Memuja Kemandegan Desa

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Eksotisme desa sangat dipuja. Mulai dari alam hingga kebudayaan. Desa diagungkan dalam berbagai kebanggaan orisinalitas. Tetapi situasi yang dipuja itu belum menjanjikan kecukupan ekonomi. Pemuda desa merantau adalah bukti desa tidak memiliki kebanggaan kecuali sebagai tempat kelahiran. Sudah selayaknya diciptakan desa yang tidak sekedar memuja kemandegan desa

Desa-desa yang dipuja itu adalah desa yang mandeg, tidak progresif. Desa yang memang masih kelihatan hijau, meskipun kontur tanahnya rapuh pada saat cuaca-cuaca tertentu menyerang. Banjir dan longsor sebagai bagian cerita ikutannya.

Tetapi ini bukan soal kemandegan alam. Yang namanya alam selalu progresif, mengikuti hukum gerak sebagaimana sabda Heraklitus, yang kemudian diteorikan oleh Engels dan bapaknya Eleanor (suaminya Bu Jenny). Engels dalam “Dialectic of Nature” jelas-jelas menguraikan banyak hal soal hukum gerak dan dialektika alam.

RelatedPosts

Para penulis, pelukis, dan narator keindahan desa akan berhenti sejenak memuja keindahan alam sesaat setelah terjadinya banjir bandang atau tanah longsor. Mereka melihat alam begitu ganasnya. Mereka juga ikut larut dalam lagu-lagu solidaritas yang mendengung setelah terjadinya bencana. Karena hanya bencana alamlah yang secara naluriah menagih perasaan untuk solider, yang tak jarang diungkapkan dengan cara berbagi.

Tetapi sudahkah para penulis dan kaum intelektual melihat kontradiksi yang kompleks dan dalam dalam relasi sosial-ekonomi di daerah pedesaan, selain menarasikan keindahan desa-desa dengan rasa takjub yang memesonakan sehingga lupa mengangkat jantung kontradiksi sebenarnya yang terjadi di desa dengan relasi-relasi produksinya yang masih eksploitatif?

Kemandegan
Saya kira salah satu ciri kehidupan di desa itu adalah seperti corak feodal pada umumnya. Pada awalnya, kemandegan terjadi karena mereka memperoleh sedikit untuk memenuhi hasil yang sedikit. Tetapi kemudian kerja keras secara fisik tak didukung manajerial pekerjaan (bertani), tanpa modal yang kuat, tanpa kekuasaan untuk mengatur pasar, dan ketidakseimbangan antara biaya produksi dengan harga hasil panen, menjadi penyebab kemandegan maupun keterhisapan.

Penghasilan yang terbatas dan corak produksi yang mandeg ini hanya membuat mereka terus tertekan karena keinginan untuk membeli dan bergaya hidup seperti orang kota tersangkal dengan kenyataan (hidup yang bagaimanapun serba kekurangan)

Bagi sebagian besar orang pedesaan, saat mereka hanya bisa menghasilkan sedikit untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar, kemudian iklan yang merayu mereka untuk membeli produk dari perkotaan yang dikendalikan oleh kaum kapitalis dan menggoda dengan gaya hidup perkotaan memicu keinginan-keinginan baru. Sementara penghasilan yang terbatas dan corak produksi yang mandeg ini hanya membuat mereka terus tertekan karena keinginan untuk membeli dan bergaya hidup seperti orang kota tersangkal dengan kenyataan (hidup yang bagaimanapun serba kekurangan).

Para pemuda desapun tidak sabar untuk mendapatkan uang (cash money) untuk bisa segera memenuhi kebutuhan konsumsi. Mereka tahu bahwa kalau hidup hanya mengandalkan pertanian (dan peternakan), maka ‘cash money’ akan terus jauh dari tangan mereka. Mereka ‘emoh’ bergelut dengan tanah dan apa-apa yang tumbuh untuk dimanfaatkan (termasuk pakan ternak). Mereka memilih mencari kerja di kota. Sebagian kecil sekali bisa ikut diterima sebagai buruh pabrik dengan gaji bulanan di daerah perkotaan (terutama kawasan industri). Sebagian lain bekerja sebaga kuli bangunan yang bersifat musiman.

Cerita tentang mencari sesuatu untuk bertahan hidup ini akan menyuguhkan kisah pilu, sekaligus rasa marah karena ternyata banyak bentuk-bentuk relasi yang mengenaskan. Ini yang tampaknya yang luput diangkat dalam narasi-narasi “Mooi Indiesme” yang hanya menyuguhkan keindahan desa-desa, pemandangan yang tampak hijau dan bentuk lekuk tanah yang indah dari cekungan dan gundukan bukit dan gunung serta apa-apa yang berada di antara benda-benda alam itu.

Menonjolkan alam yang indah itu punya efek nyata dalam hal lupa menguak kisah-kisah dari pengorbanan yang diderita—dan kesengsaraan yang nyata—dari manusia-manusia pedesaan. Secara psikologis kesengsaraan itu tak tampak. Kesedihan itu mudah dilipat dalam raut wajah yang terbiasa susah sejak desa-desa jaman feodal dan kolonial secara bergantian atau bersama menjadi objek terhisap para keluarga raja-raja dan tuan-tuan kolonial. Wajah sedih itu disembunyikan dalam ucapan doa-doa harian dan mingguan (baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun yang kolektif). Juga terhimpit di antara khayalan menonton TV dengan acara hiburan maupun iklan.

Efek psikologis itu tidak tampak bagi yang terbiasa menarasikan keindahan alamnya saja. Tapi kalau mau menelisik masalah-masalah yang terjadi, sungguh desa sebenarnya adalah tempat bagi jutaan masalah kemanusiaan yang terkumpul jadi satu. Desa telah menjadi mata rantai paling buntut dari penindasan kapitalisme. Bahan-bahan mentah dibeli dari desa secara murah, diolah di kota dan dikembalikan dalam bentuk produk yang dibuat untuk terus menambah keuntungan para elit kota.

Cara bertahan hidup di desa, yang dilakukan secara mati-matian, baik dengan hanya sekedar mempertahankan diri memanfaatkan lingkungan pedesaan atau yang menempuh bepergian (migrasi) baik dalam waktu sebentar atau lama, akan mengakibatkan pengorbanan yang efek dehumanisasinya lebih parah

Sedang cara bertahan hidup di desa, yang dilakukan secara mati-matian, baik dengan hanya sekedar mempertahankan diri memanfaatkan lingkungan pedesaan atau yang menempuh bepergian (migrasi) baik dalam waktu sebentar atau lama, akan mengakibatkan pengorbanan yang efek dehumanisasinya lebih parah. Anak-anak buruh migran yang terlantar dengan efek buruk pada perkembangan psikis karena pola asuh yang kacau. Dan bentuk-bentuk dari cara mengalihkan ketertekanan menjadi tingkahlaku dan karakter yang menunjukkan “keterbelakangan” kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.

Kemandegan ekonomi berakibat pada kemandegan perkembangan diri. Pertama, kemandegan terjadi karena ketiadaan potensi maupun aktualisasi ilmu dan pengetahuan yang mencerahkan maupun yang melahirkan kreativitas. Ilmu pengetahuan bahkan seakan dianggap tidak penting. Tapi sebenarnya juga ada aspek ketidakpercayaan pada pengetahuan formal (sekolah) yang juga menghasilkan pembiayaan tersendiri—menyedot penghasilan (pendapatan) dari aktivitas ekonomi yang terbatas.

Tulisan direpost dari facebook penulis Nurani Soyomukti

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.