Sabtu, Januari 25, 2025
Google search engine
BerandaHaruskah Kematian Covid-19 Diumumkan?

Haruskah Kematian Covid-19 Diumumkan?

“Kepanikan adalah setengah penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran adalah awal kesembuhan” -Ibnu Sina

Kampusdesa.or.id–Berita kematian, akhir-akhir ini kembali marak. Bahkan ada yang bilang lebih ramai daripada masa awal mewabahnya Covid-19. Pemberitaan dan pengumuman kematian tidak melulu lewat media cetak dan elektronik. Tapi media sosial pun ikut gencar memberitakan dengan berdalih empati, atensi atau belasungkawa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa satu berita kematian saja akan sedikit banyak mempengaruhi psikologi orang yang mendengarnya. Perasaan sedih, prihatin, empati atau lainnya akan muncul dengan sendirinya karena sifat manusiawi. Lantas, bagaimana jika berita itu berulang kali, sering dan beruntun?

Sampai-sampai satu desa di wilayah tempat tinggal kami -menurut salah seorang teman- kepala desanya melarang pengumuman kematian. Entah karena saking seringnya pemberitaan kematian atau khawatir kondisi kejiwaan warganya.

Memberitakan (baca: mengumumkan) kematian seseorang dalam ajaran Islam masih memiliki perdebatan panjang.

Memberitakan (baca: mengumumkan) kematian seseorang dalam ajaran Islam masih memiliki perdebatan panjang. Hulu masalahnya yaitu adanya beberapa hadits yang tampak luar bertentangan. Dalil-dalil tersebut ada yang memperbolehkan pengumuman kematian, karena Nabi Muhammad pernah melakukannya.

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumumkan kematian Raja Najasyi pada hari kematiannya, beliau keluar ke tempat salat, dan membuat shaf bersama para sahabat dan bertakbir empat kali” (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Nawawi memberikan keterangan dalam Syarh Shahih Muslim bahwa hadis tersebut merupakan anjuran untuk memberitahu kematian seseorang. Agar jenazah tersebut disalatkan dan diurus janazahnya.

Di sisi lain ada juga sabda nabi riwayat sahabat Hudzaifah yang melarang pengumuman kematian.

“Hudzaifah bin Al Yaman berkata, “Jika aku mati, janganlah kalian mengumumkan kematianku, karena aku takut hal itu termasuk dari an na’yu. Aku telah mendengar Rasulullah ﷺ melarang an na’yu.” (HR. Tirmidzi).

Ibnu Arabi dalam Tuhfat al-Ahwadzi Syarh Sunan al-Tirmidzi menjelaskan langkah “kompromi” dalam memahami beberapa dalil tersebut. Menurutnya, ada tiga kondisi yang dapat disimpulkan dari beberapa hadits yang tampaknya bertentangan.

Pertama, jika mengumumkan kematian anggota keluarga, sahabat dan orang saleh maka dihukumi sunnah. Kedua, pengumuman kematian seseorang dengan tujuan mengajak untuk merayakan dan membanggakan diri (merasa bagian dari kalangan terhormat), hukumnya makruh. Ketiga, jika mengumumkan dengan tujuan untuk mengajak meratapi kepergian almarhum atau hal lain yang tidak diperbolehkan oleh agama maka dihukumi haram.

Imam Nawawi dalam al-Majmu’ juga memberikan rincian hukum pengumuman kematian. Sesungguhnya pengumuman kematian dengan tujuan memberikan informasi bagi yang tidak mengetahui hukumnya mubah. Namun jika tujuannya agar yang mensalati lebih banyak maka disunnahkan. Dan pengumuman kematian yang dimakruhkan adalah yang bertujuan membanggakan kebaikan orang yang meninggal dengan menyebarkan berita duka tersebut agar orang-orang meratapi kepergiannya.

Pengumuman kematian yang terakhir ini serupa dengan yang terjadi di masa Jahiliyah. Yaitu ketika salah seorang tokoh diantara mereka meninggal dunia, mereka mengutus para penunggang kuda untuk mendatangi kabilah-kabilah dan mengatakan “celaka kalian dengan matinya Si Fulan sambil menangis dan meratapi Si mayit”.

Pendek kata, jika pengumuman kematian itu berimplikasi baik (terhadap mayit, keluarga almarhum atau warga sekitar) maka hukumnya boleh atau bahkan bisa jadi sunnah. Jika tidak, maka makruh atau mungkin bisa juga haram.

Pertanyaannya adalah, bagaimana jika pengumuman kematian (terlepas dari karena terpapar Covid atau lainnya) memiliki dampak psikologis bagi warga yang mendengarnya. Misalnya mereka menjadi resah, gelisah, tegang, risau, takut, panik dan khawatir yang pada akhirnya menyebabkannya sakit?

Baca juga: Positif Covid-19, Suka Duka Hidup di Balik Jendela

Pengumuman dan penyebaran informasi tentang kematian (Covid-19) yang jelas-jelas menimbulkan efek negatif, menurut hemat saya, seharusnya dipertimbangkan manfaat dan mudaratnya. Manakala dirasa lebih besar mudaratnya, maka lebih baik tidak diumumkan. Biarkan warga mendengar sendiri dari mulut ke mulut. Walhasil, kaidah “La Dlarara wala Dlirara” bisa diberlakukan untuk kasus seperti ini.

Karena itu, belakangan ini saya memilih tidak latah memposting berita duka, apalagi almarhum tidak kenal saya dan saya tidak mengenalnya. Kalau hanya sekedar berbelasungkawa, toh bisa dengan mengucapkannya melalui pesan singkat atau mengirimkan doa dan bacaan al-Fatihah padanya.

Tapi, pengumuman kematian itu kan sunnah?

Jangankan sunnah, perkara wajib saja boleh ditinggalkan manakala berakibat tidak baik bagi pelakunya.

Jangankan sunnah, perkara wajib saja boleh ditinggalkan manakala berakibat tidak baik bagi pelakunya. Sekedar contoh (tanpa bermaksud meng-qiyaskan karena saya tidak mendalami Ushul Fiqh) kewajiban menjawab salam.

Ada beberapa kondisi yang seseorang tidak wajib menjawab salam. Antara lain saat makan atau minum, lagi buang air, sedang salat dan lain sebagainya. Bahkan al-Khalwati menyebutkan dalam kitab Tadzkir al-Anam bi Ahkam Al-Salam karya Syekh Abdullah al-Jar Allah, ada 22 keadaan seseorang tidak berkewajiban menjawab salam.

Terlepas dari adanya dalil yang menjadi landasannya, “konon” ada hikmah di balik tidak wajibnya menjawab salam dalam kondisi-kondisi tersebut, yakni menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, orang bisa tersedak jika menjawab salam saat dia makan. Demikian juga menjawabnya ketika buang air, bisa mengurangi kesucian nama Allah dalam salam tersebut.

Sedikit cerita sebagai penutup tulisan ini. Saat seseorang curhat pada guru saya terkait banyaknya berita duka sebab kematian beberapa ulama, habib, kiai atau ustadz, beliau menjawabnya dengan santai. “Tentu saja, karena pertemanan kita baik di dunia nyata maupun dunia maya (medsos) mayoritas dari kalangan mereka. Coba kalau kenalan kita kebanyakan dari golongan pastur, pendeta atau non muslim, pasti beritanya akan berbeda”.

Keyakinan saya, jawaban guru saya tadi untuk menetralisir kekhawatiran sahabatnya yang mungkin juga menghinggapi perasaan banyak orang. Tidak juga bermaksud gegabah dalam menghadapi wabah. Sikap tersebut kurang lebih seperti seorang dokter menerima pengaduan pasiennya. Dokter akan mengatakan bahwa penyakitnya biasa, tidak berbahaya dan bisa cepat disembuhkan. Hal ini agar mental pasien tidak down yang pada akhirnya dapat mempengaruhi proses penyembuhannya. Ini penting karena faktor kejiwaan yang tidak stabil dapat mengurangi imunitas tubuh.

Tidak heran jika beberapa tokoh nasional atau ulama kita memberikan saran untuk menjaga hati, pikiran dan perasaan agar senantiasa bahagia, sabar, tenang dan optimis dalam menghadapi pandemi. Senada dengan perkataan Ibnu Sina (Avicenna), Bapak kedokteran modern: “Kepanikan adalah setengah penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran adalah awal kesembuhan.” Wallahu a’lam.


*Ditulis oleh Dr. Moh. Tohiri Habib, S.Ag., M.Pd.
(Guru MA Matholi’ul Anwar Simo Karanggeneng Lamongan)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments