Kuasa “Ramal-Meramal” dan Hegemoni Perdukunan

325
SHARES
2.5k
VIEWS

“Banyak orang yang lebih suka membayar orang lain untuk mewakili mereka berpikir. Kita telah menjadi sebuah masyarakat yang bergantung… Jagad di mana kita diizinkan untuk bermain, menghibur, dan mempertanyakan berbagai macam misteri setiap hari telah menyempit” (Michael R. LeGault)

KampusDesa–Masyarakat kami amat percaya pada peramal dan dukun, tentu ini sudah diketahui oleh banyak orang—termasuk para pengamat kebudayaan. Bahkan dukun adalah orang yang dianggap bisa merubah alam sebagaimana dikehendaki. Misal, menghendaki hujan tidak turun karena akan ada acara “hajatan.”

Orang yang akan punya “hajat” seperti mengadakan pesta pernikahan anak (jawa: becekan), biasanya akan pergi ke dukun. Minta agar hujan tidak turun. Saya pernah melihat kegagalan dukun menghentikan hujan. Beberapa orang mengatakan bahwa ia pergi ke dukun untuk menghentikan hujan, tetapi nyatanya hujan turun juga. Malah suatu ketika ada Pakde saya sendiri yang minta dukun menghentikan hujan, ternyata acara “hajatan” yang dilakukannya malah diserang oleh hujan lebat. Hujan malah turun begitu lebatnya, hingga pesta pernikahan terganggu karena air meluap di bawah meja kursi tamu.

RelatedPosts

Bukan hanya tentang alam. Upaya mengubah suatu perilaku manusia juga dicarikan solusi ke dukun. Banyak yang gagal juga. Ada tetangga dekat yang mendatangi dukun, minta agar cucunya yang susah diatur tidak lagi nakal. Ia adalah cucu yang ditinggal ibunya bekerja sebagai buruh migran dan ayahnya sudah minggat dua tahun sebelumnya. Karena punya anak perempuan (ibu si cucu) yang punya tekad cari penghasilan di negeri orang, maka ia harus mengasuh si cucu.

Si cucu ternyata jadi anak yang nakal. Baru masuk sekolah menengah pertama sudah minta sepeda motor ninja. Sudah mulai merokok. Sering maksa kalau minta uang. Dan mulai berani berbohong dan melawan si kakek-nenek yang mengasuhnya. Maka, entah atas saran siapa, ia pergi ke mbah Dukun. Ia minta bantuan agar cucunya tidak nakal dan mudah dinasehati. Lalu apakah si cucu dengan serta merta tidak nakal? Ternyata tidak.

Saya masih ingat bagaimana ibu saya memberikan air putih di suatu pagi ketika saya mau menghadapi ujian akhir di sekolah SD. Lalu juga memberikan pensil, yang katanya harus digunakan untuk mengerjakan soal. Katanya dari Mbah dukun di desa sebelah.

Lebih lucu lagi, kalau bicara dunia perdukunan, adalah ketika saya membayangkan masa kecil saya dulu. Yang ternyata juga masih terjadi hingga sekarang. Saya masih ingat bagaimana ibu saya memberikan air putih di suatu pagi ketika saya mau menghadapi ujian akhir di sekolah SD. Lalu juga memberikan pensil, yang katanya harus digunakan untuk mengerjakan soal. Katanya dari Mbah dukun di desa sebelah. Hal yang sama juga dilakukan oleh teman sekolah yang juga masih saudara, yang rumahnya juga bertetanggaan dengan saya.

Bayangkan, untuk menghadapi ujian sekolah, dukun dianggap sebagai solusi. Ingin pintar, ingin bisa mengerjakan soal, solusinya adalah dukun. Tampaknya budaya ini juga dilakukan oleh banyak orangtua. Sebagai orang yang berhasil mengerjakan soal ujian, yang juga dikenal pintar, dan tidak nakal seperti anak yang saya ceritakan di atas, sebenarnya saya bisa berkata pada sejarah: “Ini lho, aku anak yang pintar dan tidak nakal karena bantuan dukun, pun akhirnya hidupku juga lumayan tak begitu gagal—karena jasa para dukun.” Tapi apa yang terjadi pada teman dan beberapa orang?

Teman dan saudara saya yang juga dibantu dukun agar bisa mengerjakan soal tadi nyatanya juga nilainya ‘jeblog’, bisa lulus sudah lumayan. Kami masuk di SMP yang sama—sekolah yang berjarak 1,5 km dari rumah kami. Di SMP saya lebih suka pelajaran dan selalu ranking. Sedang teman saya tadi tetap kurang punya motivasi belajar. Saya melanjutkan SMA dan kuliah. Ia hanya macet lulusan SMP. Pada hal, secara ekonomi ia anak orang jauh lebih mampu. Sedang saya hanya anak orang yang sangat minim secara ekonomi. Saya bisa lanjut SMA dan kuliah karena bantuan orang lain (saudara).

Yang lebih lucu lagi terjadi setelah saya sudah lulus kuliah. Ketika liburan di kampung halaman, ada seorang teman yang masih saudara minta diantar ke rumah dukun. Minta “sababiyah” (perantara) agar lolos dalam tes PNS di luar kota. Info tes didapat dari saudaranya yang kebetulan sudah jadi PNS di sana. Dugaan saya benar, ia tidak lulus. Pertama saya tahu waktu sekolah nilainya sering jelek. Kedua, ia sama sekali tidak belajar.

Jadi, bagi saya, amat sulit kemudian untuk bisa mengatakan bahwa para dukun adalah orang-orang yang selalu bisa membantu mengatasi masalah. Bisa jadi mereka malah menjerumuskan kita pada masalah itu sendiri. Seperti terjadinya kasus dukun cabul, yang bahkan dialami oleh beberapa teman dan saudara saya sendiri.

Saya masih ingat bagaimana ia diberikan secarik kertas bertuliskan huruf arab, yang disuruh dibawa. “Bisa ditaruh di dompet atau sabuk,” kata si dukun. Sedangkan satunya adalah air dalam botol Aqua. Kata dukun, harap diminum sebelum berangkat mengerjakan soal ujian.

Oya, apakah waktu itu saya tidak percaya pada dukun? Sangat percaya, makanya saya mau mengantar teman dan saudara saya itu!

Fakta bahwa dia tidak lolos tes PNS yang menurut analisa saya bukan karena dukunnya, tetapi karena tes PNS waktu itu “tidak fair” sudah saya sadari. Hingga seumur hidup saya tak pernah ikut tes PNS, kecuali sekali pada tahun 2010 di Trenggalek. Tapi saya memang tidak yakin bahwa saya lolos. Saya hanya ingin ikut untuk mengorganisir aksi menolak “Tes CPNS yang tidak bersih” yang isunya beredar luas di tahun-tahun itu.

Waktu itu saya kebetulan sudah tidak percaya pada dukun. Saya dan beberapa teman bahkan meyakini (entah ini subjektif atau tidak) bahwa: Dukun tak bisa membantumu, yang bisa membuatmu lolos tes hanyalah dua hal, uang dan relasi. Waktu itu, saya sedang berada pada masa pesimis-pesimisnya terhadap tingkahlaku kekuasaan pemerintah. Entah benar atau tidak, saya menganggap jual beli jabatan dan posisi waktu itu terjadi di mana-mana.

Ke(tidak)berdayaan
Lalu apakah saya sudah bisa lepas dari dunia perdukunan? Tentu tidak sepenuhnya. Akhirnya saya menganggap bahwa ini adalah bagian dari budaya, tidak perlu dipikir berat-berat. Sebagai bagian dari masyarakat yang diatur oleh budaya, saya menjalin hubungan dengan orang-orang yang percaya pada dukun, hidup di masyarakat yang percaya pada dukun. Termasuk saudara-saudara dan tetangga.

Ada dua hal yang saya ingat membuat saya berhubungan dengan dukun. Pertama, ketika saya mau buat rumah. Saya tidak mendebat mertua saya yang mendatangkan dukun yang katanya bisa melihat mana bagian tanah yang baik (tidak buruk) jika ditanami rumah. Bahkan saya ditugasi mengantar mbah dukun tua itu pulang ke rumahnya di sebuah desa paling pucuk di Kecamatan Pule, Trenggalek.

Kedua, terjadi sebelumnya. Pada saat istri saya hamil dan divonis dokter bayinya sungsang. Saya juga mengikuti saran mertua agar minta bantuan pada si dukun. Saya minta petunjuk seorang teman, dan saya dibawa di seorang kiai yang punya yayasan pesantren dan sekolah Islam. Pak Kiai memberikan gula yang menurut teman saya sudah dikasih “doa” di dalam kamarnya. Satunya adalah kertas bertuliskan huruf Arab yang disuruh diletakkan bawah bantal istri saya.

Saya kira, perilaku saya berhubungan dengan dukun punya situasi psikis yang sama dengan orang-orang dan teman-teman yang saya ceritakan di atas tadi—meski dengan motif yang berbeda dan kadar kepercayaan yang berbeda. Juga perbedaan dalam hal efek psikis dan kognitif dari kegiatan minta bantuan ke dukun. Kesamaannya adalah dalam hal, pertama, ada sisi harapan bahwa dukun itu akan membantu mengatasi masalah kita. Kedua, ada sisi di mana masalah yang dihadapi bisa dilupakan—kepanikan bisa hilang, kekhawatiran bisa berkurang.

Saya tahu bahwa itu bukan solusi, tapi memang ada efek kegiatan yang mesti dilakukan untuk menunggu jeda waktu antara ditemukannya masalah dengan hasil dari solusi di luar yang diberikan dukun.

Perbedaannya, terutama yang paling besar, adalah pada efek. Saya tidak punya efek berkurangnya nalar ilmiah dalam menghadapi masalah karena saya mengalir saja menuruti anjuran dan nasehat orang lain ketika berhubungan dengan dukun. Saya tahu bahwa itu bukan solusi, tapi memang ada efek kegiatan yang mesti dilakukan untuk menunggu jeda waktu antara ditemukannya masalah dengan hasil dari solusi di luar yang diberikan dukun. Pada saat istri hamil sungsang, kami menuruti nasehat dokter, untuk meminum resep yang diberikan dan perlakuan gerak senam yang dianjurkannya. Tapi saya juga tak menolak ketika mertua menyarankan agar “minta bantuan” dukun.

Pada saat mau membangun rumah, saya tak ada masalah sama sekali dengan tanah, masalah saya adalah tidak punya uang yang cukup untuk segera membangun rumah. Hehehe… Di tengah kebingungan menjawab masalah tidak punya uang, dan sambil menunggu jeda hingga saya punya uang, ya saya menghiasi kegiatan salah satunya setuju dengan mertua saya mendatangkan dukun. Di sini, waktu dan perasaan belum mendapatkan solusi lain, bisa diisi dengan kompromi dengan siapa saja, apalagi dengan mertua. Menuruti mertua adalah cara mengambil keuntungan memperbaiki hubungan. Jadi, setuju dengan kedatangan dukun dalam hal ini bukan karena percaya pada dukun, tapi percaya pada orangtua sebagai bagian dari menjaga kohesivitas sosial.

Saya tidak melihat apakah dukun-dukun itu tidak berhasil membantu? Itu wilayah spekulasi. Tapi cara membantu meringankan beban psikis dari suatu masalah yang dihadapi orang, mereka berhasil. Ada efek baik, ada efek jelek. Efek baiknya untuk siapa juga harus dilihat dan dipahami. Ketika teman saya pergi ke dukun untuk menghadapi tes PNS, sebenarnya ia menganggap bahwa nasibnya diserahkan ke dukun. Jadi, lulus tidaknya tes, tergantung pada dukun. Maka ia tidak tahu kalau, misalnya, lolos tidaknya tes itu tergantung pada uang dan relasi dengan pejabat tinggi yang menentukan dan berkuasa.

Orang yang hanya percaya pada dukun untuk mengatasi kesuksesan, sejenis teman saya ini, akan terus awet menjadi orang yang tak mau belajar dan meningkatkan kualitas diri.

Jadi ketika teman saya gagal, efeknya ia tidak marah dan kecewa. Maka efek ini baik untuk siapa? Baik untuk mereka yang bermain kekuasaan dan uang dalam rekrutmen PNS. Setidaknya dukun itu telah membantu (bermanfaat) bahwa peserta tes PNS yang sejenis dengan teman saya itu tak perlu tahu bahwa masalahnya adalah sistem rekrutmen yang bobrok dan kualitas dirinya yang tidak mau belajar. Orang yang hanya percaya pada dukun untuk mengatasi kesuksesan, sejenis teman saya ini, akan terus awet menjadi orang yang tak mau belajar dan meningkatkan kualitas diri.

Sama seperti kasus si kakek-nenek yang ingin membuat cucunya tidak nakal di atas tadi. Dengan pergi ke dukun dan percaya bahwa sepanjang umurnya dukun adalah solusi, maka efeknya ia akan tidak tahu tentang sumber dan penyebab dari masalah yang dialami cucunya. Ia mungkin mencari sumber penyebabnya justru cucunya, yang, misalnya, dianggap kerasukan setan. Ia tidak melihat masalah pada pengasuhan yang dilakukannya terhadap cucu. Ia tak ‘mikir’ dengan siapa saja si anak bergaul. Ia tak melihat masalah riil dan situasi konkrit sebagai penyebab masalah perkembangan si anak. Di sini, dukun menjadi pengharapan sekaligus penghibur dalam perasaan. Tetapi ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah tidak diatasi. Peningkatan kemandirian dalam menghadapi masalah, keberdayaan mengatasi situasi, tidak muncul.

Sesuatu YANG TAK TERJELASKAN dan YANG TAK DIINGINKAN
Sama seperti kasus di atas, berharap pada bantuan dukun agar anak bisa pintar. Efeknya adalah budaya kemalasan mendorong dan mendidik anak belajar. Bagaimana anak malas belajar dan tak pintar, katanya karena suatu di luar perlakuan dan arahan nyata dari orangtua, tetapi suatu yang tak terjelaskan yang katanya hanya bisa dijawab dengan bantuan dukun. Berharap dengan memakai pensil pemberian si dukun, bisa mengerjakan soal. Mungkin menganggap bahwa di dalam pensil itu ada “makhluk lain” (YANG TAK TERJELASKAN) yang bisa menggerakkan tangan si anak hingga ia memilih jawaban yang tepat dan benar.

Frase “YANG TAK TERJELASKAN” sengaja saya kasih huruf kapital. Sebab di sinilah persoalannya. Sesuatu yang tak terjelaskan ini adalah ruang kosong yang bisa diisi oleh siapa saja, termasuk dukun. Sesuatu yang tak terjelaskan ini sebenarnya bisa diisi oleh penjelasan yang ilmiah. Yang ilmiah itu adalah yang berdasarkan bukti dari apa yang terjadi. Mengisi yang tak terjelaskan dengan suatu yang berdasarkan kenyataan berarti berpikir ilmiah.

Di sini adalah soal fakta dan kenyataan yang dipahami atau tidak dipahami. Tapi juga ada tambahan lagi yang penting agar bisa dijelaskan dalam ranah psikologis, yaitu kenyataan yang sesuai atau kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan.

Jadi manusia berhadapan dengan kenyataan itu ada dua hal: (1) Apakah kenyataan itu bisa dijelaskan dan dipahami—ini tergantung apakah ia menggunakan ilmu pengetahuan dan filsafat; (2) Apakah kenyataan itu mendukung kebutuhan dan keinginannya atau tidak. Jadi ada sesuatu “YANG TAK TERJELASKAN” dan “YANG TAK DIPENUHI.” Satunya berkaitan dengan hal ingin tahu. Satunya berkaitan dengan hal ingin memenuhi keinginan (dan kebutuhan).

Tak semua hal diketahui dan dijelaskan. Dan, tak semua keinginan bisa dipenuhi. Sesuatu yang tak terjelaskan dan yang tak terpenuhi (atau yang tertolak oleh kenyataan) akan melahirkan tingkahlaku, respon, dinamika berpikir pada diri manusia—sebab hidup ini prinsipnya gerak, tak ada yang diam, pun juga manusia. Sesungguhnya dalam pikiran manusia tak ada yang kosong. Ia selalu di isi. Apa yang mengisinya, bagaimana isi itu membuatnya berkembang dan membangun suatu cara berpikir, dasar berpikir, persepsi terhadap sesuatu, yang kemudian secara kontinyu juga digunakan untuk merespon dunia di luarnya. Membuatnya merespon dan mempersepsi masalah yang dihadapi dan cara mengatasinya.

Tentu mengatasi masalah itu bukan hanya tergantung pada cara berpikir. Tapi juga aspek kenyataan. Pikiran dan cara pandang, merespon realitas (keadaan dan kenyataan), dengan cara yang kadang cepat (responsif) dan kadang lama.

Ada cerita lagi yang sudah sering terjadi di sekitar kita. Mari kita bayangkan dan analisa lagi kisahnya, baik secara persis atau mungkin hampir sama dengan yang anda lihat. Ini seing terjadi di kampung kami.

Bayangkan, ketika seorang suami muda dari desa sedang menghadapi masalah di mana istri yang mau melahirkan harus dioperasi. Bayangkan ia adalah orang yang sangat miskin dan penghasilannya bahkan tak cukup untuk makan dan membiayai sekolah anak pertamanya (kakak calon si bayi) dan untuk kebutuhan sehari-hari lainnya. Waktu itu belum ada fasilitas bantuan kesehatan untuk orang miskin, atau katakanlah belum terjadi seperti sekarang di mana juga masih ada keluarga miskin yang tidak berhasil menjadi penerima manfaat program itu. Misal biaya operasi kandungan habisnya Rp 15 juta. Bagaimana kira-kira kalau kita menghadapi masalah seperti itu?

Kita lihat. Dalam kasus ini, keinginan utama adalah mendapatkan uang minimal Rp 15 juta. Belum lagi biaya di luar operasi. Sebab melahirkan anak artinya membuat kebutuhan biaya harus dihadapi. Paling tidak harus punya uang 20 jutaan. Sedangkan ia tahu bahwa uang sebesar itu mustahil didapat dalam waktu 2 hari, misalnya, sebagaimana operasi kandungan akan segera dilakukan dan dua hari ke depan biaya harus segera dibayar.

Situasi yang mendesak dipenuhi keinginan agar segera dapat uang. Tentang kenapa hal itu terjadi, (penjelasan) tidak mengisi pikiran. Ia hanya tahu bahwa takdir yang harus dihadapi adalah mencari uang sejumlah itu. Ketika pikiran fokus pada suatu hal yang berat dan harus terus dipikirkan, maka hal lain tak terpikirkan.

Kadang solusi datang. Misal, pada saat ia sendiri sedang dilanda kecamuk pikiran, ada saudara yang sudah mendiskusikan bagaimana caranya membantu mencari pinjaman. Tanpa ia sangka, tiba-tiba saudaranya memberitahukan agar ia pinjam uang ke seseorang (masih saudara). Hal ini membuatnya tertolong sementara, ia menganggapnya sebagai takdir dari Tuhan. “Kadang saat-saat genting dan kita menghadapi masalah yang pelik, Tuhan menolong kita,” begitulah kemudian wacana yang sering muncul dari situasi semacam ini. Ruang kosong dalam pikiran selalu diisi, dari yang tadinya harapan-harapan dan kecamuk, lalu kesimpulan baru yang kuat karena hasil dari menjawab solusi di kenyataan.

Singkatnya, kenyataan kadang buruk dan bahkan bisa amat buruk bagi kita. Tak selalu kita punya kemampuan untuk menjelaskan. Tak selalu kita bisa mengatasinya. Tetapi pikiran kita akan selalu harus dipenuhi oleh persepsi dan harapan-harapan untuk merespon kenyataan. Dan saat semua tak terjelaskan dan kenyataan tak bisa diatasi dengan memperlakukan kenyataan, maka manusia yang pikiran dan daya upaya materialnya terbatas, ketrampilan menghadapi masalahnya tidak ada, maka ia akan butuh bantuan yang murah dan praktis untuk: (1) mengisi ruang kosong pikiran yang butuh solusi dan jawaban akan masalah; (2) mempertahankan harapan hidup dengan cara membangun persepsi yang kadang tak selalu menjelaskan kenyataan dan syarat-syarat material mengatasi masalahnya, tanpa keberdayaan dan kemandiriannya didukung sarana yang dimiliki atau dijangkaunya.

Di sinilah, kita butuh ‘juru selamat’ yang berada di luar kekuatan kita. Ada kalanya jurus selamat itu adalah dukun, orang yang kita anggap dengan kekuatannya membangun kita dari jalur “immaterial” dan mengatakan pada kita banyak hal yang hanya bisa kita dengarkan dan turuti. Sebab kita sudah tak berdaya menghadapi nasib kita dan tak mampu menjelaskannya. Bahkan kita butuh solusi yang tidak perlu berdasarkan kenyataan. Selama didengarkan enak. Selama harapan-harapan dan hiburan terpenuhi. Kadang juga dengan jujur si dukun mengatakan, “Saya ini hanya lantaran, semuanya tetap kembali pada Yang Kuasa,” Lalu kita membawa suatu “lantaran” itu pulang, yang kadang kita ganti dengan “amplop” sebagai ucapan terimakasih.

Mantra, Sugesti dan Perlakuan Ilmiah
Keyakinan akan solusi dari dukun kadang sudah kita bawa mulai kita berangkat dari rumah menuju tempat si dukun. Kita mendapatkan sugesti untuk berangkat menemui sang dukun, dengan harapan dan hiburan bahwa kita akan dapat solusi. Lalu saat pulang dan diberi “lantaran” kita juga merasa bahwa akan mendapat solusi. Di sini yang utama dan menarik adalah sugesti muncul dalam tubuh kita, semacam energi yang membuat kita yakin untuk “sembuh” (jika kita minta obat untuk atasi sakit) atau yakin bisa mengatasi masalah.

Perkara nasib kita berubah dan masalah kita teratasi atau tidak, kitapun kadang tidak tahu. Beberapa orang yang rajin mencari bantuan dukun juga seringkali ada penilaian soal itu. Misal bahwa dukun ini “mandhi” (‘manjur’) dan dukun itu tidak, hal itu juga dinilai oleh masyarakat, baik mantan pasien atau calon pasien.

Lalu apakah semua dukun bermain pada wilayah “immaterial” saja? Tentu tidak. Mereka juga memberikan suatu yang kadang memang solusi nyata, dan bukan menjual “abab” saja. Ambil contoh kecil saja, sebagaimana saya alami. Dulu mbah saya dikenal orang yang “sakti” oleh anak dan cucunya sendiri meskipun tidak praktik dukun. Ketika saya sakit, saya diminta ke rumahnya yang kebetulan tidak jauh dari rumah kami. “Sana, Le, ke rumah mbahmu, biar ‘disuwuk’ sama Mbah”, kata ibu saya. Waktu itu sata sakit batuk hingga tenggorokan sakit. Kepala juga agak pusing.

Sesampai di rumah Mbah, setelah diajak ‘ngobrol’, saya dikasih air putih hangat dalam gelas. Air itu memang “dijapani” (dikasih mantra), salah satu yang saya dengarkan dari mulutnya yang “umik-umik” adalah bacaan al fatihah di akhir tindakan ‘njapani’. Air dalam gelas itu awalnya dikasih garam dan diaduk. Belakangan saya baru tahu bahwa air garam memang punya kasiat menyembuhkan. Jadi, mbah saya sebenarnya tahu hal-hal ilmiah, pengetahuan berbasis kenyataan yang didapat dari interaksi manusia sejak dulu. Kitapun tahu, air hangat plus garam merupakan obat yang ampuh. Tetapi ketika ditambah nuansa “mistik” dengan mantra, tentu daya sugestifnya luar biasa.

Ada dukun cabul yang begitu nyata. Modus perdukunan untuk mendapatkan suatu tindakan cabul. Ada dukun terkenal yang kariernya berakhir setelah “konangan” mencabuli pasien perempuan. Rumahnya didemo warga dan si dukun disidang di balai desa setelah suami si perempuan tidak terima dan melakukan gugatan.

Memang ada beberapa dunia perdukunan yang menurut saya tak masuk akal dan belakangan menjengkelkan karena ada pengalaman buruk yang dialami saudara kami sendiri—dan juga sering kita dengar. Ada dukun cabul yang begitu nyata. Modus perdukunan untuk mendapatkan suatu tindakan cabul. Ada dukun terkenal yang kariernya berakhir setelah “konangan” mencabuli pasien perempuan. Rumahnya didemo warga dan si dukun disidang di balai desa setelah suami si perempuan tidak terima dan melakukan gugatan.

Tapi ya begitulah yang terjadi. Hingga kini dukun masih laris. Agar hubungan dengan suami bisa baik, orang pergi ke dukun. Agar mendapat pelanggan yang banyak, pergi ke dukun. Agar dagangan dan toko laris, pergi ke dukun. Agar berwibawa di hadapan bawahan, pergi ke dukun. Agar disukai majikan atau atasan, pergi ke dukun. Agar menang dalam pemilihan, pergi ke dukun.

Yang terakhir, agar Indonesia jadi negara maju, pergi ke dukun!**

Trenggalek, 24 Mei 2017

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.