharian pun bisa. Asalkan kita bisa mengambil hikmah dan membuat refleksi, maka aneka pelajaran kepemimpinan dapat kita dulang dengan kekayaan khazanah. Begitu pun di bulan puasa ini. 29 tarawih yang dilakukan berjamaah, mampu memberikan hikmah reflektif ikhwal kepemimpinan.

kampusdesa.or.id — Seperti tahun-tahun sebelumnya, beberapa hari sebelum bulan Ramadhan, saya mendapatkan permohonan dari masjid dan musholla di dekat rumah, baik berupa surat maupun ucapan lisan untuk menjadi imam sholat tarawih. Dengan senang hati saya menerimanya, karena hal tersebut saya niatkan sebagai sebuah kesempatan untuk dapat bermanfaat untuk jama’ah dan sebagai upaya saya belajar dalam kepemimpinan.

RelatedPosts

Kenapa kok belajar tentang kepemimpinan? Ya.., menurut saya, menjadi imam sholat tarawih bisa dianalogikan dengan seni kepemimpinan dalam sebuah organisasi tertentu. Adapun pengalaman saya ketika menjadi imam maupun makmum sholat tarawih, saya menemukan beberapa hal yang sekaligus akan saya jelaskan satu per satu dengan analogi seni kepemimpinan, yaitu sebagai berikut;

  1. Imam sholat tarawih adalah hendaknya adalah orang yang paling fasih bacaannya.

Ketika saya menjadi makmum sholat tarawih dan mendengarkan bacaan fasih dari seorang imam dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an, saya merasa sangat terkesan dan larut. Saya pun berkeinginan meniru fasihnya bacaan imam tersebut, pada saat saya melaksanakan jadwal yang sudah tertulis menjadi imam sholat tarawih.

Sebaliknya ketika suatu waktu, saya menjadi makmum sholat tarawih dan dipimpin oleh imam dengan bacaan ayat al-Qur’an yang kurang fasih, sikap saya yang pertama adalah saya berusaha memahami dan memaklumi hal tersebut. Masih untung orang tersebut mau menjadi imam sholat tarawih, banyak orang lain yang takut kalau menjadi imam sholat tarawih. Namun di sisi lain, saya belajar dari kesalahan imam itu, agar ketika jadwal saya menjadi imam sholat, bacaan ayat al-Qur’an yang saya baca bisa fasih dan tidak salah.

Kejadian di atas, dalam analogi kepemimpinan dapat dijelaskan bahwa, seorang yang dipilih untuk menjadi pemimpin hendaknya adalah orang punya kapasitas dan kemampuan untuk mempimpin, agar bisa memimpin dengan baik dan benar. Namun ketika ada seorang pemimpin yang memiliki kekurangan, tidak boleh serta merta kita notabene sebagai anak buah tidak mematuhinya, karena bagaimanapun dia adalah pemimpin. Baiknya hal itu kita jadikan sarana belajar dari kekurangan atau kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin tersebut, agar suatu ketika kita menjadi pemimpin, jangan sampai melakukan kesalahan yang sama.

  1. Menjadi imam sholat tarawih itu berat

Paling cepat biasanya membutuhkan waktu 30 menit untuk melakukan sholat tarawih dan witir berjama’ah. Dalam kaitannya dengan hal ini, tentu menjadi imam membutuhkan tenaga yang lebih ekstra, karena harus dengan suara keras membaca surat-surat atau ayat-ayat al-Qur’an. Selain secara jasmani akan timbul rasa haus, secara rohani seorang imam harus bertanggungjawab atas bacaan ayat al-Qur’an dan bacaan sholat yang dibaca oleh dirinya sendiri maupun yang dibaca oleh makmumnya. Maka dari itu, sang imam sholat harus pandai-pandai membagi waktu dalam sholat untuk memberi kesempatan makmumnya membaca surat al fatihah dan bacaan-bacaan sholat lainnya.

Hal ini dalam analogi kepemimpinan, saya artikan bahwa menjadi seorang pemimpin itu bukanlah tugas yang mudah dan enak. Pemimpin mempunyai tanggungjawab jasmani dan ruhani, juga tanggungjawab lahir dan batin dirinya sendiri sebagai seorang pemimpin maupun orang-orang yang dipimpinnya. Memimpin mempunyai resiko yang sangat berat, karena itu mesti kuat dalam menghadapi berbagai resiko memimpin dengan kepala dingin dan hati yang bersih, seraya selalu memohon petunjuk dari Allah Swt, agar selalu diberikan petunjuk sehingga dapat membuat keputusan yang benar, tepat dan selamat.

Selain itu juga, pemimpin harus memikirkan tentang bagaimana para orang-orang yang dipimpinnya bisa sejahtera dan bahagia. Pemimpin tidak boleh berbahagia di atas penderitaan anak buahnya, justru pemimpin harus berupaya mencari alternatif solusi dan memberi kesempatan anggotanya untuk maju dan berkembang.

Pemimpin juga perlu melakukan pengkaderan, sebagai bagian upaya regenerasi kepemimpinan. Ada adagium yang mengatakan, “pemimpin yang berhasil, adalah pemimpin yang bisa memberi jalan yang lapang bagi pemimpin selanjutnya. Pemimpin yang hebat, adalah pemimpin yang bisa mencetak kader pemimpin penggantinya yang bisa lebih hebat dari dirinya ketika memimpin.”

  1. Beraneka macam karakteristik jama’ah sholat tarawih

Pasti diantara kita sudah sangat paham, bahwasanya dalam sholat tarawih berjama’ah, ada bermacam-macam keinginan makmum. Ada yang ingin lambat atau pelan-pelan saja. Dengan alasan bahwa, selain agar khusu’ dan tuma’ninah dalam sholat tarawih, juga karena kondisi badan yang mudah capek kalau sholat tarawih dilakukan dengan cepat dikarenakan sudah tua atau sakit.

Ada pula makmum yang ingin sholat tarawih dilakukan dengan cepat-cepat. Agar segera selesai dan bisa beraktifitas yang lain, entah itu aktifitas; tadarus, makan, menonton televisi, ngobrol, santai-santai atau pun istirahat. Kelompok makmum dengan sifat seperti ini, akan merasa malas sholat tarawih jikalau imam sholat tarawih dalam memimpin sholat terlalu lama. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, ada beberapa makmum yang tidak sabar memilih untuk pergi meninggalkan masjid atau musholla, untuk melanjutkan sholat tarawih sendiri meninggalkan sang imam.

Dalam menyikapi karakteristik makmum seperti ini, seorang imam hendaknya bisa memahami dan bisa memenuhi keinginan makmum, tanpa melakukan pelanggaran atau kesalahan aturan menjadi imam sholat, serta tetap ada nilai komitmen dan tanggungjawab diri seorang imam untuk memenuhi syarat dan rukun shalat.

Pemimpin hendaknya bisa mengakomodir keinginan dan harapan anak buahnya tanpa harus kehilangan idealisme kepemimpinan.

Dari dua karakteristik jama’ah sholat tarawih yang saya sebutkan di atas, bisa dianalogikan dalam praktik kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Bahwasanya, seorang pemimpin harus paham tentang sifat-sifat dan karakteristik orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin hendaknya bisa mengakomodir keinginan dan harapan anak buahnya tanpa harus kehilangan idealisme kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak boleh semaunya sendiri, jika tidak ingin dibenci bahkan ditinggalkan oleh orang-orang yang dipimpinnya.

Pemimpin hendaknya jangan memihak pada salah satu kubu, ketika ada dua kubu pada anak buahnya yang berbeda pendapat atau berkonflik, ia mesti berada di tengah sebagai mediator.

Pemimpin hendaknya jangan memihak pada salah satu kubu, ketika ada dua kubu pada anak buahnya yang berbeda pendapat atau berkonflik, ia mesti berada di tengah sebagai mediator. Pemimpin berupaya mencari win-win solution, terhadap permasalahan yang terjadi. Jangan sampai ada yang merasa dirugikan dan direndahkan, sehingga tercipta formulasi yang saling menguntungkan kedua belah pihak yang berkonflik. Disinilah pentingnya seorang pemimpin memahami ilmu manajemen konflik.

Itulah beberapa hal yang bisa saya analogikan tentang kepemimpinan dari pengalaman menjadi imam maupun makmum sholat tarawih. Tentunya masih banyak hal-hal lain yang mungkin bissa dianalogikan untuk kepemimpinan, baik dari menjadi imam atau makmum shalat tarawih, maupun dengan kegiatan dan aktifitas lainnya. Semoga tulisan saya ini dapat diambil hikmahnya, umumnya bagi para pembaca, dan khususnya bagi diri saya sendiri. Insyaallah.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.