Rerimbunan Bambu dalam Pusaran Dialektika Alam

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Ekosistem lingkungan perlu mendapat perhatian. Kebutuhan manusia untuk kelangsungan hidup selalu terpaut dengan ketersediaan alam. Orang menebang bambu, yang sejatinya bambu untuk mencegah erosi, sudah mulai punah ditebangi. Barangkali kerusakan ini sepele. Lain lagi jika para penebang hutan, demi mendapat keuntungan finansial, alam dieksploitasi tanpa ampun. Kebutuhan ini selalu menjadi ekosistem alam menjadi tidak seimbang.

KampusDesa.or.id–Manusia akan terus mengubah alam. Perubahan terjadi karena gerak. Gerak terjadi karena kontradiksi. Dan pada diri manusia, kontradiksi yang dihadapi selalu harus diatasi. Kontradiksi, gerak, dan perubahan adalah hukum besi Materi (alam) yang pasti terjadi.

Menebang pohon itu soal ekonomi. Soal bertahan hidup. Bagi orang yang tinggal di pinggiran hutan atau bahkan di atas bukit, sejak dulu mereka menebangi kayu.

Menebang pohon itu soal ekonomi. Soal bertahan hidup. Bagi orang yang tinggal di pinggiran hutan atau bahkan di atas bukit, sejak dulu mereka menebangi kayu. Untuk apa? Untuk membuat rumah. Bahkan juga ada yang dijual. Pohon-pohon besar yang akan dibelah dan dibagi dalam ukuran-ukuran yang diinginkan sesuai apa manfaat yang akan digunakan sebagai bahan membuat rumah.

RelatedPosts

Bagaimana lagi, tiap orang yang menikah beranak pinak. Setiap keluarga baru yang muncul pasti membutuhkan rumah sendiri. Untuk membuat rumah, lumayan kayu yang dibutuhkan. Dari manusia yang jumlahnya sedikit, hingga kini jumlahnya membludak.

Bagi generasi pra-mileial, tentu masih ingat bagaimana kakek dan nenek kita membangun rumah kenyakan dari kayu, juga bambu (keduanya sama tumbuh-tumbuhan). Lalu kayu dan bambu mulai langka, lalu orang harus membeli untuk mendapatkannya. Hingga harga kayu untuk bahan membuat rumah menjadi meningkat sesuai hukum penawaran dan permintaan. Dulu kalau butuh bambu tidak beli. Sekarang harga satu batang bambu bisa mencapai Rp 15.000.

Pohon-pohon bambu yang terkenal berfungsi untuk mengurangi banjir dan longsor itu kemudian banyak ditebang karena tuntutan ekonomi.

Pohon-pohon bambu yang terkenal berfungsi untuk mengurangi banjir dan longsor itu kemudian banyak ditebang karena tuntutan ekonomi. Ada yang selalu menebangnya ketika mau buat rumah, terutama menyangga atap yang akan dicor. Hingga dikomersilkan para pedagang bambu yang selalu akan mencari bambu-bambu untuk ditebang dan dijual ke pasaran. Bagi sebagian orang desa yang memang membutuhkan uang, menjual pohon bambu sudah menjadi pilihan untuk mendapatkan uang, terutama saat mereka butuh. Bisa jadi adalah pilihan terakhir, yang diambil karena sangat mebutuhkan uang.

Selain itu bambu juga ditebang untuk dibuat menjadi sarana atau alat lain yang lebih akan bernilai ekonomis. Bambu ditebang untuk dijadikan pagar halaman belakang rumah agar ayam peliharaan tidak liar. Bahkan juga dibuat untuk kandang ayam. Kenapa? Bagi sebagian masyarakat di desa, ayam adalah sumber penghasilan bagi mereka. Ayam kampung, misalnya, dibiarkan liar di belakang rumah yang halamanannya luas dan berpagar bambu, lalu suatu saat ketika ada kebutuhan yang mesti dipenuhi dengan membeli, mereka butuh uang. Ayam-ayam itu akan ditangkap dan dijual.

Bambu-bambu yang ada di belakang rumah, di kebun, yang bahkan terletak di pinggir kali kecil, akan ditebang untuk membantu membuat kegiatan memelihara ayam lancar.

Ayam adalah hewan peliharan yang amat ekonomis bagi masyarakat pedesaan. Tradisi genduren amat membutuhkan ayam kampung. Selain itu, ketika anak saatnya butuh membayar biaya sekolah, misal beli buku LKS, membeli sepatu, alat tulis, orangtua di daerah pedesaan akan menjadikan ayam peliharaan sebagai benda ekonomis yang amat bermanfaat. Bambu-bambu yang ada di belakang rumah, di kebun, yang bahkan terletak di pinggir kali kecil, akan ditebang untuk membantu membuat kegiatan memelihara ayam lancar.

Saya juga punya pengalaman menebang dua rumpun bambu Ori di belakang rumah yang saya tempati. Rumpun bambu pertama saya babat saat saya mendirikan rumah. Bambu itu mau tak mau saya ambil karena saya tak kuat beli bambu untuk menyangga cor-coran rumah. Rumpun bambu kedua saya habisi karena saya ingin membuka ladang kecil belakang rumah untuk menjadi tempat terbuka yang bisa ditanami dan juga menjadi tempat ayam-ayam dan Mentok mencari makanan.

Membaca tulisan-tulisan tentang manfaat bambu untuk mencegah banjir dan informasi tentang kian punahnya pohon bambu kadang juga menjadi agak tidak enak dalam hati. Saya harus memilih, apakah saya harus melihat keberadaan rumpun bambu yang rimbun di belakang itu menciptakan suasana agak menyeramkan dan bagian bawahnya yang membentuk jalinan batang dan “cangkring” yang di dalamnya menyerupai gua itu menjadi tempat persembunyian “Garangan” (Kucing Garong). Ataukah saya membabat rerimbun bambu itu agar hilang dan melihat suasana belakang rumah semakin indah jika ada tumbuhan yang lebih bermanfaat, sayuran, buah-buahan, di mana juga ada hewan unggas seperti ayam kampung dan mentok.

Lagian, naluri hidup saya membuat saya harus mengusir para Kucing Garong yang sering memakan ayam-ayam yang dipelihara orang-orang di sekitar lingkungan kami.

Naluri saya untuk bertahan hidup memilih menanam sayuran aneka ragam dan memelihara unggas. Sebab hidup lebih berwarna. Lagian, naluri hidup saya membuat saya harus mengusir para Kucing Garong yang sering memakan ayam-ayam yang dipelihara orang-orang di sekitar lingkungan kami. Agar tak ada lagi teriakan emak pada suatu subuh dengan rasa sedih karena ayam yang akan dijualnya mati dan terluka bersimbah darah lalu tewas karena diterkam kucing Garong (Garangan). Pada hal ia harus mendapatkan uang yang akan digunakan membayar buku LKS anaknya yang sudah telat.

Kita kadang tidak bisa menunda untuk mendapatkan uang karena kondisi mendesak daripada melihat pohon-pohon masih tumbuh sesukanya di atas tanah kita. Pohon-pohon besar di hutan-hutan di Trenggalek telah habis, dan orang memandapatkan tanahnya yang gundul dengan ditanami pohon-pohon atau tumbuh-tumbuhan baru yang lebih menjanjikan, mendatangkan nilai ekonomis. Karena naluri mempertahankan hidup dengan naluri memelihara alam itu bukan hal yang bertentangan.

Sekali lagi saya ingin mengatakan, eksistensi manusia dengan eksistensi pohon-pohon dan hewan-hewan adalah satu kesatuan sebagai bagian dari alam. Kontradiksi ekonomi, pemiskinan, eksploitasi masyarakat pedesaan yang membuat mereka miskin dan tanpa pendapatan, bukanlah hal yang tidak penting untuk diatasi dulu daripada kontradiksi alam yang disebabkan oleh tumbangnya pohon-pohon.

Jadi jangan terlalu banyak mendiskusikan kenapa masyarakat desa yang menanam pohon-pohon yang lebih bernilai ekonomis dan dianggap merusak lingkungan. Kritik yang sama, atau bahkan yang lebih dulu, harus kita alamatkan pada kapitalis yang telah membabat hutan sebegitu luasnya demi menumpuk keuntungan besar. Dibabatinya secara massif hutan-hutan oleh pengusaha kayu (logging) dan konglomerat bos kelapa sawit itu harus kita singgung pula.

Kapitalisme yang dikendalikan oleh pemodal raksasa itulah yang paling banyak punya kontribusi dalam merusak lingkungan. Jangan menyalahkan dulu tetanggamu yang menebang pohon-pohon bambu di ladangnya sendiri yang terletak di pinggir hutan.

Kita harus memahami bahwa kapitalisme yang dikendalikan oleh pemodal raksasa itulah yang paling banyak punya kontribusi dalam merusak lingkungan. Jangan menyalahkan dulu tetanggamu yang menebang pohon-pohon bambu di ladangnya sendiri yang terletak di pinggir hutan. Mari kita menulis kontradiksi yang besar-besar juga. Tidak sibuk melulu mengangkat tema-tema remeh di sekitar kita. Mari kita menunjukkan masalah besarnya juga, jangan terlalu banyak mengritik perilaku rakyat kecil yang kita sendiri sebenarnya tak bisa langsung berkomunikasi untuk mencegah mereka, kecuali mereka hanya kita tulis dalam esai yang kita anggap indah dan kita puas beronani dengan keindahannya.*

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.