Bahasa Ibu dan Pengayaan Perkembangan Anak yang Sehat

326
SHARES
2.5k
VIEWS

Pertemuan saya dengan seorang perempuan bernama Wardani, di rumah susun para “imigran tanpa dokumen” di sekitar Klang Selangor Malaysia menemukan klausul penting dalam menangani anak-anak yang berkembang dengan masalah kompleks (moral, religi, ekonomi, sosial budaya, kompetensi, akademi, keluarga dan stigmatisasi identitas), wis pokoke okeh banget lah, di negara orang lain. Sebutan orang tanpa dokumen menjadi salah satu kata-kata menyayat hati, bahkan dapat menjadi pemantik perkelahian saat-saat ada situasi konflik ketika sudah menyinggung/melumat harga diri seseorang.

Wardani, perempuan paruh baya ini adalah perempuan ketiga yang menurut saya punya kepedulian dan sosok pantang menyerah yang menginspirasi hidup saya. Perempuan asal Sidoarjo ini, memutuskan tetap tinggal di Malaysia demi sebuah niat mulia, menjadi guru bagi anak-anak “tanpa dokumen.” Satu dari sekian problem anak-anak imigran Indonesia di Malaysia.

RelatedPosts

Wardani, mau tidak mau akhirnya merelakan diri tidak pulang bersama suaminya ke Indonesia untuk mengabdikan hidupnya agar anak-anak yang tidak bisa mengakses pendidikan memiliki kesempatan yang sama mengeyam pendidikan sebagaimana anak-anak Indonesia. Jika suatu waktu mereka pulang ke Indonesia, mereka tidak lagi kehilangan hak melanjutkan pendidikan.

Sudah lima tahun Wardani berada di Klang. Selama itu dia berjuang sendiri mengelola pendidikan di blok. Apalagi blok tersebut terkenal dengan orang-orang pemalak dan perilaku lain yang ekstrem. Anak-anak dibesarkan dengan lingkungan bebas dan penuh kekerasan. Begitu cerita sekilas yang terekam saat saya mulai menjadi dosen pembimbing lapangan mahasiswa PKL Psikologi. Gambaran yang miris sebagaimana diinformasikan oleh Ulfì,

“SEKEDAR CERITA PAK. MALAM INI KAMI MENDENGAR SUARA ANAK LAKI LAKI MENANGIS KENCANG. SEPERTINYA DARI BLOK K, BLOK KAMI PADAHAL BLOK J DAN KAMI MASIH DENGAR. IA MENANGIS BERTERIAK ‘SAKIT’ BERULANG KALI. DISUSUL SUARA ADIK PEREMPUANNYA YANG TERIAK ‘ABANG’ YANG SAMA MENANGISNYA. DAN SUARA ROTAN YG MEMUKUL TUBUH SI ANAK. MIRIS PAK. DAN INI GAK PERTAMA KALINYA. KAMI HANYA MENDENGAR PAK. YANG AWALNYA KAMI GUYON LANGSUNG TERDIAM DAN SIBUK DENGAN PIKIRAN MASING”.

Bagaimana hati kami tahan” ???

Bisa membayangkan bagaimana kondisi tersebut? Wardani, bahkan juga sering menghadapi serangan-serangan dari penghuni karena suatu hal yang menyebabkan munculnya ancaman-ancaman nyawa. Tapi sosok perempuan yang perawakannya mungil ini tak gentar.

Lingkungan itu juga menggambarkan seperti apa perilaku anak-anak saat sekolah. Yah, sulit dikendalikan, Bagi Wardani pun tentu bukan hal mudah, apalagi dia awalnya hanya seorang diri mengajar yang tenaganya harus dia bagi ke berbagai kelas. Tentu saja emosi dan amarah akan selalu menghantui.

Begitu juga teknik mengajarnya. Jika harus berpaku pada kurikulum, pasti tidak jalan. Apalagi jika hanya berpaku pada teori-teori semata-mata, nyaris anak-anak tidak akan bisa memahaminya.

Wardani mengatakan, untuk menghadapi perilaku anak-anak agar mereka menjadi semakin baik dan punya pengetahuan, dia mengatakan tidak semata-mata menggunakan bahasa-bahasa instruksional, tetapi kembalikan peran menghadapi anak-anak itu sebagai ibu. Dari sini pulalah Wardani, sang perempuan pemberani itu, mulai dengan segala peluang dan tantangan membesarkan anak-anak sekolah karena alasan peduli, bukan lagi bekerja sebagai guru yang digaji oleh KBRI.

Di saat mereka hanya punya ibu biologis, Wardani hadir sebagai ibu psikis bagi anak-anak di sekolah. Bahasa dan pendekatan keibuan menjadi spirit mempengaruhi anak-anak agar bisa berpengetahuan, berakhlak dan beragama.

Bahasa Ibu dan Perkembangan Jiwa Sehat Anak

Pengubahan perilaku mensyaratkan tidak hanya tuntutan hitam-putih bagi anak. Apalagi menggunakan paksaan sampai dengan jalan kekerasan. Anak-anak tidak tahu dengan akal sehatnya mengenai apa yang baik dan buruk. Biasanya anak-anak masih didominasi oleh dorongan mencari kepuasan dan kesenangan. Oleh karena itu, instruksi-instruksi dan panduan baku tidak mudah diterapkan, apalagi anak-anak yang hidup dalam lingkungan penuh kekerasan. Mereka bisa disebut anak yang “banyak tingkah dan liar,” kalau boleh menyebutnya demikian.

Wardani harus mengubah pendekatan dan perannya dari semata sebagai guru mengajar ke peran ibu. Langkah ini adalah mindset baru bagi Wardani yang harus dicamkan bagi dirinya. Titik ini saya bisa menyebut bahwa Wardani telah mendedikasikan guru tidak semata sebagai profesi tetapi sosok yang hadir dalam jiwa yang meng-indah-kan hidupnya untuk memerankan apa yang sebenarnya hilang bagi anak-anak.

Apa yang hilang itu ?. Kasih sayang dan anek bahasa tutur yang lemah lembut penuh belaian dalam mengajarkan pengetahuan dan kehidupan yang baik bagi anak. Wardani telah menjadikan profesi gurunya sebagai seni membimbing anak. Sekolah adalah ladang menebarkan ibu non-biologis yang hilang pada anak-anak sekolah.

Kualitas kedekatan juga dibangun agar anak-anak mendapatkan kenyamanan sehingga belajar mereka tidak terbebani. Atau setidaknya tuntutan belajar yang membutuhkan konsentrasi dan daya tahan dapat dilalui karena ada kenyamanan belajar dan bukan ancaman yang berujung cambukan rotan. Perhatian diberikan. Kadang pangkuan dan sentuhan fisik juga dibutuhkan untuk memberikan stimulasi kedamaian bagi anak.

Jika semuanya terpenuhi, maka anak mampu dibangun orientasi pikiran, perilaku atau dorongan positif dalam mencapai kualitas perkembangan diri. Pemenuhan tersebut dapat diciptakan melalui redistribusi peran-peran keibuan yang hilang. Misalnya saja, kedekatan yang baik dan penuh kasih menjembatani emosi-emosi positif anak sehingga mereka dapat diterima ketika anak-anak bermain. Bahkan kadang mereka dimaklumi ketika dirasa anak-anak belum tahu dampak negatif atas perilakunya. Dengan penuh kasih dan bahasa halus, ibu biasanya memberikan nasihat-nasihat kecil yang indah dengan berbagai perumpamaan, bahkan dengan mengelola bahasa yang manja. Ibu tidak menggunakan bahasa-bahasa yang menegangkan. Telinga anak menjadi akrab dan secara tidak langsung anak akan mengikuti petuah yang kadang lucu bagi anak. Pengulangan petuah tidak menyakitkan tetapi membimbing anak setahap demi setahap.

Kita juga bisa melihat  aneka lelucon yang bisa  kita temukan saat  orang tua mencoba menggoda atau membuat jok-jok pada anak-anak. Hubungan yang penuh bahagia, jok  lucu menjadi salah satu bagian dari proses menjalin hubungan yang saling ingin membentuk kebahagiaan.  Lelucon ini juga bisa berbentuk   latihan berbahasa melalui timangan, latihan berjalan dan berbagai latihan-latihan pertumbuhan  bagi anak akan selalu memunculkan aneka hubungan harmoni dan membimbing.

Melalui bahasa ibu, hubungan kedekatan merasakan anak selalu aman dan nyaman bersama dengan ibu. Anak selalu memiliki limpahan kasih sayang dan perhatian serta jaminan perlindungan dari proses bertumbuh. Bahasa ibu adalah bahasa yang digunakan membesarkan anak secara alamiah, tanpa tekanan meskipun tujuannya pasti, menjadi anak lebih baik dengan bimbingan yang penuh kesabaran.

Disinilah maksud bahasa ibu. Penggunaan bahasa ibu  yang sempurna akan sangat membantu anak berkembang dengan jiwa yang sehat. Bahasa ibu, tidak berarti bahasa verbal, tetapi ketrampilan alamiah yang melekat pada ibu ketika mereka mengasuh anak-anaknya dengan penuh kasih sayang dan penuh ketelatenan.

Di sinilah bahasa ibu mempunyai  peranan penting sebagai basis semangat menghadapi anak-anak imigran tanpa dokumen dengan cara alamiah. Mereka harus ditemani dengan sabar. Ketika bahasa guru yang dikuasai oleh struktur kurikulum, memang menurut Wardani tidak akan mempan menghadapi anak-anak di lokasi tersebut, karena anak terbiasa berkembang di rumah tanpa pengawasan, sedangkan kemampuan untuk menyesuaikan terhadap capaian-capaian belajar pun butuh perjuangan.

Epilog

Pendidikan menggunakan pendekatan bahasa ibu adalah pendidikan yang memanusiakan. Anak dihargai sebagai entitas manusia. Biasanya anak selalu dianggap istimewa dan selalu saja ibu memuji kelebihan anak, entah dari hal terkecil atau yang besar/teristimewa. Tidak ada kata-kata nakal, bodoh, dan penilaian negatif. Anak-anak selalu diistimewakan dan orang tua selalu menemukan kelebihannya.

Bahasa ibu adalah teknik mengasuh anak dengan pendekatan growing, bukan semata evaluasi dan penilaian. Setiap etape perkembangan dihargai sebagai proses yang kontinu. Ibu selalu hadir dalam situasi penuh pencapaian yang baik atau sebaliknya dalam proses yang sulit dan butuh bimbingan.

Kelas yang dikelola dengan bahasa ibu adalah kelas perkembangan yang ramah bagi anak. Anak diliputi penuh kasih sayang dan layanan yang baik untuk berkembang secara ramah bagi anak-anak.

Mohammad Mahpur

Mohammad Mahpur

Ilmuan Psikologi Sosial, Peace Activist and Gusdurian Advisor, Writer, Pemberdaya Masyarakat dan Komunitas. Founder Kampus Desa Indonesia. Memberikan beberapa pelatihan gender, moderasi beragama, dan metodologi penelitian kualitatif, khusus pendekatan PAR

Arsip Terpilih

Related Posts

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.