Rumahku Gua Hira-ku, Latihan Mindfulness di Rumah Saja

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Masih banyak yang menolak keputusan pemerintah, meskipun secara hukum fiqh, ibadah wajib tanpa ke masjid dibolehkan akibat halangan tertentu (termasuk wabah Covid-19). Nampaknya ibadah di rumah tidak kunjung menjadi jawaban atas kesadaran spiritual (mindfulness) masyarakat beragama. Apakah rumah telah gagal dijadikan basis spiritual kalangan beragama sehingga ketergantungan terhadap masjid tidak jua menjadikan rumah sebagai Gua Hira (dzikir dan muhasabah dalam kesepian) menajamkan ketuhanan?

Kampusdesa.or.id–Bagi saya, pengalaman pandemi Covid-19 menjadi titik balik. Apalagi yang terbiasa aktif, pasti rumah menjadi penjara. Pun, saya. Untung saja teknologi informasi menjadi pelipur lara. Ketersediaan jaringan wifi menjadi mainan lebih serius ketika di rumah saja.

Aktifitas mengolah ketrampilan menulis dihabiskan untuk mengoptimalkan website Kampus Desa. Latihan content creator menjadi terasah. Mencoba dari berbagai kesalahan. Berlatih mengedit video menggunakan Adobe Premier semakin sering saya lakukan. CorelDraw, Photoshop, Canva, menjadi lahapan sehari-hari. Ternyata kegiatan begini menghipnosis, sampai harus berebut ruang pikiran ketika mengharuskan work from home.

RelatedPosts

Mainan meeting online menjadi debut baru dan terpadu kedalam content creator. Padahal biasa bergerak, jika tanpa kegiatan content creator, maka di rumah bisa-bisa mati gaya. Meeting online bertumbuh menjadi bahan untuk unggahan youtube. Penyelenggaraan seminar lebih mudah karena tanpa biaya, tanpa usung-usung peralatan, tidak perlu sewa ini itu, cukup dengan wifi dan paketan data, semua bisa disulap dengan jari ini.

Aneka produk seminar online, wawancara dengan orang-orang penting menjadi begitu murah. Suer, ora mbayar. Keajaiban ini laksana merebut profesi saya yang harus mengajar online, dengan pakem yang begitu-begitu saja seperti seolah justru kampus tempat belajar menjadi lebih senyap disibukkan oleh rutinitas yang hanya beralih dari kelas tatap muka menjadi kelas virtual. Tidak lebih dari itu. Bahkan tambah capek pol. Jika tatap muka bisa borongan, tapi ketika daring, layanannya menjadi lebih lama. Tapi ya sudahlah, dilakukan saja dengan ceria.

Mainan baru itu mendapat ruang, dan saya menyukainya. Bersama tim admin kampusdesa.or.id, telah berhasil meracik buku Covid-19, dan sejumlah content creator youtube sebagai modal kreatifitas yang terupdate dengan semangat belajar baru dan mencoba sembari mengakrabi kesalahan untuk kesempurnaan karya. Tapi dengan mahasiswa S1 dan S2, ya ampun, begitu lamanya mbarengi mereka berproduk. Entahlah. Mungkin mereka lagi overload beban karena semua pengajar berebut ruang personal mahasiswa sehingga fokus mereka terbelah-belah.

Saya merenung, kecamuk di rumah saja yang juga padet, namun dapat bercengkerama dengan keluarga, menjadi sumbu baru. Saya seperti berada dalam humanitas yang otentik bukan dengan kesayaan, tetapi dengan kekamian dalam rumah. Ibadah di rumah. Ketika terpaksa, lebih banyak pergi bersama anak-anak untuk mendatangi posko bantuan Covid-19.

Meski jenuh, dan juga ada konflik sebagai riak perbedaan, rasanya tetap saja memberikan kehangatan di antara kejenuhan yang juga mendera anggota keluarga saya. Kecuali istri sepertinya, yang memang terbiasa at-home oleh karena efek peran gender yang selalu akrab dengan sudut-sudut rumah. Dia terbiasa produksi kerjanya dari dapur rumah sendiri seperti membuat sambel bledeg,

Sementara saya juga mulai belajar semakin menggeluti sudut rumah. Menyadari sudut rumah, dapur, sumur, kasur, dan dinding yang semuanya bisa saya hidupi kedalam manifestasi karya. Bikin vlog di dapur, produksi daput dipotret dengan latar sudut-sudut rumah, bahkan membikin tik-tok sebagai cara menembus ruang kecil agar tetap terhubung dengan dunia luar sehingga kesan sosial pun masih terproduksi dari sudut-sudut rumah. Semua isi rumah mulai dimaknai dan direproduksi menjadi pesan-pesan sosial. Nampaknya, media sosial menjadikan alat bantu untuk menjembatani hubungan sosial fisik yang terperangkap pandemi virus corona.

Seperti Apa Gua Hira Itu

Gua Hira adalah tempat menyepi Muhammad ketika dirundung kegalauan. Situasi tersebut mendorong Muhammad untuk menepi dari kegaduhan pikiran dan situasi sekitarnya. Beliau kemudian mengambil tempat untuk menetralisir kegaduhan tersebut dengan situasi tenang. Meluruhkan pikiran dan tubuh serta batinnya menyonsong pencerahan.

Dalam situasi sepi dan hening, bebas dari keramaian yang sulit disiasati, jalur rumah menuju Gua Hira Nabi Muhammad bisa dikata sebagai jalur mindfulness (kesadaran asli) sampai beliau mendapat pencerahan utama yakni, iqra’ bismi rabbika al-ladzi khalaq. Bahkan setelah mendapatkan pencerahan (wahyu pertama) Nabi Muhammad diselimuti Khodijah untuk menyemai kesejukan batin agar efek kejut yang luar biasa setelah mendapat bisikan Jibril mampu diterima dengan kesadaran penuh (mindfulness). Rumah Khodijah kemudian menjadi tata sadar Nabi Muhammad untuk mulai menerima dan menyerna wahyu pertama. Rumah Khodijah terhubung dan mampu menerima “bisikan Allah” dan membantu Nabi Muhammad menjadi optimis menerima dan kemudian menjadi titik balik perjuangan baru misi kenabiannya.

Hikmah peristiwa itu bagi kita yang bertahan di rumah dan beribadah pun di rumah semestinya ditumbuhkan sebagaimana semangat kesunyian. Justru dalam semangat kesunyian, kita mempunyai kesempatan suluk (mendaki jalan spiritual) mendapatkan pencerahan Tuhan. Bahkan ibadah di rumah, tidak meninggalkan keluarga. Bahkan kita bisa mengakrabinya dalam situasi batin yang jernih. Rumah tempat suluk. Kita tidak terjebak dalam keramaian, dan lebih bersih dari pergunjingan. Persemaian ketuhanan kita dapat dikelola bersama menjadi kelekatan yang positif dengan anak-anak dan pasangan. Bukankah kita akan kembali ke jalan tuhan nantinya, juga diberangkatkan dari rumah? Tentu saat ini waktunya kita menyiapkan diri untuk membangun mental ketuhanan yang tangguh dari dalam rumah.

Lah, tidakkah kita terbiasa mengabaikan yang dekat dan memuja yang jauh. Saatnya saya dan Anda mencoba bertasbih, mengenal sifat-sifat kemanusiaan dari dalam kehidupan rumah. Saya sendiri menjadi tahu ukurannya, relasi dengan istri yang total 24 jam, anak saya, sudut-sudut rumah saya. Selama itu, realitas itu hanya saya sadari separuh hari, bahkan bisa kurang oleh karena tugas publik dan kantor. Ada lebih banyak kesempatan bepergian bersama. Saya mengenali situasi dapur, kebingungan memilih menu masakan yang biasa dihadapi oleh istri, saya menjadi tahu. Dinamika anak saya lebih tajam saya kenali. Satu persatu mulai saya kenali, bahkan sepertinya saya sendiri masih banyak alpa (abai) di beberapa sudut rumah ini.

Ketika kita mampu mengenali sudut rumah, pusat dzikir di rumah akan bertambah detil. Sebuah perumpaan uzlah (menyepi) laksana di Gua Hira yang bangunannya berupa rumah. Ketika ruang kecil di rumah kita bisa kita jadikan sebagai bahan dialog, dan kemudian kita menjadi tahu sehingga memberikan kita kebermaknaan, itulah awal dari mindfulness di rumah saja.

Jika seluruh ruang kecil di rumah kita kenali justru sebenarnya menjadi peluang untuk melihat kebersyukuran kita karena ternyata nikmat di rumah ini seperti segala-galanya. Ketika kita mampu mengenali sudut rumah, pusat dzikir di rumah akan bertambah detil. Sebuah perumpaan uzlah (menyepi) laksana di Gua Hira yang bangunannya berupa rumah. Ketika ruang kecil di rumah kita bisa kita jadikan sebagai bahan dialog, dan kemudian kita menjadi tahu sehingga memberikan kita kebermaknaan, itulah awal dari mindfulness di rumah saja. Rumahku Gua Hiraku tidak lain adalah basis kontemplasi dengan meningkatkan kegiatan berdialog memaknai sudut rumah dan mengakrabi hubungan kekeluargaan dari dalam rumah.

Jika rumah kita mampu membersihkan diri ini, niscaya tugas publik, suatu waktu akan mendapatkan sinar kewibawaan. Dandanan spiritualitas kita mampu disolek dari dalam rumah, laksana Khodijah yang mampu menyolek batin Nabi Muhammad untuk siap menjadi juru kebaikan bagi ummat manusia sebagai titik balik baru menjalani tugas-tugas kenabian.

Mari sejauh wabah Covid-19 masih mendera, kita punya kesempatan hening bersama keluarga, untuk menyiapkan jalan baru bagi perubahan yang lebih baik paska pandemi ini.

Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.