Keluar dari Efek Lampu Sorot

Manusia dibekali dengan karunia yang begitu berlimpah, baik yang berupa fisik maupun mental. Salah satu keunggulan kita sebagai manusia dalam perihal mental adalah kemampuan kita untuk bersosialisasi. Setiap manusia memiliki jiwa sosial dalam dirinya. Jiwa sosial itu tumbuh sejak manusia membuka mata dan melihat dunia pertama kalinya. Kita sudah diarahkan untuk bersosialisasi bahkan sejak kita masih berada dalam sentuhan kasih sayang orangtua ketika bayi. Bahkan bayi pun memiliki kerangka kognitif yang bergerak untuk menginternalisasi apa yang dirasakan oleh panca inderanya, walaupun belum semapan orang dewasa. Cukup adil untuk mengatakan bahwa, jiwa sosial itu layaknya sudah menjadi keterampilan “bertahan hidup” tingkat dasar yang perlu dilatih sebagai modal bagi manusia untuk disebut sebagai makhluk sosial.

Demi menjalankan tabiatnya sebagai makhluk sosial, manusia melakukan interaksi sosial dengan orang lain untuk membangun suatu hubungan timbal balik. Interaksi dengan orang lain memungkinkan individu untuk mengeksplorasi kesamaan dan keterhubungan dengan orang lain, sehingga memunculkan suatu kesadaran keanggotaan dalam suatu unit sosial. Tentu saja, dalam suatu komunitas, setiap orang memiliki keunikan dan kepribadian yang berbeda. Namun, penggabungan dari bermacam latar belakang dan kepribadian itulah yang menyihir interaksi sosial menjadi suatu keniscayaan yang berpengaruh pada dinamika masyarakat.

RelatedPosts

The Spotlight Effect

Dalam interaksi sosial sehari-hari, kita terkadang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan—menjadi memalukan jika orang lain melihat kondisi kita saat itu. Situasi itu kemudian memunculkan spekulasi liar dalam benak mengenai pendapat orang lain terhadap diri kita. Katakanlah, seseorang pergi ke salon untuk mendapat gaya rambut yang indah. Ternyata, hasil potongan rambutnya tidak sesuai ekspektasi, bahkan terlihat buruk baginya. Dengan terpaksa dan karena harus bekerja, ia harus pergi dengan mahkota kepala yang hancur. Ia kemudian berpikiran, pasti orang lain menyadari rambutnya yang buruk dan akan menilainya dengan perkataan aneh, lucu, yang dapat menurunkan rasa percaya diri. Fenomena ini diteliti dan dinamakan sebagai the spotlight effect oleh Thomas Gilovich (1999, 2003) dari Cornell University, Amerika Serikat.

The spotlight effect—dicetuskan oleh Gilovich sebagai suatu fenomena ketika individu merasa ia sedang tampil dan diperhatikan oleh banyak orang seolah berada dalam panggung yang disinari lampu sorot.

Efek lampu sorotan—terjemahan dari the spotlight effect—dicetuskan oleh Gilovich sebagai suatu fenomena ketika individu merasa ia sedang tampil dan diperhatikan oleh banyak orang seolah berada dalam panggung yang disinari lampu sorot. Penelitian Gilovich menjelaskan bahwa perasaan ketika berada dalam pusat perhatian seperti itu menimbulkan pemikiran yang berlebihan tentang apa yang orang lain pikirkan tentang orang tersebut, mulai dari penampilan dan perilakunya. Pada kenyataannya, orang lain tidak selalu memperhatikan dan menilai secara seksama pada individu tersebut, karena mereka terlalu sibuk pada urusan mereka sendiri. Karena itu, penilaian orang lain sebenarnya tidak setinggi dan sebesar apa yang orang tersebut pikirkan. Orang itu—menurut Gilovich—sebenarnya hanya sebatas merasa khawatir yang berlebihan terhadap penilaian orang lain.

Sebagian besar orang pasti pernah mengalami ini. Mereka mungkin tidak mengenal fenomena ini dengan nama efek lampu sorotan. Ada istilah singkatan gaulnya: GR, atau gede rasa. Sikap gede rasa ini mungkin saja dapat meningkatkan kepercayaan diri saat orang tersebut berada dalam zona nyaman, seperti ketika memakai pakaian baru yang bagus. Bagaimana dengan orang yang mengalami kondisi yang buruk, seperti kondisi gaya rambut yang gagal tadi? Orang itu mungkin menjadi tidak nyaman dan malu karena terlalu berlebihan memikirkan penilaian orang lain terhadap kondisinya.

Deindividuasi

Manusia secara naluri tidak mau berada dalam situasi yang tidak menguntungkan dan tidak enak untuk dirinya. Sigmund Freud (1923) mengokohkan pendapat ini melalui konsep psikoanalisa miliknya yang amat berpengaruh pada dunia psikologi. Ia menjelaskan bahwa manusia didorong oleh naluri alam bawah sadarnya untuk selalu berada dalam kenikmatan dan kepuasan. Lantas, bagaimana jika orang itu tetap membiarkan saja pemikiran kusut yang tidak nyaman akan penilaian orang lain terhadap penampilannya itu?

Dalam skenario seseorang yang terjerat dalam efek lampu sorotan ini, individu tersebut terdorong untuk berpikir secara berlebihan bahwa ia mungkin terlihat dan dinilai berbeda dari orang lain. Ia menyangka dirinya telah keluar dari norma dalam kelompok komunitas tersebut, dan muncul suatu perasaan “berbeda”, tidak aman, dan terasingkan dalam diri.

Ketidaknyamanan ini mendorong dirinya untuk bergabung kembali ke dalam kelompoknya. Pada saat yang sama, ia kehilangan kesadaran akan dirinya sendiri (self-awareness) untuk menyamakan dengan kelompok itu, karena pada dasarnya, bergabung dalam kelompok memberi suatu keistimewaan anonimitas pada individu. Ia tak lagi berada dalam pusat perhatian. Ia berhasil kembali ke zona nyaman setelah menjadi satu dengan kelompoknya, tapi dengan bayaran kehilangan identitas dirinya. Inilah yang disebut oleh Leon Festinger (1952) sebagai deindividuasi (deindividuation).

Berinteraksi dengan orang lain memang memberikan pengalaman sosial yang unik bagi individu, selama ia dapat menjaga jati diri dan pendirian diri sendiri.

Berinteraksi dengan orang lain memang memberikan pengalaman sosial yang unik bagi individu, selama ia dapat menjaga jati diri dan pendirian diri sendiri. Tidak semua pengalaman interaksi sosial dapat kita internalisasi menjadi bagian dari perilaku. Pendirian dan keteguhan diri menjadi media penyaring hal buruk dari interaksi sosial. Individu yang merasa dalam tekanan penilaian orang lain seperti yang ada pada efek lampu sorotan perlu untuk melepas diri dan buahkan pemikiran segar bahwa setiap orang pernah mengalami kondisi di atas dan di bawah, dan kondisi itu sangat wajar.

Sudah menjadi rahasia umum, merumuskan dan menyarankan jalan keluar itu jauh lebih mudah daripada melakukannya. Namun, jika ada suatu hikmah yang bisa kita peroleh dari penemuan Gilovich, itu adalah pentingnya untuk mengambil suatu jeda di antara lautan rasa khawatir itu. Waktu yang dipakai untuk rehat sejenak itu, meskipun hanya beberapa detik saja, sudah cukup untuk merekonstruksi pemikiran yang kusut itu dan berdamai dengan diri sendiri.

Tuntutan pekerjaan dan aktivitas sehari-hari tak hanya telah melelahkan fisik, tapi juga pikiran dan mental. Beruntung generasi Z dan milenial punya kesadaran akan kesehatan mental yang sangat kuat. Kita akhir-akhir ini sering melihat banyak webinar dan gerakan pro-kesehatan mental di media sosial, sebuah misi yang mulia untuk menumbuhkan rasa cinta pada diri sendiri (self-love). Kita tidak perlu memikirkan perkataan orang lain, tak perlu juga membandingkan diri dengan penilaian orang, karena kita tidak bersaing dengan orang lain, tapi dengan diri sendiri di hari kemarin. Membandingkan diri kita dengan orang lain adalah bentuk penghinaan terhadap diri sendiri. Kita memiliki makna dan keunikan masing-masing, dan berkata jujur dan terbuka pada diri sendiri adalah langkah awal untuk menemukan makna itu.*)

Sean Kafka Adhyaksa
Mahasiswa jurusan psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Editor: Mohammad Mahpur
Redaksi

Redaksi

Sejumlah artikel pilihan yang dikirim secara temporer oleh penyumbang tulisan yang berhasil dipilih oleh redaksi. Tulisan ini didedikasikan sebagai bahan terbuka bagi literasi publik pembaca Kampus Desa Indonesia

Arsip Terpilih

Related Posts

No Content Available

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.