Memaknai Sosok Warok Dalam Perayaan Hari Besar Kemerdekaan

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Reog Ponorogo adalah salah satu kekayaan bangsa Indonesia. Di mana-mana kita bisa menjumpai pertunjukkan seni budaya Reog dengan gagah. Reog sebenarnya menjelmakan suatu kearifan lokal tentang wewarah. Wewarah tidak lain merupakan petuah kebajikan yang selalu dibutuhkan oleh orang lain. Inilah substansi arti dari Warok. 

Kampusdesa.or.id–Perayaan tahunan dalam rangka Peringatan Hari Besar Nasional (PHBN) Kemerdekaan Republik Indonesia selalu menjadi perayaan tahunan yang begitu meriah di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan beragam ide, kreasi dan inovasi peragaan yang ditampilkan sebagai ajang perlombaan. Berbagai macam jenis perlombaan menjadi kewajiban sebagai keikutsertaan dalam memeriahkan kegiatan. Sudah barang tentu perayaan  diikuti oleh beberapa lembaga pendidikan mulai dari tingkat PAUD hingga tingkat SLTA, serta instansi-instansi lain hingga perwakilan antar desa yang masuk kategori umum.

RelatedPosts

Antusiasme masyarakat setiap tahunnya bisa dipastikan mengalami peningkatan. Gagasan-gagasan kreatif selalu muncul guna terciptanya semangat nasionalisme kebangsaan yang membara, tentu saja dalam rangka meningkatkan rasa kecintaan dan kepemilikan terhadap bangsa. Keberagaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia mampu direproduksi dalam memaknai Indonesia. Tidak terkecuali dengan antusiasme seluruh warga SMK Negeri 1 Panggul.

Sekolah yang berjalan baru hampir 2 tahun ini ikut memeriahkan perayaan kembali, setelah tahun 2018 lalu keikutsertaannya tercatat dalam pawai seni di kecamatan Panggul. Terlebih dalam ajang baris-berbaris atau istilahnya lebih populer dengan sebutan Gerak Jalan. Meskipun termasuk sekolah rintisan yang belum berusia lama, tidak lantas membuat seluruh warganya menjadi ciut nyali.

Melihat antusiasme bapak/ibu guru beserta staf karyawan SMKN 1 Panggul tahun kemarin dengan berani mengambil tema pakaian adat jawa ‘Surjan’ beserta dengan aba-aba yang memakai bahasa jawa, kali ini mereka dengan berani kembali menampilkan hal yang tidak biasa dengan mengambil tema pakaian yang berbeda. Bersama dengan gerakan uniknya, keluarga besar SMKN 1 Panggul ini mengambil tema pakaian salah satu kesenian rakyat dengan tokoh bernama Warok yang tidak lain adalah sosok yang terdapat dalam tarian khas Reog Ponorogo lengkap dengan aba-aba berbahasa jawa.

Menurut beberapa sumber, munculnya sosok warok tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kerajaan Majapahit abad ke-15. Sebut saja Ki Ageng Kutu yang kala itu menjadi penguasa Wengker dan mendirikan padepokan yang mengajarkan ilmu kanuragan. Tujuan dari pendirian padepokan tersebut tidak lain untuk mencetak pemuda-pemuda sakti mandraguna. Namun ketika Ki Ageng Kutu dikalahkan oleh utusan Majapahit, kemudian muncul tokoh bernama Raden Bathoro Katong yang menjabat sebagai Bupati pertama Ponorogo di kemudian hari. Sehingga, beberapa bekas murid Ki Ageng Kutu yang telah menyerah dihimpun menjadi manggala (atau istilah lain yaitu prajurit) negeri. Para prajurit inilah yang kemudian disebut dengan warok dan didaulat untuk mempertahankan Ponorogo.

Istilah warok sendiri berasal dari bahasa jawa wewarah yang artinya mampu memberi tuntunan dan ajaran perihal kehidupan. Terkadang ia diterjemahkan sebagai sosok yang dikenal sebagai seseorang yang ‘menguasai ilmu’,

Istilah warok sendiri berasal dari bahasa jawa wewarah yang artinya mampu memberi tuntunan dan ajaran perihal kehidupan. Terkadang ia diterjemahkan sebagai sosok yang dikenal sebagai seseorang yang ‘menguasai ilmu’, atau dalam istilah kejawen disebut dengan ngelmu. Selain itu, warok juga dikenal memiliki sifat ksatria di antaranya berbudi luhur, jujur, bertanggungjawab, rela berkorban untuk kepentingan orang lain, bekerja keras tanpa pamrih, adil dan tegas, dan tentu saja sakti madraguna.

Begitulah kiranya tujuan bapak/ibu guru beserta staf karyawan SMKN 1 Panggul pada kesempatan perayaan PHBN ke-74 tahun ini mengambil sosok warok sebagai salah satu atribut dalam kegiatan Gerak Jalan. Selain sifat-sifat ksatria yang dimiliki warok yang secara tidak langsung mencerminkan sosok pendidik dan tenaga kependidikan yang tidak boleh lelah belajar dan harus terus belajar, hal ini juga sebagai wujud cinta, menjaga serta merawat budaya Nusantara yaitu warok yang merupakan salah satu tokoh dalam tarian Reog Ponorogo.

Gus Dur yang menyebutkan bahwasannya kebudayaan bukan dianggap sebagai produk, melainkan suatu proses negosiasi yang continue dalam berbagai kekuatan yang terus hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Lagi-lagi mengambil narasi Gus Dur yang menyebutkan bahwasannya kebudayaan bukan dianggap sebagai produk, melainkan suatu proses negosiasi yang continue dalam berbagai kekuatan yang terus hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sehingga bisa diterjemahkan bahwa strategi pengenalan kebudayaan sama sekali tidak bertujuan merekayasa atau bahkan mengatur kebudayaan, akan tetapi untuk saling memberi ruang berdialog serta interaksi antar kebudayaan. Dengan demikian, eksistensi masing-masing budaya akan terus terjaga dan berkembang, karena pada dasarnya kebudayaan tidak statis melainkan dinamis.

Di samping pernyataan di atas, Gus Dur juga menyatakan bahwa ‘keseimbangan kekuatan Negara dan masyarakat untuk melahirkan bangsa yang berbudaya mutlak harus diupayakan, dan keseimbangan itu barulah tercipta ketika Negara telah benar-benar meletakkan tanggungjawab dan wewenang kebudayaan di atas pundak masyarakat sendiri’. Maksud dari pernyataan tersebut tidak lain untuk menegaskan bahwa sekali lagi Negara tidak lagi boleh mengklaim mempunyai wewenang mengatur kebudayaan, terlebih agama-agama resmi yang sering mempergunakan otoritas kesuciannya, para kapitalisme yang ingin mengkomodifikasi, hingga para akademisi yang suka berbangga melalui konstruks-konstruks sepihaknya.

Gus Dur mengajukan bahwa proses berkebudayaan yang paling strategis dan mutlak harus dilakukan dengan cara mengembalikan kebudayaan ke pundak dan tanggungjawab warga masyarakat.

Berdasarkan konteks ke-Indonesia-an, benar kiranya jika Gus Dur mengajukan bahwa proses berkebudayaan yang paling strategis dan mutlak harus dilakukan dengan cara mengembalikan kebudayaan ke pundak dan tanggungjawab warga masyarakat. Sehingga dengan begitu maka keseimbangan antara negara dan kekuatan-kekuatan dominan lain dengan masyarakat dapat tercipta. Hal ini selaras dengan tulisan Gus Dur yang termuat di Jawa Pos (November 1992) dengan judul Mendesentralisasi Kebudayaan Bangsa. Wallahu a’lam

Arsip Terpilih

Related Posts

No Content Available

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.