Ulil Abshor Abdala; Peradaban Air Sebagai Praksis Fiqh Peradaban

Kampusdesa.or.id–Pengelompokan fungsi kordinasi Lembaga Seni Budaya Muslimin (LESBUMI), Lembaga Kajian Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam), dan Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PCNU Kota Malang berujung pada kelahiran wacana baru Fiqh Peradaban yang direspon positif melalui kehadiran ketua PB Lakpesdam NU, Ulil Abshor Abdala, di Malang. Di awal, diskusi tiga lembaga memang bermaksud mengambil irisan isu kebudayaan yang lebih khas Malang. Jika Lesbumi Nasional berusaha mengambil kekuatan gerakan manifestasi kebudayaan, maka Malang semestinya mengambil irisan yang cocok dengan isu kritis yang terjadi.

Al-hasil, irisan yang disepakati adalah mengangkat isu kebudayaan tetapi dibangun melalui gerakan kebudayaan berbasis air, atau sungai (peradaban air). Inspirasi inilah yang menjadi spirit kebudayaan sungai sebagai isu lingkungan yang dilengkapi dengan perjumpaan tiga lembaga (Lesbumi, Lakpesdam, LBM) sebagai isu bersama. Kesepakan ini mencuat menjadi isu yang diangkat menjadi tema Pengukuhan Pengurus menjadi Halaqoh Fiqh Peradaban, yakni Peran NU dan Menjaga Relasi Sosial, Tradisi dan Lingkungan di Malang, pada Sabtu, 10 September 2022 di Gedung Nuswantara, Lt. 7 Fisip Universitas Brawijaya, dimulai pukul 09:00 sd 12:30 WIB.

RelatedPosts

Kehadiran Ulil Abshor Abdala ternyata beririsan dengan kebutuhan menyukseskan istilah yang diangkat Ketum PBNU Yahya C. Staquf bahwa NU hari ini membutuhkan semacam spirit untuk mengembangkan Fiqh Peradaban sebagai episentrum peradaban dunia. Nah, pengukuhan pengurus tiga lembaga PCNU tersebut akhirnya dapat diakui sebagai bagian dari spirit besar PBNU dalam memenuhi 250 halaqoh fiqh peradaban yang ditargetkan dapat diselenggarakan di tahun pertama kepengurusan PBNU, jelas Ulil Abshor yang juga menantu Kiai sekaligu seniman, Gus Mus.

Baca juga: Manakib tradisi keilmuan santri untuk Indonesia

Meski sebenarnya halaqoh fiqh peradaban diselenggarakan di pesantren, namun menurut Ulil, untuk kali ini dapat dimaklumi dan diakui sebagai bagian dari penambahan quota halaqoh fiqh peradaban. Memang, dari tiga lembaga PCNU yang dikukuhkan ini sudah mendiskusikan isu bersama yang saling melengkapi. Dengan begitu, isu relasi sosial, tradisi, dan lingkungan yang diangkat oleh PCNU melalui pengukuhan tiga lembaga menjadi salah satu bagian penting bagi diskursus halaqoh fiqh peradaban.

Kebangkitan Pemikiran Gus Dur

Sebagian besar yang hadir kemudian mulai diajak menyelami dan memahami kronologi halaqoh fiqh peradaban menjadi isu bersama PBNU di masa kepemimpinan Yahya C. Tsaquf.  Istilah fiqh peradaban muncul dari gagasan orisinil dari Ketum PBNU. Inspirasinya muncul dari semangat Gus Dur yang mengusun halaqoh rekontekstualisasi kitab kuning pada Muktamar ke-28 di Krapyak Yogyakarta. Spirit mengusung tema-tema di kitab kuning sebagai diskursus terbuka, yang tidak hanya milik pesantren. Spirit ini dipilih Gus Dur agar Aswaja, kitab kuning, dan pemikiran pesantren dapat hadir menjawab permasalahan lebih luas di masyarakat.

Halaqoh kitab kuning ini kemudian digawangi oleh KH. Masdar F. Mas’udi, waktu itu. Berusaha melanjutkan gagasan Gus Dur, lahirlan visi Gus Yahya hingga 2027 pada masa kepemimpinannya tidak lain sebagai upaya membangkitkan Gus Dur dari alam barzah dengan menetapkan visi fiqh peradaban sebagai tawaran global dari NU, jelas Ulil, yang terkenal melalui ngaji online ihya’ ulumuddin di media sosial internet.

Istilah mengubah kesadaran

Fiqh peradaban menjadi istilah yang bertujuan merebut narasi dunia sebagai kontinum (keberlanjutan) dari lesson learned menggema istilah Islam Nusantara di masa Ketum PBNU KH. Said Aqil Shiraj. Ketika Gus Dur membangun gagasan pesantren sebagai sub-kultur, Islam Nusantara menjadi istilah yang secara domestik mampu meningkatkan identitas keberagamaan secara massif di kalangan NU dan simpatisan keislaman di Indonesia. Bahkan, istilah itu telah meningkatkan gairah baru, respon, dan daya tarik dunia terhadap Islam Indonesia yang dinarasikan NU melalui percikan pemikiran Islam Nusantara.

Islam Nusantara menjadi kiblat baru praktik-praktik keberagaman, kebangsaan, dan hubungan kawasan yang memberikan kontribusi bagi harapan baru Islam rahmatan lil-alamin. Narasi tersebut melahirkan kesadaran baru bagi NU sedemikian menjadikan istilah kesuksesa Islam Nusantara perlu ditingkatkan pengaruhnya lebih tinggi menjadi diskursus dunia. Fiqh peradaban lantas menjadi istilah lanjutan yang diharapkan memberikan ruang inklusif bagi dunia untuk saling ditemuwicarakan sebagai tantangan baru. Jika Islam Nusantara telah menggairahkan kesadaran domestik, fiqh peradaban menjadi permainan bahasa yang dapat memengaruhi kesadaran global, begitu senarai yang bisa diejaulang dari penjabaran Ulil Abshar Abdala.

Baca juga: Kiat Jitu Memulai Melapak di Shopee

Fiqh peradaban bernalar istiqra’, yakni sebuah model bernalar induktif yang dibangun dari modal bermazhab qauli ke manhaji. Sebuah arena pemikiran metodologis yang bermuara pada perbincangan dalam merespon peristiwa dunia yang kemudian melahirkan dalil-dalil konstruktif bagi keberagamaan lintas kawasan. Nalar istiqra’ sebagai pengambilan hukum dicirikan tiga hal, penerapan hukum tidak hanya tunggal, yang universal atau partikular; berprinsip qara’in al-ahwal (indikasi keadaan tertentu) mencakup yang manqul (nash) atau ghoiru manqul (konteks bermasyarakat); dan tidak semata bermetode bayani, tetapi mencermati konteks yang berkembang (Mashudi, 2014; Safriadi, 2019).

Fiqh peradaban tidak semata bermuara pada model penemuan hukum, tetapi juga untuk memahami perkembangan pengalaman keagamaan (fiqh li fahmi). Sedemikian sehingga fiqh peradaban menjadi ruang pemikiran yang dapat dijangkau siapa saja di dunia, tidak semata urusan mindset ubudiyah, tegas Ulil.

Tantangan peradaban air

Pengukuhan tiga lembaga Lakpesdam, Lesbumi, dan Lembaga Bahtsul Masa’il menjadi tertantang. Lesbumi yang berusaha menghidupi perspektif isu lokal konservasi air (sungai) melalui pendekatan budaya merasa tertantang menjadikan sungai sebagai isu global dalam melengkapi visi fiqh peradaban PBNU. Peradaban air menjadi tagline yang penting dalam melengkapi khazanah fiqh peradaban. Apalagi, air di nusantara ini menjadi lanskap peradaban yang di sekitarnya dihidupi oleh kerajaan besar dan pesantren.

Contoh nyata adalah sungai Brantas. Sungai Brantas adalah tata ruang pusat peradaban dan pusat transportasi, tetapi Belanda mulai mengubah jantung peradaban air ke jalur darat demi kepentingan jalur ekonomi. Akhirnya sungai menjadi tata ruang wingking (belakang). Padahal sungai dalam perspektif peradaban air ditempatkan sebagai halaman depan kehidupan, Jelas Akhmad Rifai, aktifis Saberpungli, sebuah gerakan pembersihan sampah Sungai Brantas. Dalam perspektif Lesbumi, melalui spirit Akhmad Rifai, peradaban air perlu dijadikan gerakan untuk memulihkan fungsi sungai sebagai kesadaran hidup, yang berarti menjadi bagian dari peradaban.

Bahkan nilai keuniversalannya dapat diperkuat dengan semangat toleransi yang inklusif. “Air bicara. Jangan bicara apa agamamu, tetapi sungaimu kotor.” Gerakan Akhmad Rifai telah mewakili sebagian kekhususan peradaban air. Selain bergerak di pembersihan sungai, nilai budaya sekitar sungai juga telah dihidupkan oleh Rifai melalui berbagai aksi seni dan budaya. Spirit Rifai telah membuka sebagian kecil aksi komunitas untuk menghidupkan lagi peradaban sungai.

Hastaq yang diusung “Kami sudah, kamu kapan,” tegas Rifai. Ketika sungai telah menjadi halaman belakang, sungai menjadi bak sampah, maka peradaban air perlu menjadi kekuatan baru bagi NU melalui berbagai pendekatan pemberdayaan seni, budaya, dan keagamaan (seperti di bahtsul masa’ilnya). Sungai tidak dijadikan punggung, tetapi sebagai muka kehidupan yang ditopang oleh kesadaran semua orang. 

Dalam sudut pandang keagamaan, suatu misal terkait dengan bahtsul masa’il, perspektif peradaban air tidak melulu mengenai status air dalam perspektif hukum kesucian air. Lebih luas dari itu, peradaban air yang perlu dikonservasi jelas membutuhkan sebuah perspektif hukum yang inklusif, apalagi jika diruntut aneka budaya yang melingkupi air terkadang bersinggungan dengan ragam ritual dan keyakinan yang berbeda-beda. Tantangan riil di Lembaga Bahtsul Masa’il menjadi kontradiktif ketika bergerak pada level hukum penghakiman. Justru LBM dapat merespon pengalaman Rifai, selama ini belum ditemukan di Malang Raya terkait dengan Perda Lingkungan yang kuat.

Bagi saya pribadi sebagai penulis artikel ini, Bahtsul masa’il akan semakin berkonstribusi ketika mampu memberikan sudut pandang keagamaan yang memperkuat afirmasi Perda lingkungan yang bertujuan meningkatkan nilai konservasi peradaban air sebagai praktik muamalah inklusif. Sebuah relasi kehidupan yang menghormati keragaman hidup dan praktik menjaga sungai sebagai kesadaran bersama meruwa dan merawat keseimbangan alam di ekosistem sungai.

Praksis fiqh peradaban NU Malang

Setelah menyimak presentasi Ulil Abshor Abdala, Imron Rosyadi Hamid, Ahmad Rifai, dan Imron Rozuli, saya berkesimpulan konservasi peradaban air dapat menjadi bagian dari isu lokal untuk merebut isu global fiqh peradaban dengan pendekatan penguatan sumberdaya manusia di bidang lingkungan hidup (Lakpesdam), sudut pandang konservasi dengan metodologi perubahan menggunakan pendekatan seni dan budaya (Lesbumi), dan pengembangan kajian fiqhiyah melalui tematik ijtihad muamalaf inklusif yang berorientasi pada bahan kajian Peraturan Daerah Lingkungan Hidup yang berkelanjutan.

Apalagi Imron Rosyadi Hamid, Wasekjen PBNU, telah memantik kekuatan peradaban timur (China), saat ini lebih cepat secara teknologi menguasai berbagai keahlian di bidang pembangunan jembatan mengalahkan Amerika. Strategi peradaban air dapat menjadi spirit bagi sebagian kerja fiqh peradaban yang menurut sudut pandang Ulil, dapat memberikan ruang bagi dialektika (diskusi) dunia. Selain itu, Akhmad Rifai telah juga sukses menggaungkan konservasi sungai ke dunia barat (Eropa) melalui aktifasi teknologi dengan melibatkan kontributor google. Praksis peradaban air dapat menjadi literasi bagi kesadaran bersama, sebagai “The Protestan Ethic”-nya PCNU Kota Malang.

Picture of Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.