• Call: +62 858-5656-9150
  • E-mail: [email protected]
Education Blog
  • Home
  • Artikel
    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Trending Tags

    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami
No Result
View All Result
Kampus Desa Indonesia
No Result
View All Result
Home Indonesia Menulis COVID 19

Sepakat Mewajarkan Penyimpangan: Refleksi Pendidikan Nilai

Sigit Priatmoko by Sigit Priatmoko
March 27, 2022
in Indonesia Menulis COVID 19, Kita Belajar Menulis, Kuliah Terbuka
195 12
0
Sepakat Mewajarkan Penyimpangan: Refleksi Pendidikan Nilai
Share on FacebookShare on Twitter

Anak-anak, bahkan mahasiswa yang sedang menempuh pendidkan untuk menjadikan dia bermartabat, akhirnya berjuang hanya untuk mendapatkan nilai. Untuk itu, mereka akan mengejar nilai, bahkan dengan cara hedonis. Apa yang salah dalam pendidikan kita ?

SIANG ini (11/4), saya kembali berdecak heran, miris, sedih, sekaligus bercampur tergelitik dengan kelas yang saya ajar. Kelas ini beranggotakan 34 mahasiswa. Keheranan, kemirisan, kesedihan, dan ketergelitikan saya disebabkan oleh respon yang mereka berikan atas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan.

Saya mengajukan beberapa pertanyaan dan meminta mereka menjawab dengan sejujur-jujurnya, tanpa berusaha menutup-nutupi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:

  1. Siapa yang ketika mengerjakan UTS dan UAS browsing di internet?
  2. Siapa yang ketika mengerjakan UTS dan UAS melihat catatan?
  3. Siapa yang ketika mengerjakan UTS dan UAS melihat catatan teman?
  4. Siapa yang ketika mengerjakan UTS dan UAS bertanya kepada teman?

Serempak mereka semua mengangkat tangan untuk setiap pertanyaan saya. Kemudian saya ajukan lagi pertanyaan berikutnya, “Apakah Anda mengetahui dan sadar sepenuhnya bahwa apa yang Anda lakukan itu salah?” Serentak mereka menjawab “iya pak” sambil cengar-cengir. Sebagai pamungkas, saya ajukan pertanyaan terakhir, “kalau sudah tahu salah, kenapa masih dilakukan?” Mereka tambah cengar-cengir. Beragam alasan dan argumen mereka utarakan untuk menjawab pertanyaan terakhir saya ini. Jika dirangkum kurang lebih begini:

  • Untuk mendapatkan nilai yang bagus. Meski upaya-upaya yang dilakukan menyimpang, mereka tak ambil pusing, yang penting jawaban UTS dan UAS benar sehingga mereka bisa mendapatkan nilai yang bagus dan tidak perlu mengulang matakuliah yang sama.
  • Sudah terlanjur membudaya. Mencontek menurut mereka sudah biasa dan wajar sejak masih di bangku sekolah. Terutama jika pengawasnya tidak terlalu “killer”.
  • Terpepet waktu ujian. Sebagian dari mereka menyatakan di menit-menit awal mereka tidak mencontek, namun ketika memasuki menit-menit akhir dan masih ada soal yang belum terjawab, sementara mereka sendiri tidak mampu menjawab maka alternatifnya adalah mencontek.
  • Sungkan dengan teman. Ketika semua teman yang ada di kelas ramai-ramai mencontek, mereka merasa sungkan karena takut dikira sok pintar jika mengerjakan sendiri tanpa mencontek dan bertanya kepada teman.

Betapa perbuatan yang sekalipun salah, namun karena sudah membudaya dan dibiasakan secara tidak sadar dengan sendirinya dibenarkan dan dianggap wajar.

Bertolak dari sini, mari kita tarik kasus mahasiswa saya ini ke konteks kehidupan yang lebih luas. Betapa perbuatan yang sekalipun salah, namun karena sudah membudaya dan dibiasakan secara tidak sadar dengan sendirinya dibenarkan dan dianggap wajar. Ironisnya, tidak ada rasa malu akan hal ini karena memang telah menjadi kenyataan yang wajar. Hasilnya bisa kita saksikan, orang-orang yang berlaku culas, curang, korup, dan sebagainya di sekitar kita bukanlah orang-orang bodoh yang tidak paham dan mengerti bahwa perbuatan mereka salah dan merugikan orang lain. Mereka sadar sepenuhnya bahwa perbuatan mereka salah. Perntanyaannya sama, mengapa masih dilakukan jika tahu bahwa semua itu salah?.

Dari konteks ini dapat kita simpulkan bahwa, pendidikan nilai yang kita peroleh selama ini hanya berhenti pada pemahaman konsep. Nilai sama halnya dengan rumus fisika, kimia, konsep sejarah, serta berbagai konsep-konsep lainnya. Nilai hanyalah teori. Kita semua mengerti dan paham bahwa berbohong, curang, korupsi, iri, dengki dan sebagainya adalah perbuatan negatif dan tidak terpuji. Kita semua juga mengerti dan paham bahwa jujur, bertanggungjawab, berintegritas, dan sebagainya adalah perbuatan positif dan terpuji. Permasalahannya adalah bagaimana kita bersikap tehadap nilai-nilai tersebut.

Pendidikan nilai kita telah gagal menginternalisasikan dan mematrikan nilai-nilai positif ke dalam diri peserta didik.

Pendidikan nilai kita telah gagal menginternalisasikan dan mematrikan nilai-nilai positif ke dalam diri peserta didik. Ada aspek-aspek sentral yang belum terpenuhi dalam pendidikan nilai kita. Aspek-aspek tersebut adalah; pertama, keteladanan. Pendidikan nilai akan efektif apabila si pendidik juga memberikan teladan bagaimana menerapkan konsep nilai positif yang diajarkan. Perilaku pendidik selaras dengan nilai-nilai yang diajarkannya kepada peserta didik. Jangan sampai kita menyuruh siswa disiplin, datang tepat waktu, tetapi kita justru sering telat dan molor.

Kedua, habituasi atau pembiasaan. Karena keteladanan dari pendidik yang kurang maka berimbas pada tidak adanya proses habituasi nilai kepada peserta didik. Pendidikan nilai berhenti sampai di kelas saja. Keluar kelas, menguap begitu saja. Kesadaran pendidik akan posisinya sebagai scond parents, role model, hero, dan friends bagi siswa masih kurang.

Ketiga, fungsi dan hakikat evaluasi. Orientasi evaluasi kita sampai dengan saat ini masih terpaku pada deretan angka. Siswa dianggap pintar, cerdas, dan berbakat jika nilai akademiknya tinggi. Sehingga tolok ukur evaluasinya adalah serba angka. Bagaimana sikap mereka sehari-hari, tidak menjadi bahan acuan. Akibatnya, peserta didik berlomba-lomba mengejar nilai tinggi dan tak segan menempuh segala macam cara termasuk yang dilakukan mahasiswa saya di atas. Mereka menjadi pragmatis dan oportunis.

Keempat, sinergi antara sekolah dan keluarga. Sebagus apapun program penanaman nilai di sekolah jika tidak disambut hangat oleh keluarga maka tidak akan dapat berjalan optimal. Keluarga adalah lembaga pendidikan yang peranannya justru lebih besar dari sekolah dalam hal pendidikan niai.

Seyogyanya kita bisa belajar dari krisis moral yang sedang kita hadapi hari ini. Dengan jujur dan penuh kesadaran sebaiknya kita akui bahwa kebobrokan moral yang menjangkiti bangsa ini adalah buah dari pendidikan nilai kita yang belum berada pada track yang benar.

Kita tidak mencari tahu dan mempelajari nilai-nilai apa yang bisa membuat mereka sedemikian maju dari kita. Kita teralu terpaku pada keindahan rumah, tapi melupakan pondasi yang menyokongnya.

Kita juga belum belajar kepada bangsa-bangsa lain yang telah lebih maju dari kita. Yang kita lihat dari mereka hanyalah hingar bingar kemajuan perekonomian, teknologi, dan kesejahteraan ekonomi. Kita tidak mencari tahu dan mempelajari nilai-nilai apa yang bisa membuat mereka sedemikian maju dari kita. Kita teralu terpaku pada keindahan rumah, tapi melupakan pondasi yang menyokongnya.

Tags: manajemen pendidikanPendidikan Alternatifpendidikan karakterPendidikan Memanusiakanpendidikan nilai
Previous Post

Mengajarkan Hikmah kepada Murid Zaman Now, Mungkinkah?

Next Post

Ayah Memasak di Dapur dan Ibu Membaca Koran?

Sigit Priatmoko

Sigit Priatmoko

RelatedPosts

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang
Kearifan Lokal

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

by Mohammad Mahpur
March 8, 2023
0
230

Kampusdesa.or.id--Kebutuhan mengkaji Islam untuk menguatkan pemahaman lintas agama pada studi Islamologi menghubungkan Balewiyata dengan Pesantren Ainul Yakin Unisma Malang. Tak...

Read more
Sumber photo: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/aparat-polsek-citeureup-mengamankan-bakso-daging-babi-_150201220228-436.jpg
Kuliah Desa

Waspadai Kandungan Boraks atau Garam Kuning

by Redaksi
February 15, 2023
0
335

Kampusdesa.or.id--Borax itu adalah garam bleng atau juga cetitet dalam dunia industri. Boraks menjadi bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu, antiseptik...

Read more
Pengumuman Hasil Seleksi Peserta “Kelas Editor Kampus Desa Indonesia 2022”
Kita Belajar Menulis

Pengumuman Hasil Seleksi Peserta “Kelas Editor Kampus Desa Indonesia 2022”

by Kampus Desa Indonesia
November 11, 2022
0
262

Berdasarkan hasil seleksi administrasi dari sekian banyak pendaftar pada Kelas Editor Kampus Desa Indonesia 2022 ini, berikut kami sampaikan nama-nama...

Read more

Discussion about this post

Archive Artikel

Most commented

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Waspadai Kandungan Boraks atau Garam Kuning

Balewiyata dan Gus Dur; Situs Toleransi Malang yang Perlu Dirawat

Rembug Komunitas; Gusdurian Malang Tawarkan Peluang Menjadi Aktifis Penggerak

Metode Pemberdayaan Imamah; Mengubah dari Sense of Budgeting ke Sense of Benefit

Era Berperilaku Baik dalam Dunia Pendidikan

Kampus Desa Indonesia

Kampus Desa Indonesia

Jl. Raya Candi VI-C Gang Pukesmas No. 4 RT 09 RW 06 Karangbesuki, Sukun, Kota Malang

SK Menkumham No. AHU-01356.AH.02.01 Tahun 2016

Tags

Agenda (36) Aktual (7) Desa Giat (2) Desa Unggul (3) Dokter Rakyat (45) Gubuk Sastra (10) Hari ini (3) Indonesia Menulis COVID 19 (82) Kearifan Lokal (8) Kelas Ekoprinting (3) Kelas Motivasi (1) Kita Belajar Menulis (66) Kopipedia (5) Kuliah Desa (10) kuliah hari ini (2) Kuliah Terbuka (133) Layanan (9) Lifestyle (1) Magang (1) Ngaji Tani (18) Opini (317) Pendidikan Hari Ini (73) Produk (27) Psikologi Hari Ini (126) Refleksi (27) Sepak Bola (6) Uncategorized (146) Wacana (1) World (1)

Recent News

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

March 8, 2023
Sumber photo: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/aparat-polsek-citeureup-mengamankan-bakso-daging-babi-_150201220228-436.jpg

Waspadai Kandungan Boraks atau Garam Kuning

February 15, 2023

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In