Pemimpin Desa Sebagai Aktor Utama Pendidikan Demokrasi

327
SHARES
2.5k
VIEWS

Pendidikan Demokrasi untuk warga desa adalah hal yang mendesak dilakukan agar terjadi situasi kehidupan yang berkualitas di desa berdasarkan kesadaran akan hak dan kewajiban di kalangan warga masyarakat. Jika Pendidikan demokrasi dilakukan secara serius dan terus-menerus, saya yakin kualitas berdemokrasi di desa akan kian membaik. Kualitas demokrasi yang baik adalah prasarat bagi kemajuan desa.

Selama ini kita disuguhkan pada beberapa fenomena di desa yang jauh dari nilai-nilai demokrasi, baik fenomena yang ada dalam momemtum demokrasi elektoral seperti Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) maupun yang bersifat non-elektoral.

RelatedPosts

Ambil contoh dalam tahapan Pilkades, baik sebelum masa pencoblosan, saat pencoblosan, bahkan setelahnya. Bukan hanya fenomena “jual-beli suara” (vote buying) yang menggejala, tapi juga perkembangan pemikiran dan tingkah laku lainnya yang dapat dilihat dan dianalisa.

Pilkades yang seharusnya menjadi momentum edukasi demokrasi bagi warga, justru tidak menunjukkan aktivitas yang bernuansa meningkatkan wawasan politik dan peningkatan kesadaran akan Desa, pemerintahan desa, dan bagaimana mengelola desa. Para kandidat dalam rangka meraih kemenangan tidak bermodalkan visi-misi dan tidak mengorganisir forum-forum untuk menyebarkan visi-misi tentang bagaimana cara membangun desa yang ia tawarkan pada rakyat (calon pemilih).

Bahkan visi-misi terkesan minim di atas kertas, dan dalam komunikasi politik dalam mendekati warga calon pemilih tidak muncul sama sekali. Upaya mendekati warga agar menimbulkan simpati bagi warga dilakukan hanya dengan pendekatan yang terkesan materialistik, berbasis pada penggunaan uang dan materi. Calon berkeliling memohon restu dan mendekati kumpulan warga dengan membawa rokok dan sembako.

Blok Politik Kontraproduktif

Calon membuat “open house” di rumahnya yang ternyata menghasilkan interaksi yang juga menunjukkan tiadanya obrolan-obrolan tentang visi-misi dan program dari calon yang memberikan wawasan. Bahkan tekanan pada suguhan, makan dan rokok, juga “sangu”, menjadikan pengorganisiran politik dan kampanye meraih simpati tak berdampak pada kesadaran politik yang maju.

Celakanya, yang terjadi adalah kemunduran kesadaran karena yang tercipta hanyalah blok-blok politik yang didasarkan bukan pada persaingan visi-misi dan program dalam membangun desa. Calon akan menarik simpati masyarakat untuk mendekat padanya karena suguhan dan iming-iming materi. Tiadanya obrolan-obrolan atau komunikasi yang tidak memuat wawasan demokrasi yang maju dan tanpa visi-misi yang baik yang disampaikan dan disebarkan untuk mempengaruhi kesadaran masyarakat, akhirnya justru membuat blok-blok politik terjadi berbasis pada sentimen “kawan dan lawan”.

Konflik masa pemilihan berbuntut pada dendam politik yang kadang tak kunjung usai hingga Pilkades berikutnya.

Pertentangan blok-blok politik tanpa kesadaran yang rasional dan maju ini justru memunculkan “investasi” buruk yang kemudian akan tersisa meskipun masa pencoblosan Pilkades sudah berakhir dan bahkan setelah calon terpilih dilantik. Konflik masa pemilihan berbuntut pada dendam politik yang kadang tak kunjung usai hingga Pilkades berikutnya.

Celakanya lagi, Kades terpilih juga tidak mau dan tidak mampu menjadi motor bagi upaya memulihkan konflik yang seharusnya diredam melalui kewenangannya sebagai tokoh puncak di desa dan peran kepemimpinan yang dapat dilakukan. Misalnya, seharusnya setelah Pilkades menunjukkan siapa pemenangnya, calon terpilih seharusnya justru melakukan konsolidasi politik dengan merangkul mantan pesaingnya dalam Pemilihan. Semua pihak seharusnya dirangkul dan diajak untuk membangun desa, serta diarahkan untuk melupakan konflik yang telah tercipta semasa Pilkades.

Dendam Paska Pemilihan

Tapi yang tak jarang terjadi ternyata adalah dendam dari Kades terpilih, yang kadang perasaan dendam ini malah semakin diumbar. Fenomenanya di antaranya adalah Kades selaku pimpinan tertinggi dan yang paling punya kuasa untuk menggunakan anggaran mendiskriminasikan suatu wilayah RT, RW atau dukuh tertentu yang masyarakatnya tidak memilih dirinya atau yang memberikan dukungan dan suara pada ‘competitor’ (yang dianggap lawan politik). Jadi, di sini pendukung politik dari calon “lawan politik” di Pilkades dianggap sebagai musuh yang harus dikenai pelampiasan dendam.

Bahkan kadang ungkapan dendam ini secara sombong diverbalkan lewat perkataan berbau “sesumbar”: “Jangan sampai jalan yang rusak di daerahmu akan saya bangun, jangan sampai program pembangunan akan kubawa di dukuh kalian. Sebab dalam Pilkades kemarin kalian tak mendukungku dan mendukung lawan politikku!”

Mentalitas pendendam ini menjadi perusak demokrasi itu sendiri.

Mentalitas pendendam ini menjadi perusak demokrasi itu sendiri. Apalagi kalau kita menginginkan demokrasi yang berbasis pada kepemimpinan seorang tokoh yang bermoral baik, yang bisa mengayomi, yang bisa memimpin semuanya tanpa ada pikiran diskriminatif dalam dirinya, yang memang diharapkan akan menjadi tokoh utama yang mengarahkan desa yang sehat dan bermartabat dalam relasi-relasi sosial masyarakatnya.

Mentalitas yang bertentangan dengan ukuran-ukuran ideal sosok pemimpin ini pada akhirnya justru bertentangan dengan amanat Undang-undang Desa yang justru mewajibkan pemerintah desa untuk melakukan edukasi politik dan menumbuhkan masyarakat yang demokratis. Artinya, siapapun Kades yang terpilih dan siapapun perangkat desa yang ada di bawahnya, mereka adalah bagian dari pemerintah desa yang di bawah Kades diharapkan akan menjadikan desa menjadi komunitas yang demokratis, yang juga akan melakukan pembangunan, pemberdayaan, dan pembinaan pada masyarakat. Arah pemberdayaan yang akan dituju tentunya adalah terciptanya karakter-karakter masyarakat yang baik dan ideal.

Pemimpin Desa dan tanggungjawab UU Desa

Dalam UU Desa jelas ada tugas pemberdayaan dan pembinaan ke arah situasi demokrasi yang partisipatif, tidak diskriminatif dan yang mampu menjamin kesetaraan warga di hadapan hukum, yang terbuka dan yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan pemerintah yang menggunakan anggaran (dana) dari negara.

Di Pasal 4 UU Desa dinyatakan bahwa salah satu tujuan UU Desa adalah “mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi.” Ini adalah aspek EDUKATIF karena yang mau dituju salah satunya adalah SDM yang tersadarkan, tercerahkan agar mereka bergerak dan punya prakarsa (inisiatif), kemandirian untuk mengembangkan potensi diri dan masyarakatnya. Juga, di sini ditegaskan adanya tujuan untuk “memperkuat masyarakat desa sebagai subyek pembangunan”—sebagaimana ditegaskan pada Pasal 4 poin (i).

Ini adalah tujuan dari salah satu poin penting dari UU Desa, yaitu pemberdayaan dan pembinaan. Kepala Desa sebagaimana ditegaskan pada UU Desa Pasal 26 Ayat (2) adalah “membina kehidupan masyarakat desa” (poin f) dan “mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat desa” (poin k).

Berikutnya pada Pasal 26 Ayat (4), dinyatakan bahwa kewajiban Kepala Desa “melaksanakan kehidupan demokrasidan berkeadilan gender” (poin e). Kades juga wajib untuk “memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di desa” (poin n).

Dalam rangka pemberdayaan dan pembinaan, aspek informasi menjadi penting. Sehingga di Pasal dan Ayat yang sama, ada salah satu kewajiban Kades yang amat penting, yaitu “memberikan informasi kepada masyarakat desa” (poin p). Sedangkan terkait tugasnya sebagai pemimpin pemerintahan desa, pada Pasal 27 ada satu kewajiban yang dibebankan pada Kepala Desa, yaitu “memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.”

UU Desa secara jelas punya semangat untuk menjadikan Kades sebagai pemimpin desa yang bisa mendorong terciptanya edukasi-edukasi demokrasi pada masyarakatnya.

Jadi, UU Desa secara jelas punya semangat untuk menjadikan Kades sebagai pemimpin desa yang bisa mendorong terciptanya edukasi-edukasi demokrasi pada masyarakatnya. Pengembangan kehidupan sosial-budaya dan melaksanakan kehidupan demokrasi dikaitkan dengan penyebaran informasi yang terbuka pada masyarakat.

Jadi, Pendidikan demokrasi oleh pemerintah desa dalam hal ini akan berjalan baik jika. Pertama-tama, Kades memahami betul bahwa fungsinya sebagai pemimpin. Pemimpin itu adalah pembimbing, pengarah, pemberi semangat untuk hal-hal baik, organizer komunitas masyarakat, penggerak, dan yang lebih penting lagi adalah “penjaga moral” dan simbol kebaikan yang akan dicontoh oleh masyarakat. Pemimpin harus bisa menyatukan, bukan mencerai-beraikan. Pemimpin harus mengajarkan cinta kasih, bukan mengobarkan permusuhan dan kebencian.

Secara jelas UU Desa, di Pasal 29, ada beberapa larangan bagi Kepala Desa, misalnya adalah bahwa Kades dilarang melakukan “tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan tertentu.”. Tidak dibenarkan ‘menganaktirikan’ atau memusuhi dukuh tertentu dengan cara menjauhkan pembangunan dari wilayah masyarakat di dukuh itu hanya gara-gara masyarakat di wilayah tersebut adalah pendukung dan pemilih “calon Kades lawan.” Dalam konteks menciptakan Pendidikan demokrasi yang bertabat, Kades juga dilarang “meresahkan sekelompok masyarakat desa.”

Maka dalam hal ini dibutuhkan juga kemampuan dan kemauan pada diri Kades untuk menjadi penebar wawasan, pembangun kesadaran, komunikator yang menyampaikan pesan-pesan pada masyarakat agar masyarakat desa semakin terdidik, bertambah wawasannya, semakin dasar akan hak dan kewajibannya selaku warga. Harapannya semua warga desa memiliki wawasan dan kesadaran akan tanggungjawabnya selaku warga negara dan warga desa, yang mau dan mampu berpartisipasi dalam pembangunan desa.

Semakin banyak warga desa yang memiliki kesadaran dan keinginan berpartisipasi membangun desanya, maka akan semakin maju desa tersebut. Di sinilah Pemimpin desa harus membuka informasi pada seluruh warga. Semakin warga mengetahui informasi, maka mereka akan semakin tahu banyak hal. Partisipasi yang luas warga dengan didasari dengan kecerdasan, wawasan, dan kesadaran yang tinggi, hal ini juga akan menjauhkan kecenderungan pimpinan desa untuk berbuat seenaknya. Sebab rakyat yang tahu, sadar, dan kritis adalah kekuatan kontrol yang baik bagi pemerintahan desa.*

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.