Seputar Virus Corona dalam Kacamata Sains-Agama

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Dalam situasi-kondisi genting dan darurat seperti ini, selaku manusia normal dan beragama tentu harus ada upaya dari diri kita. Tidak hanya pasrah terhadap takdir saja. Justru ketika kita sudah nyata-nyata tahu ada wabah atau bencana, tidak menghiraukan dan malah melawannya, maka yang terjadi akan mati sia-sia.

Kampusdesa.or.id–Virus corona, benda berukuran 120-150 nanometer ini menjadi terkenal seantero dunia. Tidak kasat mata tapi mematikan. Jika ditinjau dari sudut pandang Sains, dalam hal ini adalah ilmu Bologi atau lebih spesifik lagi virologi. Virus tergolong makhluk peralihan antara benda mati dan makhluk hidup. Dikatakan benda mati karena virus itu dapat dikristalkan, sedangkan dikatakan makhluk hidup karena virus memliki asam nukleat (DNA atau RNA) serta dapat berkembang biak dalam sel hidup. Virus tidak mempunyai perlengkapan seluler untuk bereproduksi sendiri. Sehingga tidak akan bisa hidup kalau tidak ketemu dengan inangnya yang cocok.

RelatedPosts

Peneliti senior Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof. David H Muljono, PhD menjelaskan bhawa ketika virus tidak berada di dalam sel atau tidak dalam proses menginfeksi sel, virus berada dalam bentuk partikel independen yang disebut virion. Virion terdiri atas materi genetik berupa asam nukleat (DNA atau RNA) yang diselubungi lapisan protein yang disebut kapsid.

Virus corona ini dulunya berasal dari hewan dan bisa cocok pindah ke manusia. Dengan kata lain virus menular dari hewan ke manusia atau istilahnya zoonosis, dan sekarang tentu lebih mudah menular dari manusia ke manusaia yang lainnya. Tidak hanya COVID-19 yang asalanya dari hewan, seperti halnya SARS, MERS, flu burung (H5N1), demam berdarah (DBD), rabies, HIV/AIDS, dan ebola.

Sehingga social distancing di sini sangat diperlukan. Bukan anjuran yang tanpa dasar, maka jangalah diabaikan. Kalau yang terinveksi menjauh jaga jarak, maka jika membawa virus tidak menginfeksi yang lainnya. Perlu adanya edukasi dan kampanye cara pencegahan virus ini agar jumlah kematian tidak semakin bertambah.

Data terakhr di kompas (22/03) tingkat kematian pasien virus corona di Indonensia adalah tertinggi se ASEAN. Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah esktra. Selain tes massal, himbauan social distancing, warga saling mengingatkan satu sama lain. Kampanye degan hashtag #kawalcovid19 #salingjaga #jagajarak #dirumahaja #stayhome #workfromhome di berbagai media sosial.

Mengingat Indonesia adalah negara mayoritas muslim. Maka dari itu, pemerintah mengelurkan aturan ketat terkait polemik ibadah, seperti fatwa lockdown masjid, peniadaan Jumatan, tidak ada jabat tangan, shalat jamaah dengan model social distancing, dan dilarangnya segala aktivitas perkumpulan massa meskipun itu pengajian atau tabligh akbar dan adanya acara resepsi pernikahan.

Sayangnya masih ada beberapa kelompok yang tidak peduli dan acuh terhadap anjuran dan peraturan pemerintah. Keegoisan sebagian masyarakat Indonesia seperti ini yang harus diperangi. Dalam artian diberi pemahaman dan pengetahuan baik secara perspektif sains dan agama.

Karena kebanyakan berdalih atas dasar agama. Golongan yang mabok agama, hanya memahami tekstualnya saja tanpa memperhatikan secara kontekstual, seketika itu golongan mereka seperti merasa paling tauhid dengan mengatakan “Kenapa kita takut virus corona, kita harus takut hanya kepada Allah. Mari kita perangi virus corona. Umat Muslim akan menang!”

Kedengarannya sih benar tapi tampak sisi kesalahannya, yakni malah menjadi Jabariyah yang mana tidak mengakui adanya usaha manusia. Tulisan saya sebelumnya dengan judul “Jangan Menuhankan Corona”, lebih lengkapnya mengulas bahwa kita tidak boleh panik dan takut berlebihan, harus tetap berdoa disertai melakukan usaha pencegahan. Karena qada’ dari Allah bisa diubah kalau kita ikhtiar dan tawakal. Karena sesungguhnya tawakal tanpa disertai ikhtiar adalah kejahilan dan ikhtiar tanpa tawakal adalah kesombongan.

Ditinjau dari sudut pandang agama,  dalam menghadapi virus corona ini bisa mengikuti sebuah kaidah fiqih yang berbunyi

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

 “Menghilangkan/mencegah mafsadat lebih didahulukan daripada mengambil manfaat”.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau pemerintah untuk mengeluarkan pelarangan atau aturan terkait beribadah di masjid. Karena, menurut Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri Muhyiddin Junaidi, MUI berpatokan langsung kepada negara-negara islam terkait pelarangan shalat berjamaah di masjid untuk pencegahan virus corona atau Covid-19. Muhyiddin mengatakan, negara Iran sudah mulai memberlakukan larangan untuk shalat berjamaah di masjid. Selain itu, untuk negara Arab Saudi juga mulai membuat aturan untuk shalat jumat. Jamaah diminta melonggarkan shaft dan mempercepat waktu shalat Jum’at.

Namun, di Indonesia keputusan ini melahirkan polarisasi dan pro kontra di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaanya aturan ini berlaku untuk semua daerah atau hanya bagian yang terdampak saja? Karena di kalangan tokoh Islam terdapat perbedaan pendapat. Gus Nadhirsyah Hossen setuju terhadap penerapan ini sedangkan Gus Najih Maimoen cenderung tidak setuju dengan alasan virus corona belum menjangkiti seluruh penduduk Indonesia.

Jika mengaca pada sejarah, sebenarnya pandemi bukanlah hal yang baru dan pertentangan ini sudah pernah dibahas oleh ulama’ terdahulu. Yang mana mayoritas negara-negara Islam melakukan upaya pencegahan yang sama. Dikutip dari Visualizing the History of Pandemics (14/03), ternyata pandemi bukan hal baru dalam sejarah umat manusia. Sejak dahulu kala dunia sudah berulang kali dilanda pandemi. Sejarah niscaya mencatat tragedi kemanusiaan lainnya yang diakibatkan wabah mematikan, termasuk yang terjadi di Indonesia.

Pandemi terbesar yang terekam dalam sejarah umat manusia terjadi sejak abad 6 M. Ada wabah pandemi yang tingkat mematikannya mencapai 70 hingga 100 persen. Michael W. Dols (1974), dalam artikelnya “Plague in Early Islamic History”, mengulas tiga pandemi besar yang menimpa umat manusia, yakni: Wabah Yustinianus (Plague of Justinian) (541-542 M), Maut Hitam (Black Death) (1347-1351), dan Wabah Bombay (Bombay Plague) (1896-1897).

Ini bukan berarti tidak ada lagi pandemi atau epidemi lainnya. Tak mudah mengetahui pasti seberapa mematikannya wabah di ketiga situasi pandemi di atas. Yang jelas, jumlah penduduk dunia menurun drastis setelah itu; pola kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi pun berubah. Dalam situasi-kondisi genting dan darurat seperti ini, selaku manusia normal dan beragama tentu harus ada upaya dari diri kita. Tidak hanya pasrah terhadap takdir saja. Justru ketika kita sudah nyata-nyata tahu ada wabah atau bencana, tidak menghiraukan dan malah melawannya, maka yang terjadi akan mati sia-sia. []

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.