Kesalahan Berpikir Netizen 4.0, Lima di antaranya Sering Kamu Alami.

334
SHARES
2.6k
VIEWS

Secuil fakta yang buruk akan mampu menutupi segudang fakta kebaikan seseorang. Hal itu terjadi ketika individu mengalami Distorsi Kognitif, yaitu pembenaran irasional tak sesuai realita. Rupanya leluhur bangsa ini sudah menyadari akan kesalahan berpikir yang turun temurun akan sering terjadi dengan mengabadikannya dalam sebuah seni kata ” Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga “.

Kampusdesa.or.id-Otomasisasi teknologi cyber 4.0 terhadap setiap inchi kehidupan  membuat individu di masa ini cepat dalam membagikan informasi. Akan tetapi adaptasi masyarakat untuk mengelola kecepatan jaringan komunikasi perlu dipertanyakan dan dibahas mendalam. Jika tidak, pecahan informasi yang salah pemaknaan dapat menjadi Hoaks dan sentimen emosi antar netizen. Terlalu remeh jika bangsa ini masih berkutat soal Hoaks dan Isu isu sensasional. Saat nya belajar mandiri dengan mengenali kesalahan berpikir sehingga kita bisa bangkit lebih produktif menjajaki peluang Revolusi Industri di Pemerintahan yang baru ini.

Berpikir adalah sesuatu yang pasti dilakukan oleh manusia bahkan menjadi pembeda yang paling mendasar antara hewan dengan manusia. Kesalahan berpikir dapat terjadi pada seluruh jenjang usia, dari anak sekolah, pegawai bahkan ilmuwan pun bisa terjebak dalam kelalaian berpikir. Akan selalu ada kejadian yang tidak diharapkan dan mood negatif disetiap masa kehidupan sehingga setiap individu pasti pernah mengalami kesalahan berpikir. David Burns seorang Psikiater dan ahli Cognitive Behavioral Therapy dari Stanford University menyebutnya sebagai Thinking Errors Pattern atau dalam istilah psikologi disebut Cognitive Distortions.

RelatedPosts

Bagaimana kesalahan berpikir terjadi?

Karunia tuhan yang pertama kali digunakan untuk menerima informasi adalah panca indera. Melalui indera tersebut informasi dilangsungkan ke dalam internal map, otak akan memberikan makna terhadap masing masing informasi yang kita terima. Pemberian makna oleh otak merujuk pada Historical Files individu yang berisi tentang keyakinan suatu norma perilaku berdasarkan pengalaman masa lalu.

Keyakinan masa lalu ini menciptakan nilai atau frame of mind yang terulang ulang di bawah alam sadar manusia. Makna yang diproses melalui otak tadi akan berhubungan dengan central nervous system atau pusat syaraf. Dari pusat syaraf akan menghasilkan sebuah perasaan yang menghantarkan individu pada suatu reaksi berbentuk perilaku. Dapat disimpulkan bahwa tindakan kita saat ini dalam pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu.

Dapat disimpulkan bahwa tindakan kita saat ini dalam pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh kejadian masa lalu.

Dalam proses pemberian makna yang sudah di jelaskan tersebut, terdapat celah terjadinya suatu kesalahan dalam penerjemahaan makna yang disebut thinking error pattern. Terdapat foggy atau kabut yang menyebabkan otak meleset dalam pemberian makna sehingga sesuatu yang kita yakini tidak sesuai dengan realita. Banyak faktor yang memicu terbentuknya foggy, selain berasal dari ingatan realita masa lalu, foggy bisa disebabkan oleh stress, kurang energi, gaya berpikir childish, cemas dan kondisi negatif.

Ketika gaya berpikir individu semakin dominan dalam melibatkan masa lalu maka foggy akan semakin tinggi, sebab realita masa lalu dan kini merupakan hal yang berbeda. Masa lalu memang bisa digunakan sebagai prediksi pengambilan keputusan namun perlu diimbangi dengan identifikasi fakta dan realita yang sedang terjadi sehingga kesalahan interpretasi informasi bisa dihindarkan.

Menurut Mahrus Affif seorang Behavioral  Specialist dalam seminar Online “ Thinking Error Pattern and Teenager “ (Inmed, 25 Oktober 2019), Kurang lebih 80 % orang yang mengalami Distorsi Kognitif disebabkan karena individu mengambil keputusan dalam keadaan emosi yang tidak stabil. Jika hal ini tidak dibenahi, individu akan larut dalam kesalahan berpikirnya dimana kesalahan berpikir itu dijadikan argumen utama untuk membenarkan perilaku individu yang salah tersebut. Orang akan mengambil sudut pandang irasional terhadap peristiwa tertentu sehingga menyebabkan pikiran dan emosi yang tidak dapat dikendalikan, parahnya hal ini bersifat kebiasaan. David Burns dalam bukunya The Feeling Good menjelaskan sepuluh jenis kesalahan berfikir, lima diantaranya akan diulas dalam tulisan ini.

Kurang lebih 80 %  orang yang mengalami Distorsi Kognitif disebabkan karena individu mengambil keputusan dalam keadaan emosi yang tidak stabil.

Yang pertama adalah Over Generalization. Hal ini terjadi ketika anda menyimpulkan suatu perkara yang buruk berdasarkan satu buah bukti saja. Tidak hanya itu, anda akan membesar besarkan masalah itu dan melabeli hal tersebut dengan rumor negatif. Jenis kesalahan berpikir ini akan membuat orang menggunakan kata “ Biasanya” atau “ tidak pernah “ sebagai kata kunci.

Contoh:  ketika anda melihat berita seorang artis sedang menangis karena tertimpa suatu musibah. Kemudian terbesit dalam pikiran anda “ wah biasanya itu cuman akting saja” sehingga kemudian anda mencibir dan merendahkan artis tersebut.

Suatu ketika anda melihat Bapak Paruh baya yang tidak rupawan menjemput wanita muda cantik di sebuah caffe. Kemudian terbesit dalam pikiran anda “ wahh jangan jangan wanita simpanan nih, biasanya seperti itu”. Lantas anda berbisik bisik dengan teman nongkrong dan menganggap wanita tersebut seorang yang gampangan.

Kedua adalah Black and White Thinking. Gaya berpikir ini terjadi ketika individu membagi dirinya dalam dua kategori yaitu “ aku benar benar baik” atau “ aku benar benar buruk”. Hal ini teradi karena sikap perfeksionis yang dominan, memikirkan diri sendiri ditambah lagi merasa dirinya harus berpengaruh dalam kelompoknya, sehingga ketika suatu hal terjadi tidak sesuai standar atau ekpektasi, maka individu akan menganggap dirinya tidak berguna. Tidak ada pilihan ketiga dan tidak ada tempat untuk berbuat salah.

Contoh: Arif adalah seorang ketua team player basket. Saat pertandingan, Arif tidak berhasil membawa teamnya menuju kemenangan. Akhirnya ia murung dan merasa bahwa ia adalah orang yang tidak berguna. Ia malu dan menganggap semua itu terjadi karena kesalahannya semata.

Ketiga ialah Jumping to Conclusion atau labeling. Pernahkah anda menjustifikasi orang lain tanpa di dukung informasi yang jelas? itulah yang disebut labeling. Individu mendeskripsikan seseorang dengan fakta yang tidak sempurna, ada sebagian realita seseorang yang disembunyikan. Hal ini adalah proyeksi bahwa diri kita sedang marah , cemas , frustasi atau sedang tidak percaya diri. Bahkan, ketika anda memberi label negatif kepada seseorang, hal itu akan membuat anda tidak nyaman dan sulit membangun komunikasi yang positif. Pada kasus ekstrim, memberi label negatif  terhadap seseorang mampu mengubah identitas sosial dan konsep diri individu.

Contoh: Ulum adalah mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, ia dibimbing oleh Dosen A. Setiap kali bimbingan, Dosen A selalu emosi dan memarahi ulum yang selalu datang terlambat. Akhirnya Ulum menyebarkan rumor kepada temannya bahwa Dosen A adalah Dosen yang Killer. Nah, ini lah yang disebut Jumping to Conclusion, ulum hanya mensifati Dosen A berdasarkan perasaan yang mewakili dirinya bahwa dosen A selalu memarahi Ulum. Padahal Jika mahasiswa datang tepat waktu, Dosen tersebut akan bersikap ramah dan lembut. Nah Sifat ramah dan lembut disembunyikan oleh Ulum sehingga terbentuklah labeling yang tidak adil.

Apakah kita tidak boleh melabeli seseorang? boeh asal dengan fakta yang jelas dan adil. Contoh: Dosen ini killer ketika melihat mahasiswa yang melanggar aturan. nah ini labeling yang diperbolehkan.

Ke Empat adalah Victim Mentality atau Blaming. Kesalahan berfikir pada jenis ini akan membuat orang hidup dengan sejuta keluhan. Individu akan mengkritik dan menyalahkan orang lain atas hal buruk yang menimpa dirinya. Artinya tidak ada niatan untuk memperbaiki diri justru menganggap orang lain lah akar dari semua masalah.

Contoh : Yoyo adalah pengangguran, setiap bertemu teman temanya  ia selalu mengkritik pemerintah atas kondisinya, seakan akan Yoyo dirugikan oleh Negara. (Padahal Yoyo terlalu cepat menyerah mencari pekerjaan dan tidak mau meng upgrade skillnya).

Amin mendapat nilai jelek di bidang Matematika, ia menyalahkan gurunya bahwa gurunya tidak cermat dalam mengajar. (Padahal Amin sendiri sering bolos sekolah).

Ke Lima adalah Discounting, orang yang memiliki kecenderungan seperti ini akan selalu mengeluarkan statement negatif tentang kelebihan dirinya. Maksudnya ialah individu tidak apresiatif terhadap prestasinya sendiri, mendiskon segala pencapaian yang ia buat. Pribadi ini menunjukkan bahwa ia memiliki konsep diri yang lemah dan kepercayaan diri rendah.

Contoh: Arif mendapat nilai 70 dalam pelajaran Bahasa, kemudian gurunya memberi pujian “ wah arif kamu hebat ya, pintar dan cerdas”. Akan tetapi Arif berfikir dalam hati “ aiiih apa apaan sih, pasti bohong itu bu guru. Padahal yang lain banyak yang lebih pinter ”.

Kecepatan sistem informasi yang setiap detik dapat berubah, tanpa batas dan selalu ada identitas anonim akan menyebarkan ranjau ranjau Distorsi Kognitif bagi Netizen. Terutama bagi Rakyat +62 yang minat bacanya masih tergolong rendah. Lantas apa yang bisa dilakukan untuk mengindari kesalahan berfikir?.

Mulailah dengan membudayakan One Day One Page, membaca buku akan melatih reasoning otak kita menjadi lebih awas dalam mengelola informasi. Kemudian gunakan aturan Lima menit, gunakan waktu tersebut untuk mengecek informasi di media atau fakta di lapangan melalui sumber yang kredibel dan selama lima menit tersebut usahakan untuk tidak mengomentari apapun.

Kenali pola kesalahan berpikir yang berkembang di masyarakat, setelah mengenali pola , cobalah untuk mengkategorisasikan jenis kesalahan berpikir yang dirasa sangat berpotensi terjadi pada diri anda. Latihlah pikiran anda untuk melawan jenis kesalahan berpikir tersebut, gunakan humor humor untuk membuat pikiran anda stabil. Yang terpenting jadilah pribadi yang suportif, bijak dan sabar dalam segala situasi.

Hubungan Harmonis Netizen sangat mahal harganya, dan sangat remeh jika kesalahan berpikir yang beredar di masyarakat membuat konflik dan buruk sangka . Buku “Feeling Good: the new mood therapy,” dan  “When Panic Attacks” yang ditulis  David Burns dapat menjadi rujukan bagaimana merawat akal sehat ditengah pusaran peradaban Revolusi 4.0. Bangsa yang hebat berawal dari akal sehat yang selalu dirawat.

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.