Zonasi, Lalu Redistribusi Guru Melalui Mutasi Akan Meningkatkan Motivasi atau Malah Frustasi

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Adalah wajar bila pengambil kebijakan dan agen pembangunan masyarakat lebih suka membangun yang sudah maju karena lebih mudah diajak maju. Namun demikian, banyak anak dari kalangan koncomelarat yang memandang dengan ngiler terhadap fasilitas pendidikan yang ‘wah’ yang disediakan pemerintah tapi hanya bisa diakses oleh konglomerat.

KampusDesa.or.id—Kebijakan Zonasi adalah kebijakan yang menghebohkan, mulai dari anak-anak yang tidak dapat tempat sampai emak-emak yang teriak-teriak. Sebenarnya kebijakan zonasi adalah sebagai jawaban atas tanggung jawab pemerintah atas hak semua warga negara untuk mendapat layanan pendidikan yang layak yang selama ini dinafikan. Banyak anak dari kalangan koncomelarat yang memandang dengan ngiler terhadap fasilitas pendidikan yang ‘wah’ yang disediakan pemerintah tapi hanya bisa diakses oleh konglomerat.

RelatedPosts

Proses pembangunan kita, termasuk di dalamnya pembangunan pendidikan ikut mainstream pembangunan di negara-negara berkembang lainnya. Robert Chambers, seorang konsultan PBB untuk pembangunan di negara-negara berkembang di Afrika dan Asia mengkritisi arah pembangunan di negara-negara berkembang yang cenderung memajukan yang sudah maju dan meninggalkan yang tertinggal.

Lapisan bawah, cenderung sulit menerima perubahan karena pendidikan yang rendah,

Adalah wajar bila pengambil kebijakan dan agen pembangunan masyarakat lebih suka membangun yang sudah maju karena lebih mudah diajak maju. Ditinjau dari kajian difusi  inovasi, segmen sasaran masyarakat yang sudah maju ini mudah diajak maju. Tingkat pendidikan, terpaan informasi dan kosmopolitansi yang lebih tinggi dan didukung oleh kemampuan ekonomi yang cukup menjadikan mereka lebih mudah menerima perubahan kemajuan, dalam difusi inovasi mereka ini adalah early majority bahkan sebagai inovator. Sebaliknya lapisan bawah, cenderung sulit menerima perubahan karena pendidikan yang rendah, terpaan informasi yang rendah, tidak didukung oleh kemampuan ekonomi untuk melakukan melakukan perubahan, dan mereka termasuk lagard, orang yang mbeguguk mutawaton, nggugu sak karepe dewe dan menentang perubahan.

Hal tersebut juga terjadi dalam pembangunan dan pengembangan pendidikan. Sekolah-sekolah yang maju akan difasilitasi untuk; lebih maju lagi, sementara sekoah biasa-biasa dan sekolah yang hidup segan mati tak hendak cenderung ditinggalkan. Akibatnya jurang pemisah antara sekolah maju yang kemudian menjadi sekolah favorit masyarakat dengan sekolah yang tertinggal akan semakin menganga.

Guru-guru yang berprestasi cenderung mendapat rewards berupa kenaikan pangkat dan mutasi ke sekolah yang lebih baik yang berada di area yang lebih “kota” dan nyaman, ke sekolah-sekolah yang maju dan favorit.

Temasuk dalam hal ini adalah arah kebijakan pengelolaan sumberdaya manusia, dalam hal ini guru-guru. Guru-guru yang berprestasi cenderung mendapat rewards berupa kenaikan pangkat dan mutasi ke sekolah yang lebih baik yang berada di area yang lebih “kota” dan nyaman, ke sekolah-sekolah yang maju dan favorit. Sebaliknya guru-guru yang biasa-biasa dan guru yang malas cenderung ditugaskan di sekolah tertinggal, juga sebagai hukuman guru-guru yang malas dan nakal. Dampaknya adalah semakin terjadi akselerasi peningkatan mutu yang semakin cepat di sekolah di sekolah-sekolah elit, dan sebaliknya di sekolah-sekolah biasa dan tertinggal justru terjadi stagnasi atau bahkan pelambatan perubahan peningkatan mutu.

Sebagai seorang doktor di bidang sosiologi, Mendikbud pastilah sangat paham bukunya Robert Chambers apalagi magister beliau adalah Kebijakan Publik, sehingga tidak mengherankan bila beliau membuat kebijakan zonasi dan kemudian “akan” diikuti oleh redistribusi melalui mutasi tenaga guru, sekolah-sekolah tertinggal juga mendapat guru-guru bagus dan berprestasi dari sekolah favorit sehingga akan terjadi pemerataan kualitas guru.

Pertanyaannya, efektifkah kebijakan redistribusi melalui mutasi guru-guru itu untuk meningkatkan kualitas sekolah yang tertinggal?

Bagaimana perasaan dan motivasi guru setelah dipindah ke tempat dari yang nyaman ke tempat yang tidak nyaman? Bahkan dari guru-guru sekolah favorit seandainya tidak di pindah saat ini sudah mengeluh karena enrolment siswanya juga menampung anak biasa-biasa saja, bahkan anak lambat belajar yang tentu saja lebih sulit menangani pembelajarannya?

Adalah salah satu sifat manusiawi yang suka akan zona nyaman dan aman. Pada dasarnya setiap perubahan akan membawa dampak perasaan tidak nyaman dan tidak aman. Bayangkan dari sekolah favorit di daerah elit dengan sarpras dan fasilitas melimpah di pindah ke sekolah pinggiran, dengan segala keterbatasannya. Banyak sahabat saya yang menyatakan itu sudah resiko ASN harus mau ditempatkan di mana saja, namun jujur seandainya sahabatku yang mengalami demikian, bisakah menghilangkan perasaan tidak nyaman dan kecewa dari mutasi yang dianggap demosi itu?

Performance guru sangat menentukan keberhasilan belajar yang dikelolanya.

Padahal performance guru sangat menentukan keberhasilan belajar yang dikelolanya. Apabila ada rasa kecewa di hati, bisakah mengajar dengan sepenuh hati dan motivasi yang tinggi. Pengalaman saya mengelola lembaga pendidikan tidak bisa semata-mata bersandar pada disiplin, SOP dan “pemaksaan” . Guru akan tetap hadir di depan kelas namun dengan hati kecewa cenderung just do it, pokoknya hadir dan mengajar, bukan mengajar dengan sepenuh hati dan do the best as her/ his can do it.

Yuk kita rembug bagaimana mutasi yang bisa meningkatkan motivasi di ajang FGD Kebijakan Pendidikan Konvensi Pendidikan VIII tanggal 6 dan 7 di Sekolah Rakyat 1 Petung Ulung Nganjuk

Sampai ketemu di FGD (bukan UGD lho) Sekolah Rakyat Petung Ulung Nganjuk.

Turen, 26 Juni 2019

Editor: Faatihatul Ghaybiyyah

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.