Rasionalitas dan Harapan Penerapan Dana Desa

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Dana Desa yang berkisar 700 juta sampai dengan 1 M lebih menjadi angin baru pembangunan desa. Kebijakan pro-desa yang tergolong baru menimbulkan shock bagi aparatus desa. Apalagi dana tersebut diawasi sangat ketat. Tidak jarang para Kepala Desa harus menebus masuk bui. Lantas, seberapa penting dana desa tersebut bagi pembangunan masyarakat desa ?

Tertanggal 15 Januari 2014 merupakan hari bersejarah bagi desa. Pengesahan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa diundangkan dalam lembaran Negara RI tahun 2014 No. 7 yang termaktub 122 pasal di dalamnya. Regulasi tersebut diikuti dengan penganggaran pemerintah pusat dengan menggelontorkan dana yang cukup besar untuk setiap desa. Tahun 2016, dana desa meningkat menjadi Rp. 46,98 triliun dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp 628 juta. Di tahun 2017, dana desa kembali ditingkatkan, yaitu Rp. 60 triliun dengan rata-rata tiap desa Rp. 800 juta (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2017).

Seharusnya, dengan disahkannya UU Desa dan pemberian dana tersebut, kemajuan desa adalah sebuah keniscayaan. Dana yang digulirkan setiap tahun, seyogyanya berbanding lurus dengan meningkatnya tatanan fisik dan human development index (HDI) yang ada di setiap desa khususnya di daerah tertinggal. Jika hal tersebut tidak terjadi, dapat dipastikan ada kekeliruan dalam implementasi.

RelatedPosts

Hasil evaluasi selama tiga tahun pelaksanaannya, Dana Desa terbukti telah menghasilkan sarana/prasarana yang bermanfaat bagi masyarakat, antara lain berupa terbangunnya lebih dari 95,2 ribu kilometer jalan desa; 914 ribu meter jembatan; 22.616 unit sambungan air bersih; 2.201 unit tambatan perahu; 14.957 unit PAUD; 4.004 unit Polindes; 19.485 unit sumur; 3.106 pasar desa; 103.405 unit drainase dan irigasi; 10.964 unit Posyandu; dan 1.338 unit embung dalam periode 2015-2016 (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2017). Pencapaian tersebut diharapkan dapat meningkat dengan adanya pengelolaan dana desa yang lebih baik tentunya.

Jika digarap dengan profesional, dana desa mampu dijadikan sebagai modal awal untuk memandirikan desa. Jika Indonesia adalah tubuhnya, maka desa adalah kaki-kakinya. Jika kakinya banyak, maka badan sulit untuk jatuh.

Pemerintah saat ini benar-benar memberikan perhatian besar pada desa. Sebagai salah satu strategi untuk “memperkuat” desa. Kelembagaan terkait tatanan desa diperbarui setiap tahun. Mulai dari Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2015 yang mengatur tentang prioritas penggunaan dana desa tahun 2015 hingga Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2017 yang mengatur tentang penetapan prioritas penggunaan dana desa tahun 2018.

Namun, ihwal peralihan peraturan menimbulkan konflik baru secara internal di kalangan masyarakat desa. Pada poin-poin tertentu, konflik ini timbul karena tidak sesuai dengan tatanan desa. Sebagaimana peribahasa dalam bahasa Jawa, “Desa mawa cara, negara mawa tata” yang berarti desa punya adat sendiri, negara memiliki tatanan tertentu.

Problema yang penulis temukan di lapangan adalah pemerintahan desa telah semangat mengajak masyarakatnya bergerak menuju ekonomi yang berdikari. Namun realisasinya belum sesuai apa yang diinginkan. Perihal kondisi ekonomi, khususnya di daerah tertinggal yang penulis pernah singgahi, yaitu Bangkalan dan Sampang, masyarakat lebih memilih untuk memperoleh hasil secara langsung. Nyata di masyarakat setelah panen bagi petani atau nelayan, langsung menjual hasilnya tanpa repot memberikan sentuhan nilai tambah terlebih dahulu. Sehingga, pendapatan yang diperoleh terlampau sedikit. Jika perihal tersebut terus-menerus dilanjutkan, tidak akan ada titik temu pembangunan ekonomi desa.

Dari permasalahan tersebut, beberapa stakeholder harus andil dalam perencanaan serta pelaksanaan implementasi dana desa untuk mewujudkan pembangunan desa sebagai wujud nawa cita ke-3 Presiden Jokowi, yakni “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa dalam Kerangka NKRI.”

Kesejahteraan masyarakat desa tanggung jawab siapa?

Berbicara hal tersebut, tentunya ada beberapa stakeholder yang akan terlibat di dalamnya. Permasalahan terkait kesejahteraan sosial tidak akan habis menjadi tugas rumah bagi pemerintah khususnya di setiap periode pemerintahan. Meski demikian, pemerintah telah membuat kelembagaan yang teratur, meskipun tidak menutup kemungkinan ada cela dari ketidakberhasilan program yang telah direncanakan.

Dalam khazanah ilmu ekonomi pembangunan, ada tiga indikator masyarakat dikatakan sejahtera yang terangkum dalam indeks pembangunan manusia (IPM). Pendapatan per kapita, tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat.

Indonesia yang masih berstatus sebagai negara berkembang, belum dapat dikatakan sejahtera. Sebab, kesenjangan amat terlihat. Kesenjangan bukan semata tentang penghasilan dan kekayaan. Kesenjangan juga menyangkut peluang atau kesempatan, seperti tidak meratanya akses atas layanan kesehatan dan pendidikan. Keduanya memiliki keterkaitan yang erat, di mana ketidaksetaraan kesempatan tersebut mengakibatkan outcomes yang tidak setara. Tidak terkecuali pada pulau-pulau kecil yang merupakan daerah tertinggal.

Madura merupakan salah satu pulau di Indonesia yang dua kabupaten di dalamnya termasuk dalam kategori daerah tertinggal. Dua kabupaten di Madura yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal menurut Perpres Nomor 131/2015 adalah kabupaten Bangkalan dan Sampang. Kriteria penggolongan tersebut dilihat dari tiga aspek yaitu ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan akses pendidikan. Hal ini sejalan dengan rendahnya IPM, terkhusus di desa-desa tertinggal.

Agaknya, pemerintah berperan besar dalam setiap proses penyelesaian masalah desa. Lantas, bagaimana peran masyarakat? Apakah kesalahan kurangnya kesejahteraan melulu kesalahan program  pemerintah? Masyarakat sebagai pemberi dan penerima dampak sudah barang tentu memiliki tanggung jawab moril yang besar dalam meminimalisirnya. Apalagi setelah ada “perlakuan khusus” terhadap desa.

Masyarakat berhak menentukan secara mandiri penggunaan dana desa sesuai musyawarah desa (Musdes) sebagaimana yang telah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014. Dari perspektif regulasi tersebut, fleksibilitas penggunaan dana desa sangat tinggi.

Realisasinya, masyarakat berhak menentukan secara mandiri penggunaan dana desa sesuai musyawarah desa (Musdes) sebagaimana yang telah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2014. Dari perspektif regulasi tersebut, fleksibilitas penggunaan dana desa sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat ketika menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Jika peruntukkan dana desa diimplementasikan dengan sungguh-sungguh, penyerapan paling besar menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur.

Maka, salah satu kunci sukses kemajuan desa adalah pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas manusia yang harus bersamaan.

Nurul Aini. Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Trunojoyo Madura. Hadir di beberapa forum keilmuan tingkat internasional 

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.