Merajut Asa Di Tanah Cendrawasih (Part 2)

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Adakah yang paling indah daripada senyuman hangat? Senyum tawa mereka saat sedang pergi ke sekolah, riang gembira menjelajahi wahana pengetahuan. Di situ para guru menyambut dengan penuh ketulusan. Seperti menanam padi di pematang sawah, bulir-ulir harapan itu akan menguning dengan pendidikan yang mapan. Maka benar guru adalah penentu peradaban.

KampusDesa- Sejak Wahiddin kembali ke Makassar, tidak ada kabar lagi tentangnya. Artikel yang ku tulis untuknya sudah sebulan lamanya centang satu di dasboard Whatsapp- ku. “Kelak jika sudah tiba di distrik Venaha, Papua, maka tak ada lagi cara bersosial media kecuali sekali dalam sebulan, itupun jika tak ada gangguan,” jelasnya padaku beberapa waktu yang lalu. Hingga akhirnya aku teringat pesan ayah kala itu di mana aku sedang  mempersiapkan Praktek Kerja lapangan (PKL).

RelatedPosts

 “Kalau kamu benar benar ingin tahu permasalahan pendidikan, datanglah ke sekolah kecil yang terletak di pinggiran, di sana kamu akan mendapatkan segudang pelajaran.”

Wejangan singkat itu membuatku berimajinasi, bagaimana dengan daerah yang lebih sulit dijangkau seperti Provinsi Papua misalnya? Cerita Muwahiddin tentang ekspedisinya di pulau Jayapura itu seperti hujan sekilas di terik siang, menyapa bahwa di lain persemayaman ada mendung yang tak terkirakan.

Acuan pendidikan baik rencana dan sarana untuk mencapai output yang diharapakan silih berganti, yang terbaru adalah K13 di mana siswa dituntut aktif dalam pembelajaran difasilitasi dengan komputer dan teknologi komputasi lainnya. Di SD Inpress memes atau di sekolah yang belum berkembang nampaknya kurikulum KTSP masihlah relevan, tentu langkah ini melalui pertimbangan yang tidak main-main. Bahkan jajaran guru SD Inpress memes perlu usaha keras untuk mengimplementasikan KTSP 2006.

 “Di sini diperlihatkan bahwa kurikulum dalam keadaan tertentu bukanlah standar segalanya, ada kebutuhan intrinsik murid yang hanya bisa dipahami oleh guru di lapangan, itulah seni dalam mengajar”.

“RPP silabus kita singkirkan dahulu, kita fokus calistung, membaca menulis dan berhitung anak anak. Bahkan masih banyak 90% buta huruf, kelas empat, lima dan enam masih banyak yang belum lancar membaca.“ Ungkap Muwahiddin saat ditanya tentang tantangan pengajar.

Selama ia mengajar, Muwahiddin menandai bahwa setiap semester ada tiga anak yang mulai bisa membaca, hal itu merupakan kebersyukuran yang amat menyenangkan baginya bersama rekan pengajar. Bagaimanapun pola hidup seperti sandang pangan, fasilitas dan sistem sosial tentu berdampak terhadap kemampuan adaptasi siswa untuk menangkap apa yang disampaikan oleh guru. Aku meyakini bahwa membandingkan anak didik adalah kejahatan, menyamakan peserta didik juga suatu penghinaan. Setiap siswa unik, tidak ada siswa yang bodoh, mungkin dia berpotensi di bidang tertentu, hanya saja belum terekspos.

“Membandingkan anak didik adalah kejahatan, menyamakan peserta didik juga suatu penghinaan. Setiap siswa unik, tidak ada siswa yang bodoh, mungkin dia berpotensi di bidang tertentu hanya saja belum terekspos.”
Dokumentasi Upacara Bendera Guru-guru Bersama Siswa-siswi SD Inpres Memes

Terkonfirmasi untuk tahun ini, menurut keterangan Muwahiddin, Distrik Venaha akan memiliki dua putra-putri daerah yang bergelar sarjana untuk pertama kalinya. Kedua orang yang beruntung tersebut mendapat pembiayaan kuliah melalui dana desa, masing-masing mendalami bidang keguruan dan ilmu pemerintahan.

Guru mulyo jalaran wani rekoso (guru mulia karena berani bersusah payah), begitulah pepatah Jawa mengatakan. Kemuliaan seorang pengajar akan didapatkan setelah ia mau memeras keringat untuk kepentingan murid-muridnya. Orang dahulu sering berargumen jika ingin memprediksi keberhasilan seorang murid, lihat dulu siapa gurunya, kelimuannya, akhlaknya dan semangatnya. Sesaat sebelum berpisah, Muwahiddin dengan segenap hati ia ingin “say hello” kepada seluruh pengajar di Indonesia, kepada pemuda yang peduli dengan pendidikan bangsa, ia berpesan :

“Jangan pernah menyerah, jangan pernah mengeluh dengan keadaan, tetap jalani, syukuri, karena jika dibandingkan dengan kami yang ada di sini, teman-teman lebih memiliki fasilitas yang layak, jadi jangan pernah berputus asa untuk berbagi ilmu. Satu ilmu yang kita berikan bisa menciptakan generasi-generasi yang lebih baik lagi.”

Apa gunanya kemenyan setungku kalau tidak dibakar? Begitu juga ilmu haruslah bermanfaat. Bukan seberapa banyak tapi seberapa ikhlas kita dalam mengajar. Mari bersama bersusah payah (rekoso) untuk mereka para pemegang harapan bangsa. Selamat menjadi Guru!

Editor: Faatihatul Ghaybiyyah

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.