• Call: +62 858-5656-9150
  • E-mail: [email protected]
Education Blog
  • Home
  • Artikel
    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Mental Passenger, Problem Laten Dunia Pendidikan Kita

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Pandemi COVID-19 Mampu Membangun Percaya Diri dalam Melaksanakan Belajar Dari Rumah

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Peran Pemuda dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Menanya Ulang Tujuan Pendidikan Modern

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Mengenali Emotional Burnout dan Tips Untuk Mengatasinya

    Trending Tags

    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami
No Result
View All Result
Kampus Desa Indonesia
No Result
View All Result
Home Pendidikan Hari Ini

Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

Sigit Priatmoko by Sigit Priatmoko
March 25, 2022
in Pendidikan Hari Ini
235 12
0
Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?
Share on FacebookShare on Twitter

Publik kembali ditampar oleh kasus korupsi. Kali ini yang bikin menyayat hati adalah sasarannya, yaitu bansos untuk masyarakat terdampak Covid-19. Ternyata, korupsi tetap menjadi pekerjaan berat bangsa ini. Kasus-kasus baru terus bermunculan seolah tak peduli lagi pada hukuman dan moral. Bagaimana peran yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan?

Kampusdesa.or.id-Korupsi bisa diibaratkan tumor ganas. Bila tidak segera terdeteksi dan mendapatkan penanganan yang tepat sedini mungkin, akibatnya bisa fatal. Si penderita bisa meninggal mendadak atau paling tidak mengalami kondisi kritis tanpa diduga. Begitupun korupsi bagi demokrasi.

Sejatinya, korupsi bukanlah penyakit demokrasi saja, sistem pemerintahan lain juga tidak lepas dari inveksi penyakit mematikan ini. Arab Saudi misalnya, dilansir liputan6.com, sebanyak 298 pejabatnya tersandung kasus korupsi. Begitu juga Thailand. Negeri Gajah Putih ini belakangan malah sibuk dengan skandal anggota kerajaannya.

Di Indonesia, hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang korupsi oleh media massa. Terbaru, kita dikagetkan dengan kasus korupsi Menteri Sosial, Juliari P. Batubara terhadap Bantuan Sosial (Bansos) untuk masyarakat terdampak Covid-19. Kasus yang membuat masyarakat geram ini sedang dikembangkan lebih lanjut penyelidikannya oleh pihak berwajib.

Baca Juga:

Ketika Pendidikan Anti Korupsi Menjadi PR Bagi Guru

Sebenarnya bermacam upaya sudah dilakukan untuk menanggulangi korupsi di negara kita. Mulai dari pembentukan KPK, revisi UU, pengkajian hukuman mati, hingga pendidikan anti korupsi. Namun, tetap saja, kasus-kasus baru terus bermunculan. Dari sini dapat kita katakan bahwa korupsi merupakan penyakit yang kompleks dan membutuhkan cara yang kompleks pula untuk menyembuhkannya.

Sebab begitu luasnya cakupan garapan untuk menyembuhkan korupsi, tentu membahasnya dalam tulisan singkat ala kadarnya seperti ini tidaklah tepat dan memadai. Untuk itu, saya akan fokus saja pada salah satu sisi yang sesuai dengan kapasitas saya, yaitu pendidikan.

Akar Masalah Korupsi

Bila kita telisik lebih dalam, akar penyebab munculnya tindakan korupsi sebagaimana dikatakan mantan wakil ketua KPK, Busyro Muqoddas, adalah lemahnya integritas, kejujuran, dan moral. Senada, Romli Atmasasmita, Guru Besar Universitas Padjajaran juga mengatakan bahwa ternyata akar masalah korupsi ada pada diri kita masing-masing (Sindonews.com).

Lebih lanjut, Romli menyatakan korupsi bukanlah kesalahan komponen politik semata, melainkan juga seluruh lapisan masyarakat yang telah melupakan pentingnya pendidikan sejak SD sampai perguruan tinggi, proses rekrutmen dalam pekerjaan sampai pada purnatugas, baik di birokrasi maupun swasta.

Lemahnya integritas, kejujuran, dan moral merupakan cerminan ada yang kurang tepat (jika enggan berkata salah) dengan sistem pendidikan kita.

Nah, berkaca pada dua pernyataan pakar tersebut, dapat kita katakan bahwa pendidikan memainkan peran sentral di sini. Lemahnya integritas, kejujuran, dan moral merupakan cerminan ada yang kurang tepat (jika enggan berkata salah) dengan sistem pendidikan kita. Baik itu pendidikan formal melalui lembaga pendidikan, maupun pendidikan paling mendasar, yaitu keluarga. Termasuk pula pendidikan dalam proses pelaksanaan tugas di birokrasi maupun swasta.

Kekurangtepatan tersebut adalah masih belum diprioritaskannya pendidikan nilai. Sungguhpun, secara legalitas, sistem pendidikan kita sudah menaruh perhatian pada tiga domain dalam diri peserta didik; kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun, dalam praktiknya, domain afektif belum mendapatkan porsi yang semestinya. Jikapun sudah, mungkin metodenya yang perlu dikaji ulang.

Penguatan Pendidikan Nilai: Belajar dari Pesantren

Untuk menemukan metode yang tepat, kita harus kembali menengok karakteristik dari masing-masing domain. Kognitif misalnya, domain ini berhubungan dengan akal atau intelek. Pengembangannya jelas membutuhkan metode yang merangsang rasa ingin tahu, menajamkan analisis kritis, berbasis mengalami, dan seterusnya.

Banyak pendidik yang mengajarkan nilai atau karakter tapi hanya sebatas pada retorika dan hapalan konsep. Aspek keteladanan dan praktik pengalaman langsung kurang ditekankan.

Sementara afektif berhubungan dengan psikis, jiwa, dan emosi. Tentu tidak bisa dikembangkan hanya menggunakan metode hapalan atau drill. Inilah yang sering kali luput dari perhatian. Banyak pendidik yang mengajarkan nilai atau karakter tapi hanya sebatas pada retorika dan hapalan konsep. Aspek keteladanan dan praktik pengalaman langsung kurang ditekankan.

Baca Juga:

OTT; Musibah Terdahsyat Lombok Paska Gempa

Setali tiga uang, proses penilaian atau evaluasinya juga berbasis pada ingatan. Akhirnya, proses pengembangan domain afektif tak jauh beda (atau sama?) dengan domain kognitif. Lulusan pendidikan kita pun menjadi manusia yang fasih berkata-kata tapi lemah dalam tindakan nyata. Kata pepatah Jawa, “Suwal bedah ra iso ndondomi, iso kojah ra iso ngelakoni”.

Lihat saja para koruptor, mereka bukanlah orang yang tak berpendidikan. Gelar akademik tersemat mentereng di samping nama mereka. Tentu mereka akan fasih bila ditanya apa itu definisi jujur, apa itu definisi disiplin, apa itu definisi amanah, dan seterusnya.

Pendidikan nilai di pesantren tidak hanya mengajarkan konsep, tapi aplikasi langsung dalam kehidupan sehari-hari. Santri tidak hanya diajarkan bahwa tawadlu’ kepada guru itu penting, tapi juga bagaimana praktik tawadlu’ itu.

Dalam hal ini, kita bisa belajar dari pesantren. Pendidikan nilai di pesantren tidak hanya mengajarkan konsep, tapi aplikasi langsung dalam kehidupan sehari-hari. Santri tidak hanya diajarkan bahwa tawadlu’ kepada guru itu penting, tapi juga bagaimana praktik tawadlu’ itu. Tidak tanggung-tanggung, para kiai sendiri yang mencontohkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sejak awal, santri sudah didoktrin bahwa bekal untuk kehidupan akhirat lebih penting dibanding urusan dunia. Meskipun, santri juga tidak boleh mengabaikan kehidupan dunia. Intinya, santri diajarkan untuk seimbang dalam menempatkan keduanya. Makanya, tidak sulit kita temui pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu duniawi seperti dagang, teknologi, kerajinan tangan, tai, dan ternak kepada para santrinya.

Tidak hanya itu, para kiai juga mengkombinasikan upaya lahiriah tersebut dengan upaya batiniah atau spiritual yakni melalui doa dan tirakat. Kombinasi inilah yang jarang kita jumpai di institusi pendidikan formal. Bahkan, di lingkungan keluarga sekalipun. Seolah-olah jika anak sudah dimasukkan ke sekolah, tanggungjawab orangtua untuk mendidik gugur dengan sendirinya.

Akhirnya, bila pendidikan nilai dikuatkan sedini mungkin, kemungkinan intensitas seseorang untuk melakukan korupsi dapat diperkecil. Yang bersangkutan akan selalu ingat dan waspada bahwa segala tindak-tanduknya kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Juga, ia meyakini bahwa kebahagiaan tidak akan didapat dengan cara merampas hak yang bukan miliknya.

Tags: korupsiOrientasi PendidikanPendidikan
Previous Post

Menalar Covid-19: Ragam Gagasan Menyikapi Pandemi

Next Post

Bullying, Benarkah Menyisakan Trauma Seumur Hidup?

Sigit Priatmoko

Sigit Priatmoko

RelatedPosts

6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak
Pendidikan Hari Ini

6 Jenis Konsentrasi yang Mempengaruhi Keberhasilan Belajar Anak

by Siti Fatimah
March 28, 2022
0
239

6 jenis konsentrasi mempunyai pengaruhnya masing-masing bagi keberhasilan belajar anak. Apa saja dan bagaimana pengaruh dari setiap konsentrasi? Kampusdesa.or.id --...

Read more
Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar
Opini

Semua Orang Adalah Guru Bagi Siswa Merdeka Belajar

by Mohammad Mahpur
March 27, 2022
0
221

Hari guru pada 25 November ini mengingatkan saya tentang merdeka belajar. Saat banyak orang, bahkan siswa bisa mengembangkan diri tanpa...

Read more
Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?
Opini

Media Sosial dalam Pembelajaran: Masih Relevankah Penolakan?

by Sigit Priatmoko
March 25, 2022
0
239

Media sosial hari ini telah menjadi realitas yang sulit dipisahkan dari keseharian peserta didik kita. Hampir setiap saat mereka ditemani...

Read more

Discussion about this post

Archive Artikel

Most commented

Gagalnya Makalah sebagai Tugas Kuliah

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Waspadai Kandungan Boraks atau Garam Kuning

Balewiyata dan Gus Dur; Situs Toleransi Malang yang Perlu Dirawat

Rembug Komunitas; Gusdurian Malang Tawarkan Peluang Menjadi Aktifis Penggerak

Metode Pemberdayaan Imamah; Mengubah dari Sense of Budgeting ke Sense of Benefit

Kampus Desa Indonesia

Kampus Desa Indonesia

Jl. Raya Candi VI-C Gang Pukesmas No. 4 RT 09 RW 06 Karangbesuki, Sukun, Kota Malang

SK Menkumham No. AHU-01356.AH.02.01 Tahun 2016

Tags

Agenda (36) Aktual (7) Desa Giat (2) Desa Unggul (3) Dokter Rakyat (45) Gubuk Sastra (10) Hari ini (3) Indonesia Menulis COVID 19 (82) Kearifan Lokal (8) Kelas Ekoprinting (3) Kelas Motivasi (1) Kita Belajar Menulis (66) Kopipedia (5) Kuliah Desa (10) kuliah hari ini (2) Kuliah Terbuka (133) Layanan (9) Lifestyle (1) Magang (1) Ngaji Tani (18) Opini (317) Pendidikan Hari Ini (73) Produk (27) Psikologi Hari Ini (126) Refleksi (27) Sepak Bola (6) Uncategorized (147) Wacana (1) World (1)

Recent News

Gagalnya Makalah sebagai Tugas Kuliah

Gagalnya Makalah sebagai Tugas Kuliah

March 27, 2023
Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

Balewiyata-Unisma; Situs Toleransi Gereja-Pesantren di Malang

March 8, 2023

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

No Result
View All Result
  • Home
  • Artikel
    • Opini
      • Psikologi Hari Ini
      • Pendidikan Hari Ini
      • Refleksi
      • Gubuk Sastra
      • Sepak Bola
  • Agenda
  • Hari ini
  • Profil Kami

© 2022 Kampusdesa.or.id - Designed with 💕 RuangBit.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In