Korupsi Merajalela, Pendidikan Harus Bagaimana?

331
SHARES
2.5k
VIEWS

Publik kembali ditampar oleh kasus korupsi. Kali ini yang bikin menyayat hati adalah sasarannya, yaitu bansos untuk masyarakat terdampak Covid-19. Ternyata, korupsi tetap menjadi pekerjaan berat bangsa ini. Kasus-kasus baru terus bermunculan seolah tak peduli lagi pada hukuman dan moral. Bagaimana peran yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan?

Kampusdesa.or.id-Korupsi bisa diibaratkan tumor ganas. Bila tidak segera terdeteksi dan mendapatkan penanganan yang tepat sedini mungkin, akibatnya bisa fatal. Si penderita bisa meninggal mendadak atau paling tidak mengalami kondisi kritis tanpa diduga. Begitupun korupsi bagi demokrasi.

RelatedPosts

Sejatinya, korupsi bukanlah penyakit demokrasi saja, sistem pemerintahan lain juga tidak lepas dari inveksi penyakit mematikan ini. Arab Saudi misalnya, dilansir liputan6.com, sebanyak 298 pejabatnya tersandung kasus korupsi. Begitu juga Thailand. Negeri Gajah Putih ini belakangan malah sibuk dengan skandal anggota kerajaannya.

Di Indonesia, hampir setiap hari kita disuguhi berita tentang korupsi oleh media massa. Terbaru, kita dikagetkan dengan kasus korupsi Menteri Sosial, Juliari P. Batubara terhadap Bantuan Sosial (Bansos) untuk masyarakat terdampak Covid-19. Kasus yang membuat masyarakat geram ini sedang dikembangkan lebih lanjut penyelidikannya oleh pihak berwajib.

Baca Juga:

Ketika Pendidikan Anti Korupsi Menjadi PR Bagi Guru

Sebenarnya bermacam upaya sudah dilakukan untuk menanggulangi korupsi di negara kita. Mulai dari pembentukan KPK, revisi UU, pengkajian hukuman mati, hingga pendidikan anti korupsi. Namun, tetap saja, kasus-kasus baru terus bermunculan. Dari sini dapat kita katakan bahwa korupsi merupakan penyakit yang kompleks dan membutuhkan cara yang kompleks pula untuk menyembuhkannya.

Sebab begitu luasnya cakupan garapan untuk menyembuhkan korupsi, tentu membahasnya dalam tulisan singkat ala kadarnya seperti ini tidaklah tepat dan memadai. Untuk itu, saya akan fokus saja pada salah satu sisi yang sesuai dengan kapasitas saya, yaitu pendidikan.

Akar Masalah Korupsi

Bila kita telisik lebih dalam, akar penyebab munculnya tindakan korupsi sebagaimana dikatakan mantan wakil ketua KPK, Busyro Muqoddas, adalah lemahnya integritas, kejujuran, dan moral. Senada, Romli Atmasasmita, Guru Besar Universitas Padjajaran juga mengatakan bahwa ternyata akar masalah korupsi ada pada diri kita masing-masing (Sindonews.com).

Lebih lanjut, Romli menyatakan korupsi bukanlah kesalahan komponen politik semata, melainkan juga seluruh lapisan masyarakat yang telah melupakan pentingnya pendidikan sejak SD sampai perguruan tinggi, proses rekrutmen dalam pekerjaan sampai pada purnatugas, baik di birokrasi maupun swasta.

Lemahnya integritas, kejujuran, dan moral merupakan cerminan ada yang kurang tepat (jika enggan berkata salah) dengan sistem pendidikan kita.

Nah, berkaca pada dua pernyataan pakar tersebut, dapat kita katakan bahwa pendidikan memainkan peran sentral di sini. Lemahnya integritas, kejujuran, dan moral merupakan cerminan ada yang kurang tepat (jika enggan berkata salah) dengan sistem pendidikan kita. Baik itu pendidikan formal melalui lembaga pendidikan, maupun pendidikan paling mendasar, yaitu keluarga. Termasuk pula pendidikan dalam proses pelaksanaan tugas di birokrasi maupun swasta.

Kekurangtepatan tersebut adalah masih belum diprioritaskannya pendidikan nilai. Sungguhpun, secara legalitas, sistem pendidikan kita sudah menaruh perhatian pada tiga domain dalam diri peserta didik; kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun, dalam praktiknya, domain afektif belum mendapatkan porsi yang semestinya. Jikapun sudah, mungkin metodenya yang perlu dikaji ulang.

Penguatan Pendidikan Nilai: Belajar dari Pesantren

Untuk menemukan metode yang tepat, kita harus kembali menengok karakteristik dari masing-masing domain. Kognitif misalnya, domain ini berhubungan dengan akal atau intelek. Pengembangannya jelas membutuhkan metode yang merangsang rasa ingin tahu, menajamkan analisis kritis, berbasis mengalami, dan seterusnya.

Banyak pendidik yang mengajarkan nilai atau karakter tapi hanya sebatas pada retorika dan hapalan konsep. Aspek keteladanan dan praktik pengalaman langsung kurang ditekankan.

Sementara afektif berhubungan dengan psikis, jiwa, dan emosi. Tentu tidak bisa dikembangkan hanya menggunakan metode hapalan atau drill. Inilah yang sering kali luput dari perhatian. Banyak pendidik yang mengajarkan nilai atau karakter tapi hanya sebatas pada retorika dan hapalan konsep. Aspek keteladanan dan praktik pengalaman langsung kurang ditekankan.

Baca Juga:

OTT; Musibah Terdahsyat Lombok Paska Gempa

Setali tiga uang, proses penilaian atau evaluasinya juga berbasis pada ingatan. Akhirnya, proses pengembangan domain afektif tak jauh beda (atau sama?) dengan domain kognitif. Lulusan pendidikan kita pun menjadi manusia yang fasih berkata-kata tapi lemah dalam tindakan nyata. Kata pepatah Jawa, “Suwal bedah ra iso ndondomi, iso kojah ra iso ngelakoni”.

Lihat saja para koruptor, mereka bukanlah orang yang tak berpendidikan. Gelar akademik tersemat mentereng di samping nama mereka. Tentu mereka akan fasih bila ditanya apa itu definisi jujur, apa itu definisi disiplin, apa itu definisi amanah, dan seterusnya.

Pendidikan nilai di pesantren tidak hanya mengajarkan konsep, tapi aplikasi langsung dalam kehidupan sehari-hari. Santri tidak hanya diajarkan bahwa tawadlu’ kepada guru itu penting, tapi juga bagaimana praktik tawadlu’ itu.

Dalam hal ini, kita bisa belajar dari pesantren. Pendidikan nilai di pesantren tidak hanya mengajarkan konsep, tapi aplikasi langsung dalam kehidupan sehari-hari. Santri tidak hanya diajarkan bahwa tawadlu’ kepada guru itu penting, tapi juga bagaimana praktik tawadlu’ itu. Tidak tanggung-tanggung, para kiai sendiri yang mencontohkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sejak awal, santri sudah didoktrin bahwa bekal untuk kehidupan akhirat lebih penting dibanding urusan dunia. Meskipun, santri juga tidak boleh mengabaikan kehidupan dunia. Intinya, santri diajarkan untuk seimbang dalam menempatkan keduanya. Makanya, tidak sulit kita temui pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu duniawi seperti dagang, teknologi, kerajinan tangan, tai, dan ternak kepada para santrinya.

Tidak hanya itu, para kiai juga mengkombinasikan upaya lahiriah tersebut dengan upaya batiniah atau spiritual yakni melalui doa dan tirakat. Kombinasi inilah yang jarang kita jumpai di institusi pendidikan formal. Bahkan, di lingkungan keluarga sekalipun. Seolah-olah jika anak sudah dimasukkan ke sekolah, tanggungjawab orangtua untuk mendidik gugur dengan sendirinya.

Akhirnya, bila pendidikan nilai dikuatkan sedini mungkin, kemungkinan intensitas seseorang untuk melakukan korupsi dapat diperkecil. Yang bersangkutan akan selalu ingat dan waspada bahwa segala tindak-tanduknya kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Juga, ia meyakini bahwa kebahagiaan tidak akan didapat dengan cara merampas hak yang bukan miliknya.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.