• Call: +62 858-5656-9150
  • E-mail: [email protected]
Education Blog
  • Home
  • Artikel
    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Trending Tags

    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami
No Result
View All Result
Kampus Desa Indonesia
No Result
View All Result
Home Opini

Modernisasi dan Kearifan Lokal, Bisakah Beriringan?

Sigit Priatmoko by Sigit Priatmoko
March 25, 2022
in Opini
264 17
0
Modernisasi dan Kearifan Lokal, Bisakah Beriringan?
Share on FacebookShare on Twitter

Derasnya laju modernisasi di satu sisi memang memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia. Derap inovasi teknologi yang setiap hari membanjiri dunia kian memanjakan manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Namun, pada saat bersamaan modernisasi menimbulkan dampak yang tidak sederhana. Tidak sedikit kearifan lokal warisan leluhur yang kian tergerus dan hilang ditelan zaman. Haruskah demikian? Tidak bisakan keduanya berjalan beriringan?

KampusDesa-Kenyataan bahwa hidup terus berjalan memang tak bisa dinafikan. Dan setiap perjalanan pasti di dalamnya ada proses meninggalkan dan menemukan. Meninggalkan yang lama yang sudah tidak sesuai dengan konteks yang terus berkembang. Menemukan hal-hal yang baru yang relevan untuk masa sekarang dan masa depan. Tapi bisakah kita memadukan keduanya? Menemukan tanpa harus meninggalkan.

Beberapa waktu lalu saya diajak rekan mengunjungi mahasiswa yang sedang PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) di Kecamatan Glagah, Kabupaten Lamongan. Kecamatan ini seperti wilayah utara Lmaongan yang lain, dipenuhi dengan tambak-tambak udang, lele, dan bandeng. Sepanjang perjalanan menuju lokasi, mata dimanjakan dengan hamparan kolam-kolam air di kanan-kiri jalan.

Usai berkunjung ke madrasah tempat mahasiswa PPL, kami singgah di sebuah pasar sekadar untuk melepas dahaga. Makan bakso dan minum es degan. Pasar itu bernama Pasar Blawi. Sebuah pasar tradisional seperti pada umumnya. Sambil menikmati bakso, rekan saya bercerita tentang masa kecilnya.

Semasa kecilnya, untuk sampai di pasar ini masyarakat menggunakan perahu sebagai alat transportasi. Mereka memanfaatkan sungai yang membentang membelah wilayah Kecamatan Glagah dan sekitarnya. Bahkan katanya, perahu-perahu yang berlalu-lalang di sepanjang sungai ini tidak hanya perahu pribadi warga. Tapi juga perahu untuk angkutan umum. Bisa dibayangkan betapa sibuknya sungai ini.

Selain sebagai prasarana transportasi, sungai ini juga menjadi tumpuhan hidup masyarakat. Seperti mandi dan mencuci, mengairi tambak atau membuang air tambak ketika panen tiba, menjala atau memancing ikan, dan sebagainya. Anak-anak pada masa itu juga sangat gembira bermain di sungai.

Sekarang ini hampir tidak ada lagi masyarakat yang memanfaatkan perahu sebagai moda transportasi.

Namun, seiring berkembangnya zaman dan berputarnya roda kehidupan. Berbagai kearifan lokal masyarakat sepanjang sungai ini, perlahan mulai mengalami pergeseran. Lebih-lebih ketika kendaraan bermotor mulai memenuhi desa. Sekarang ini hampir tidak ada lagi masyarakat yang memanfaatkan perahu sebagai moda transportasi. Mereka lebih memilih motor karena alasan efektivitas dan efisiensi. Perahu kini hanya digunakan sebagai sarana untuk memberi makan ikan tambak saja. Hanya sedikit masyarakat yang masih bertahan menggunakan perahu.

Sedikit cerita dari rekan saya ini menggambarkan dinamika yang kita alami dalam hidup ini. Ketika budaya dan peradaban semakin berkembang dan maju, akan selalu ada budaya yang ditinggalkan. Hal ini memang sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Dan tak menjadi soal. Yang menjadi persoalan adalah ketika nilai-nilai adiluhung yang menjadi dasar filosofis budaya warisan leluhur turut pula ditinggalkan.

Kita justru bangga dan mengagung-agungkan apa-apa yang datang dari luar, yang sebenarnya kurang sesuai dengan jati diri kita.

Kita yang mengklaim diri sebagai manusia modern ini semakin hari semakin asing dengan nilai-nilai yang sebenarnya merupakan identitas diri kita sendiri. Kita justru bangga dan mengagung-agungkan apa-apa yang datang dari luar, yang sebenarnya kurang sesuai dengan jati diri kita.

Kearifan lokal masyarakat Glagah yang kini mulai tenggelam sebagaimana diceritakan oleh rekan saya tersebut, semestinya menjadi perhatian pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak terkait lainnya. Pemanfaatan sungai dengan perahu sebagai moda transportasi bukan hanya sekadar persoalan infrastruktur. Melainkan ada berbagai aspek sosial-budaya di dalamnya. Melalui sungai inilah dialektika masyarakat terbentuk. Ikatan komunal sebagai ciri khas masyarakat pedesaan akan menguat.

Pembangunan berbagai infrastruktur seperti jembatan, jalan, penggunaan kendaraan bermotor serta berbagai modernisasi lainnya tak perlu menjadi faktor penenggelam kearifan-kearifan lokal yang ada. Justru harusnya mampu disinergikan.

Dalam hal ini kita dapat mencontoh negara Jepang. Negara tempat asal bunga Sakura ini begitu maju dengan modernitas dan teknologinya namun tidak membunuh kearifan-kearisfan lokal warisan leluhur. Justru hal tersebut mereka jaga dan lestarikan hingga menjadi identitas di mata internasional.

Kearifan lokal bukan sekedar warisan budaya, melainkan juga sebagai identitas masyarakat. Dan sudah barang tentu perlu untuk dilestarikan supaya kita tidak lupa dari mana kita berasal dan kemana kita akan melabuhkan bahtera kehidupan.[]

Tags: desadesa berdikarikearifan lokalmodernisasiPotensi Desa
Previous Post

Penerapan HOTS dalam Ujian Nasional, Perlukah?

Next Post

Sejarah Nasional Indonesia: Keterlibatan Kecamatan Panggul sebagai Wilayah Wengker Kidul

Sigit Priatmoko

Sigit Priatmoko

RelatedPosts

Era Berperilaku Baik dalam Dunia Pendidikan
Opini

Era Berperilaku Baik dalam Dunia Pendidikan

by Astatik Bestari
November 24, 2022
0
24

Kampusdesa.or.id -- Pernahkan kita mendengar larangan begini, "jangan sering absen mengajar, nanti diiri guru yang lain!" Larangan ini sering  diperdengarkan...

Read more
Kawula muda  bijaklah dalam bermelodi, karena musik itu sugesti
Opini

Kawula muda bijaklah dalam bermelodi, karena musik itu sugesti

by Maulana Arif Muhibbin
March 30, 2022
0
212

Ini tentang musik, sifatnya yang universal terkadang mereduksi pemikiran rasional. Lantas bagaimana dengan hal yang bersifat emosional? Bisa dibilang musik...

Read more
Apakah Olimpiade Tokyo 2020 Paling Ramah Gender ? Simak Fakta Berikut
Lifestyle

Apakah Olimpiade Tokyo 2020 Paling Ramah Gender ? Simak Fakta Berikut

by Nur Aisyah Maullidah
March 25, 2022
0
204

SOBAT! YUK FLASHBACK SEJENAK KE GELARAN OLIMPIADE OLAHRAGA DUNIA TAHUN 2020. PADA MOMENT ITU TOKYO MENJADI TUAN RUMAH YANG MENYELENGGARAKAN...

Read more

Discussion about this post

Archive Artikel

Most commented

Gagalnya Makalah sebagai Tugas Kuliah

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Waspadai Kandungan Boraks atau Garam Kuning

Balewiyata dan Gus Dur; Situs Toleransi Malang yang Perlu Dirawat

Rembug Komunitas; Gusdurian Malang Tawarkan Peluang Menjadi Aktifis Penggerak

Metode Pemberdayaan Imamah; Mengubah dari Sense of Budgeting ke Sense of Benefit

Kampus Desa Indonesia

Kampus Desa Indonesia

Jl. Raya Candi VI-C Gang Pukesmas No. 4 RT 09 RW 06 Karangbesuki, Sukun, Kota Malang

SK Menkumham No. AHU-01356.AH.02.01 Tahun 2016

Tags

Agenda (36) Aktual (7) Desa Giat (2) Desa Unggul (3) Dokter Rakyat (45) Gubuk Sastra (10) Hari ini (3) Indonesia Menulis COVID 19 (82) Kearifan Lokal (8) Kelas Ekoprinting (3) Kelas Motivasi (1) Kita Belajar Menulis (66) Kopipedia (5) Kuliah Desa (10) kuliah hari ini (2) Kuliah Terbuka (133) Layanan (9) Lifestyle (1) Magang (1) Ngaji Tani (18) Opini (317) Pendidikan Hari Ini (73) Produk (27) Psikologi Hari Ini (126) Refleksi (27) Sepak Bola (6) Uncategorized (147) Wacana (1) World (1)

Recent News

Gagalnya Makalah sebagai Tugas Kuliah

Gagalnya Makalah sebagai Tugas Kuliah

March 27, 2023
Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

March 8, 2023

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In