KampusDesa News_Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik telah sembilan tahun lalu diberlakukan. Namun, praktiknya tidak semua institusi publik mengindahkan produk hukum tersebut. Utamanya dari sektor pemerintahan yang tidak semua memberikan akses informasi umum kepada publik. Lebih spesifiknya, Kementerian Desa, Pemberdayaan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengintruksikan pada Pemerintah Desa (Pemdes) untuk membuka informasi publiknya terutama Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa pada masyarakat setempat. Sayangnya tidak sedikit Pemdes yang menghiraukan hal itu.
Menanggapi wacana tersebut, Sarasehan Tani mangadakan forum khusus Kelas Inovasi Tani membahas tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Keuangan Desa. Hadir sebagai narasumber pada kelas tersebut yaitu: Dr. Madekhan., M. Si sebagai praktisi anggaran dari Prakarsa Jawa Timur, Mujtabah Hamdi pegiat transparansi anggaran dari Media Link dan Hanik Dwi M sebagai Kepala Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Bagi Madekhan, agar desa terbebas dari persoalan anggaran, setidaknya ada tiga disiplin aggaran yang harus dipatuhi, yaitu; transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Prinsip transparansi sangat penting dilaksanakan agar pengelolaan keuangan lebih terbuka dan menghindari sikap suudzan masyarakat, sementara partisipasi dibutuhkan agar warga desa merasa dilibatkan dalam perencanaan pembangunan hingga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap desanya.
“Selain dua hal itu, akuntabilitas merupakan aspek yang tidak kalah penting, karena disini kita akan melihat sejauh mana profesionalisme Pemdes itu,” ungkap lelaki yang murah senyum itu.
Sementara Mujtabah Hamdi berpendapat bahwa sebenarnya tidak hanya tiga lembaga trias politika saja yang hatus mempertanggungjawabkan transparasi anggarannya, tapi juga lembaga lain yang mendapat anggaran dari pemerintah wajib untuk melaporkan pada publik. Terkait APBDesa yang tersandra oleh supra desa, ia menyatakan bahwa hal tersebut bisa dituntut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Bagi Pemdes yang anggarannya ditangguhkan oleh kota atau kebupaten, maka bisa menuntut ke MK, tapi masalahnya Pemdesnya paham tidak regulasinya.” Ungkap pria berambut gondrong itu.
Sementara itu, Hanik yang merupakan kepala desa Tunjungtirto Singosari, lebih banyak menceritakan reformasi birokrasi dan capaian desa yang dipimpinnya. Ia menuturkan, untuk menciptakan reformasi birokrasi yang menyeluruh, Hanik sempat meliburkan perangkat desanya selama satu bulan bagi perangkat desa yang gagap teknologi. Selain itu, kendati strata pendidikan warganya secara umum kurang mapan, namun para intelektual dan praktisi penduduk setempat berpartisipasi aktif dalam membangun tata pemerintahan desa itu.
“Di desa saya, tidak sedikit warga yang berprofesi sebagai dosen, politisi dan praktisi yang menjadi ketua Rukun Warga (RW), Jadi jika saya melakukan kebijakan yang tidak sesuai prosedur, banyak yang akan mengkoreksi.” Pungkas Kepala Desa Tunjungtirto perempuan pertama tersebut. (HA)