• Call: +62 858-5656-9150
  • E-mail: [email protected]
Education Blog
  • Home
  • Artikel
    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Trending Tags

    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami
No Result
View All Result
Kampus Desa Indonesia
No Result
View All Result
Home Kuliah Terbuka

Memuja Kemandegan Desa

Nurani Soyomukti by Nurani Soyomukti
March 27, 2022
in Kuliah Terbuka, Ngaji Tani, Opini
197 6
0
Memuja Kemandegan Desa
Share on FacebookShare on Twitter

Eksotisme desa sangat dipuja. Mulai dari alam hingga kebudayaan. Desa diagungkan dalam berbagai kebanggaan orisinalitas. Tetapi situasi yang dipuja itu belum menjanjikan kecukupan ekonomi. Pemuda desa merantau adalah bukti desa tidak memiliki kebanggaan kecuali sebagai tempat kelahiran. Sudah selayaknya diciptakan desa yang tidak sekedar memuja kemandegan desa

Desa-desa yang dipuja itu adalah desa yang mandeg, tidak progresif. Desa yang memang masih kelihatan hijau, meskipun kontur tanahnya rapuh pada saat cuaca-cuaca tertentu menyerang. Banjir dan longsor sebagai bagian cerita ikutannya.

Tetapi ini bukan soal kemandegan alam. Yang namanya alam selalu progresif, mengikuti hukum gerak sebagaimana sabda Heraklitus, yang kemudian diteorikan oleh Engels dan bapaknya Eleanor (suaminya Bu Jenny). Engels dalam “Dialectic of Nature” jelas-jelas menguraikan banyak hal soal hukum gerak dan dialektika alam.

Para penulis, pelukis, dan narator keindahan desa akan berhenti sejenak memuja keindahan alam sesaat setelah terjadinya banjir bandang atau tanah longsor. Mereka melihat alam begitu ganasnya. Mereka juga ikut larut dalam lagu-lagu solidaritas yang mendengung setelah terjadinya bencana. Karena hanya bencana alamlah yang secara naluriah menagih perasaan untuk solider, yang tak jarang diungkapkan dengan cara berbagi.

Tetapi sudahkah para penulis dan kaum intelektual melihat kontradiksi yang kompleks dan dalam dalam relasi sosial-ekonomi di daerah pedesaan, selain menarasikan keindahan desa-desa dengan rasa takjub yang memesonakan sehingga lupa mengangkat jantung kontradiksi sebenarnya yang terjadi di desa dengan relasi-relasi produksinya yang masih eksploitatif?

Kemandegan
Saya kira salah satu ciri kehidupan di desa itu adalah seperti corak feodal pada umumnya. Pada awalnya, kemandegan terjadi karena mereka memperoleh sedikit untuk memenuhi hasil yang sedikit. Tetapi kemudian kerja keras secara fisik tak didukung manajerial pekerjaan (bertani), tanpa modal yang kuat, tanpa kekuasaan untuk mengatur pasar, dan ketidakseimbangan antara biaya produksi dengan harga hasil panen, menjadi penyebab kemandegan maupun keterhisapan.

Penghasilan yang terbatas dan corak produksi yang mandeg ini hanya membuat mereka terus tertekan karena keinginan untuk membeli dan bergaya hidup seperti orang kota tersangkal dengan kenyataan (hidup yang bagaimanapun serba kekurangan)

Bagi sebagian besar orang pedesaan, saat mereka hanya bisa menghasilkan sedikit untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar, kemudian iklan yang merayu mereka untuk membeli produk dari perkotaan yang dikendalikan oleh kaum kapitalis dan menggoda dengan gaya hidup perkotaan memicu keinginan-keinginan baru. Sementara penghasilan yang terbatas dan corak produksi yang mandeg ini hanya membuat mereka terus tertekan karena keinginan untuk membeli dan bergaya hidup seperti orang kota tersangkal dengan kenyataan (hidup yang bagaimanapun serba kekurangan).

Para pemuda desapun tidak sabar untuk mendapatkan uang (cash money) untuk bisa segera memenuhi kebutuhan konsumsi. Mereka tahu bahwa kalau hidup hanya mengandalkan pertanian (dan peternakan), maka ‘cash money’ akan terus jauh dari tangan mereka. Mereka ‘emoh’ bergelut dengan tanah dan apa-apa yang tumbuh untuk dimanfaatkan (termasuk pakan ternak). Mereka memilih mencari kerja di kota. Sebagian kecil sekali bisa ikut diterima sebagai buruh pabrik dengan gaji bulanan di daerah perkotaan (terutama kawasan industri). Sebagian lain bekerja sebaga kuli bangunan yang bersifat musiman.

Cerita tentang mencari sesuatu untuk bertahan hidup ini akan menyuguhkan kisah pilu, sekaligus rasa marah karena ternyata banyak bentuk-bentuk relasi yang mengenaskan. Ini yang tampaknya yang luput diangkat dalam narasi-narasi “Mooi Indiesme” yang hanya menyuguhkan keindahan desa-desa, pemandangan yang tampak hijau dan bentuk lekuk tanah yang indah dari cekungan dan gundukan bukit dan gunung serta apa-apa yang berada di antara benda-benda alam itu.

Menonjolkan alam yang indah itu punya efek nyata dalam hal lupa menguak kisah-kisah dari pengorbanan yang diderita—dan kesengsaraan yang nyata—dari manusia-manusia pedesaan. Secara psikologis kesengsaraan itu tak tampak. Kesedihan itu mudah dilipat dalam raut wajah yang terbiasa susah sejak desa-desa jaman feodal dan kolonial secara bergantian atau bersama menjadi objek terhisap para keluarga raja-raja dan tuan-tuan kolonial. Wajah sedih itu disembunyikan dalam ucapan doa-doa harian dan mingguan (baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun yang kolektif). Juga terhimpit di antara khayalan menonton TV dengan acara hiburan maupun iklan.

Efek psikologis itu tidak tampak bagi yang terbiasa menarasikan keindahan alamnya saja. Tapi kalau mau menelisik masalah-masalah yang terjadi, sungguh desa sebenarnya adalah tempat bagi jutaan masalah kemanusiaan yang terkumpul jadi satu. Desa telah menjadi mata rantai paling buntut dari penindasan kapitalisme. Bahan-bahan mentah dibeli dari desa secara murah, diolah di kota dan dikembalikan dalam bentuk produk yang dibuat untuk terus menambah keuntungan para elit kota.

Cara bertahan hidup di desa, yang dilakukan secara mati-matian, baik dengan hanya sekedar mempertahankan diri memanfaatkan lingkungan pedesaan atau yang menempuh bepergian (migrasi) baik dalam waktu sebentar atau lama, akan mengakibatkan pengorbanan yang efek dehumanisasinya lebih parah

Sedang cara bertahan hidup di desa, yang dilakukan secara mati-matian, baik dengan hanya sekedar mempertahankan diri memanfaatkan lingkungan pedesaan atau yang menempuh bepergian (migrasi) baik dalam waktu sebentar atau lama, akan mengakibatkan pengorbanan yang efek dehumanisasinya lebih parah. Anak-anak buruh migran yang terlantar dengan efek buruk pada perkembangan psikis karena pola asuh yang kacau. Dan bentuk-bentuk dari cara mengalihkan ketertekanan menjadi tingkahlaku dan karakter yang menunjukkan “keterbelakangan” kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.

Kemandegan ekonomi berakibat pada kemandegan perkembangan diri. Pertama, kemandegan terjadi karena ketiadaan potensi maupun aktualisasi ilmu dan pengetahuan yang mencerahkan maupun yang melahirkan kreativitas. Ilmu pengetahuan bahkan seakan dianggap tidak penting. Tapi sebenarnya juga ada aspek ketidakpercayaan pada pengetahuan formal (sekolah) yang juga menghasilkan pembiayaan tersendiri—menyedot penghasilan (pendapatan) dari aktivitas ekonomi yang terbatas.

Tulisan direpost dari facebook penulis Nurani Soyomukti

Tags: desadesa berdikariekonomi desa
Previous Post

Dilema Konten dan Kemasan (1)

Next Post

Nyamannya Menunda Pekerjaan Membuat Kecemasan Meningkat

Nurani Soyomukti

Nurani Soyomukti

RelatedPosts

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang
Kearifan Lokal

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

by Mohammad Mahpur
March 8, 2023
0
230

Kampusdesa.or.id--Kebutuhan mengkaji Islam untuk menguatkan pemahaman lintas agama pada studi Islamologi menghubungkan Balewiyata dengan Pesantren Ainul Yakin Unisma Malang. Tak...

Read more
Sumber photo: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/aparat-polsek-citeureup-mengamankan-bakso-daging-babi-_150201220228-436.jpg
Kuliah Desa

Waspadai Kandungan Boraks atau Garam Kuning

by Redaksi
February 15, 2023
0
336

Kampusdesa.or.id--Borax itu adalah garam bleng atau juga cetitet dalam dunia industri. Boraks menjadi bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu, antiseptik...

Read more
Metode Pemberdayaan Imamah; Mengubah dari Sense of Budgeting ke Sense of Benefit
Kearifan Lokal

Metode Pemberdayaan Imamah; Mengubah dari Sense of Budgeting ke Sense of Benefit

by Mohammad Mahpur
December 29, 2022
0
1k

Kampusdesa.or.id--Siti Nur Imamah menjadi katalisator penghijauan kelor (moringa oleifera) Nganjuk. Saat pemerintah Nganjuk mengalami beberapa kendala melakukan penghijauan dengan anggaran...

Read more

Discussion about this post

Archive Artikel

Most commented

Gagalnya Makalah sebagai Tugas Kuliah

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Waspadai Kandungan Boraks atau Garam Kuning

Balewiyata dan Gus Dur; Situs Toleransi Malang yang Perlu Dirawat

Rembug Komunitas; Gusdurian Malang Tawarkan Peluang Menjadi Aktifis Penggerak

Metode Pemberdayaan Imamah; Mengubah dari Sense of Budgeting ke Sense of Benefit

Kampus Desa Indonesia

Kampus Desa Indonesia

Jl. Raya Candi VI-C Gang Pukesmas No. 4 RT 09 RW 06 Karangbesuki, Sukun, Kota Malang

SK Menkumham No. AHU-01356.AH.02.01 Tahun 2016

Tags

Agenda (36) Aktual (7) Desa Giat (2) Desa Unggul (3) Dokter Rakyat (45) Gubuk Sastra (10) Hari ini (3) Indonesia Menulis COVID 19 (82) Kearifan Lokal (8) Kelas Ekoprinting (3) Kelas Motivasi (1) Kita Belajar Menulis (66) Kopipedia (5) Kuliah Desa (10) kuliah hari ini (2) Kuliah Terbuka (133) Layanan (9) Lifestyle (1) Magang (1) Ngaji Tani (18) Opini (317) Pendidikan Hari Ini (73) Produk (27) Psikologi Hari Ini (126) Refleksi (27) Sepak Bola (6) Uncategorized (147) Wacana (1) World (1)

Recent News

Gagalnya Makalah sebagai Tugas Kuliah

Gagalnya Makalah sebagai Tugas Kuliah

March 27, 2023
Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

March 8, 2023

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In