Merumahkan Sekolah atau Sekolah Telah Mati

325
SHARES
2.5k
VIEWS

Pandemi adalah peluang berefleksi tentang sekolah. Perbedaan budaya rumah dan sekolah semestinya menjadikan sekolah mawas diri. Apalagi situasi mental kita dibayang-bayangi efek Covid-19. Ketika sekolah tetap ngotot mengendalikan budaya belajar ala sekolah, apa tidak berarti sekolah telah mengimperialisasi budaya rumah kedalam logos sekolah?

Kampusdesa.or.id–Saya pikir, work from home, dipahami berbeda dengan sekolah. Jika saya menyebut sekolah adalah belajar ilmu pengetahuan basisnya teks, maka semestinya sekolah sudah mati.

Bagaimana tidak, wong pekerjaan latihan tes dikerjakan secara online antar siswa, sehingga mereka bisa leluasa bekerja sama menjawab soal-soal dengan teman-temannya secara online juga. So, hasil latihan tes bersifat diskusi (nyontek berjamaah). Bukan asli kemampuan otonom siswa. Guru sebaiknya menilai latihan tes hanya stimulus diskusi, bukan tes asli kemampuam siswa secara otonom.

RelatedPosts

Jika sekolah tetap bersikukuh, ya kita sebagai pendidik perlu inatrospeksi. Sekolah sebenarnya telah mati dengan work from home. Tapi apakah sekolah tetap bersikukuh mempertahankan hegemoninya? Cara belajar anak sudah canggih, maka sudah tidak laku lagi jika sekolah tetap ngotot tidak berubah.

Ya, Sekolah Telah Mati

Anak-anak saya yang akhirnya jadi subyek observasi saya, merangsan kegundahan saya tentang sekolah. Dia ternyata mulai bermain dunia memasak. Syukurlah, ibunya juga menunjukkan aktifitas talenta memasak, meski lulusan Pendidikan Guru. Ibunya pensiun tidak mengajar di sekolah. Tapi justru saat ini dia menjadi guru di rumah. Bahkan tidak lagi guru konvensional. Dia telah menjadi fasilitator cooking, sekali lagi bukan guru.

Dalgona mixes Boba adalah belajar yang memberi dia ketrampilan hidup melampaui stres latihan soal dan mengisi ruang kosong masa pandemi menjadi kesempatan baru belajar memasak.

Ibunya hanya menjadi teman dalam sebuah inisiatif kuat anak-anak. Mereka mencari sumber belajar dengan daring. Tak ada penilaian, kecuali apresiasi dan perayaan kegembiraan karena berhasil menemukan racikan

Jelas tidak ada kurikulum, bahkan guru pun tiada. Ibunya hanya menjadi teman dalam sebuah inisiatif kuat anak-anak. Mereka mencari sumber belajar dengan daring. Tak ada penilaian, kecuali apresiasi dan perayaan kegembiraan karena berhasil menemukan racikan Dalgona dan Boba yang lagi hits. Saya bilang, “yes, karya otentikmu mampu menyaingi kafe, baik rasa dan performen Dalgona mixed Bobamu.” Justru masukan saya menjadi inspirasi tambahan menu kafe lo. Heee.

So, seandanya ini menjadi paket sekolah, alangkah ajaibnya bahwa di rumah dengan belajar memasak yang sesuai dengan minat besar anak, telah melahirkam karya sophisticated. Lebih fungsional kan. Jika eksplorasi ini menjadi latihan memperkaya ilmu pengetahuan, maka anak-anak diinstruksikan dari jauh oleh guru untuk membikin cerita secara bebas sebagai tugas. Jadi bukan dites dengan soal-soal. Lah wong mengerjakannya dengan kolaborasi. Jelas saling bertukar wawasan dan membangun sintesis, lalu menuangkan dalam karya.

Anak-anak akan mengalami momentum besar dalam sejarah hidupnya kini. Sejarah tentang sekolah di rumah. Work from home menjadi revolusi emas anak-anak.

Saya membayangkan jika hal ini menjadi laporan sekolah, maka anak-anak akan mengalami momentum besar dalam sejarah hidupnya kini. Sejarah tentang sekolah di rumah. Work from home menjadi revolusi emas anak-anak.

Saya akhirnya berpendapat, ok, sekolah harus dirumahkan (merumahkan sekolah). Kita bisa memberi kesempatan anak dan keluarga membikin kesepakatan belajar. Kurikulumnya melekat di keluarga, bukan dihujamkan dari sekolah yang menjadikan anak tetap buta dan bisu dengan budaya rumah.

Budaya rumah tidaklah sama dengan budaya sekolah. Dan saya berpikir, sekolah tidak lagi peka dengan budaya asli di rumah. Jika sekolah tak bergeming, maka kesempatan pandemi ini tak menjadi inspirasi apapun, kecuali sekolah egois memaksakan kepalsuannya dalam kebutuhan hidup otentik anak-anak. Dan anak lebih stres. Dunia asik dirumah yang tetap direnggut oelh sekolah.

Mari, pendapat Anda lebih baik dikirim ke kampusdesa saja daripada tercecer dalam komentar.

Picture of Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.